Rose's Kiss

J U N E
Chapter #1

Prolog ; Utuh

Nashia Minara 

“Nash!” suara itu melayang lembut memanggil namaku, seperti angin yang berbisik di permukaan air.

Aku membuka mata perlahan. Bentangan laut tak berujung menyambutku–gelap, seolah menyimpan rahasia yang enggan kubongkar. Kaki-kakiku tertanam di pasir hangat di bibir pantai. Ombak kecil bergulung perlahan, mengiringi desiran angin berbau asin. Namun, tak ada rasa tenang yang mengalir. Yang kurasakan hanya, kehampaan.

“Nash!” Suara itu datang lagi, lebih dekat.

Aku menoleh ke belakang, tetapi yang kulihat hanyalah jejak kakiku di pasir.

Desiran ombak kembali terdengar, memaksaku menoleh pada laut. Ombak besar mulai mendekat. Airnya hitam, dengan riak-riak yang tampak seperti tangan–seolah ingin menarikku ke dasar lautan yang kelam. Ketakutan menyergap. Dadaku terasa sesak, napas terengah-engah, dan telapak tanganku mulai berkeringat dingin. Aku mencoba mengangkat kaki, tetapi pasir berubah menjadi beton yang membekukan setiap gerakanku.

“Nashia…” Kali ini suaranya terdengar penuh desakan. Tetapi aku hanya berdiri di sana, tubuhku kaku, menunggu ombak besar itu menelanku hidup-hidup. Ketakutan menjalari setiap inci tubuhku, mencengkeramku tanpa ampun.

Ketika ombak itu akhirnya menerjang, kegelapan membungkusku sepenuhnya. Aku terbangun dengan napas tersengal, keringat dingin membasahi tubuhku. Suara ombak itu masih bergema di telingaku, meninggalkan rasa takut yang menancap dalam benak.

Alarm ponselku berdering begitu nyaring, membuatku kembali ke kenyataan. Dalam kegelapan kamar, aku meraih ponsel di nakas, mematikannya dengan satu sentuhan.

Jam menunjukkan pukul setengah lima pagi, sejenak, aku duduk di pinggir Kasur, menghela napas Panjang.

Dada ini terasa berat, keringat dingin membasahi tubuh ini, aku mencoba mengatur deru napasku yang pendek-pendek.

“Ah, stress!” pikirku, sambil mengikat rambut panjangku asal-asal dengan ikat rambut yang selalu kugelangkan di pergelangan tangan. Mengabaikan segala perasaan tak enak di dadaku.

Lalu, aku beranjak dari Kasur, menyalakan lampu kamar studioku, lampu menyala dengan terang, studio yang cukup bagiku yang masih tinggal seorang diri ini.

Studio dengan nuansa berwarna putih dan mint, mini kitchen dengan kompor portable di dekat pintu masuk, kulkas kecil yang mengumpat di balik lemari, dan mesin cuci satu lubang.

Kasur berukuran medium. Sofa dua dudukan yang berhadapan langsung dengan smart TV. Meja makan kecil dengan dua kursi di dekat jendela. Lemari pakaian 2 pintu, meja rias kecil dengan 1 cermin dengan lampu di sisinya.

Kedua kakiku memasuki kamar mandi.

Perutku mulas.

Dan hariku dimulai dengan melakukan ritual panggilan alam, shalat, dan lalu bersiap untuk menjadi manusia koporat.

Rutinitas pagi yang selalu sama setiap harinya, kadang, aku merasa seperti seorang robot yang sudah disetel untuk mengerjakan apa yang harus kukerjakan.

Kadang, ada waktu, aku merasa bosan. Rasanya, seperti mandi. Ya, mandi. Kita sudah hapal tiap gerakan mandi yang gitu-gitu aja, tapi harus kita lakukan. Dan aku pikir, rasa bosan adalah perasaan yang wajar sekalipun aku menyukai rutinitas, kegiatan yang aku lakukan tiap harinya. Manusiawi. Jadi, aku tidak