Hari pertama Davin dan Ina memasuki kelas. Keduanya berada di kelas X-F. Setiap kelas hanya berisi 20 siswi. Davin duduk di pojok belakang dekat jendela, Ina duduk tepat di depannya. Keduanya memutuskan hal itu karena untuk saat ini Davin jadi siswi paling tinggi di kelasnya. Jika Davin tidak duduk di belakang, ia pasti akan menghalangi murid lain yang lebih pendek darinya.
Ina memainkan peran dengan baik ketika teman-teman sekelas menghampirinya dan Davin. Ia menjadi juru bicara bagi Davin, memperkenalkan Davin dan menjelaskan alasan kenapa Davin tak berbicara. Karena Ina sangat pandai dalam bertutur kata, teman-teman sekelas pun percaya dan bersimpati pada kondisi Davin. Sebenarnya ketika MPLS beberapa dari teman sekelas sudah pernah saling mengobrol seperti itu, namun di hari pertama masuk sekolah secara resmi, masih ada saja yang menghampiri mereka sebagai tanda perkenalan.
Belum ada pelajaran di hari pertama. Wali kelas masuk untuk memperkenalkan dan mengakrabkan diri dengan kelas yang menjadi tanggung jawabnya. Kelas X-F mendapat wali kelas seorang guru nyentrik bernama Pak Priyaka. Guru yang lebih akrab disapa Pak Pri itu mengajar Matematika. Beliau yang hobi membuat anekdot mudah saja membuat kelasnya menjadi hangat dan bersahabat. Para siswi tak hentinya tertawa ketika Pak Pri melucu dengan anekdot buatannya. Perkenalan dengan wali kelas dilanjutkan dengan sesi diskusi untuk memilih pengurus kelas. Tanpa diduga, Ina dicalonkan dan kemudian terpilih menjadi ketua kelas.
Davin berpikir, jika saudara kembarnya yang berada di kelas itu sekarang, pastilah Vini juga terpilih menjadi pengurus kelas. Adiknya yang gemar berorganisasi itu seolah memancarkan aura khusus hingga orang lain bisa melihatnya dan akan memilih Vini untuk menduduki posisi penting seperti pengurus kelas. Hal yang sangat tidak asing bagi adiknya yang selalu terpilih menjadi pengurus kelas sejak SD.
Davin terkesiap, kaget ketika nama Davinia disebut. Ia mengangkat kepala dan menatap ke depan kelas. Pak Pri dan Ina sama-sama menatapnya. Ina tersenyum lebar padanya. Davin mengedarkan pandangan ke seluruh kelas, semua mata tertuju padanya. Ia lalu kembali menatap Ina dan gadis itu menunjuk papan tulis.
Davin menghela napas usai menatap papan tulis. Rupanya Ina mencalonkan adik kembarnya sebagai wakil ketua kelas. Ia sudah menduganya, Ina pasti akan memilih Davinia sebagai pengurus kelas. Dengan begitu, mereka bisa kemana-mana bersama.
Usai perkenalan dengan wali kelas dan pembentukan pengurus kelas, para pengurus kelas diminta ke perpustakaan untuk mengambil buku paket; buku panduan pelajaran yang dipinjamkan pada murid dari sekolah. Davin pergi ke perpustakaan bersama Ina dan dua temannya yang menjabat sebagai sekretaris dan bendahara kelas.
Perjalanan menuju perpustakaan sekolah melewati taman. Davin menoleh ke arah kanan, memperhatikan taman itu. Keningnya berkerut ketika melihat Yoanta di sana bersama tukang kebun sekolah. Entah Yoanta sedang memotret apa.
Dia benar-benar gila pada dunia macro phone photography. Kali ini, obyek apa yang menarik perhatiannya? Senyum samar terkembang di wajah Davin yang terus berjalan menuju perpustakaan.
***
Yoanta berhasil meminta waktu untuk menyendiri dan semua itu berkat Frisca. Frisca terpilih menjadi ketua kelas XI-E dan mengajak Yoanta agar membantunya ke perpustakaan untuk meminjam buku paket. Dalam kesempatan itu Yoanta meminta izin untuk pergi ke taman sekolah. Frisca dan teman-teman sekelasnya yang menjadi pengurus kelas mengizinkan.
Yoanta bergegas menuju taman belakang sekolah, tempat indah yang paling jarang dikunjungi murid. Ia menjadi hafal tentang tempat sepi di sekolah karena hobi phone photography yang ia tekuni. Sesampainya di sana, Yoanta memilih tempat yang paling sepi dan mulai sibuk dengan ponselnya. Ia memasang headset dan mulai melakukan video call.
Sebenarnya ia tak mau peduli pada ocehan Erlinda pagi tadi, tapi pikirannya terlalu rapuh. Ia terpengaruh alibi Erlinda tentang teman sekamarnya. Ketika kembali dari jalan pagi, Yoanta tak bisa menepis keinginannya untuk memperhatikan Davinia secara detail. Harusnya ia menolak rasa penasaran itu, tapi tak bisa. Ia terus memperhatikan Davinia dengan seksama untuk mencari pembenaran dari alibi Erlinda.
Jika diperhatikan dengan seksama, postur tubuh Davinia memang terlihat berbeda. Gadis itu terkesan kaku. Cara berjalannya pun terlihat gagah, berbeda dengan Frisca. Walau Frisca tomboi, tapi perawakan dan pembawaanya masih ada sisi luwes khas anak gadis. Yoanta baru menyadari jika ia tak menemukan itu pada Davinia. Perlahan ia mulai menyetujui alibi Erlinda.
Tak mau dibuat kacau oleh pikirannya sendiri, Yoanta sengaja meminta waktu pada Frisca agar ia bisa menyendiri untuk menelpon ibunya. Bukan tanpa alasan, saat akan kembali ke asrama, ibunya berpesan agar Yoanta menjaga murid baru yang bernama Davinia. Ibunya tak mengatakan alasan spesifik tentang Davinia, hanya berpesan agar ia menjaga dan melindungi Davinia karena Davinia adalah anak teman baiknya yang sedang mengalami masa sulit.
Awalnya Yoanta tak memiliki pikiran aneh tentang Davinia, karena ia sendiri juga mengalami masa sulit ketika harus masuk asrama. Harus hidup mandiri dan terpisah dari orang tua tentu tak mudah bagi gadis mana pun termasuk dirinya dan Davinia. Karenanya ia berjanji pada sang ibu akan menjaga dan melindungi Davinia.
Yoanta tersadar dari lamunannya ketika ia mendegar suara sang ibu. Ia mengalihkan pandangan pada layar ponselnya, menatap wajah ayu sang ibu yang terlihat jelas di sana.
“Ada apa kok nelpon pagi-pagi, Nduk?” sapa ibunya dengan logat Jawa Malang yang khas. Ekspresi ibunya juga sumringah. “Kenapa tho? Pagi-pagi kok cemberut? Eh? Bukannya ini waktunya pelajaran?”
Yoanta menghela napas panjang. “Bisa tolong jelasin kenapa aku harus menjaga dan melindungi Davinia?”
Pertanyaan Yoanta membuat ekspresi sumringah di wajah ibunya sirna. Berganti dengan ekspresi kaku khas orang yang ketahuan berbohong.
“Benar dia anak teman Memes? Siapa namanya? Memes nggak pernah cerita punya temen yang nikah sama orang Korea.”
Ibu Yoanta berdecak. “Aku pernah cerita. Waktu awal-awal kamu suka Korea. Lupa ya? Namanya Tante Ranti.”
Yoanta mengerutkan kening untuk mengingat apa yang dikatakan ibunya. Sepertinya sang ibu memang pernah menceritakan tentang temannya yang bernama Ranti, yang menikah dengan orang Korea dan memiliki anak kembar dampit; laki-laki dan perempuan.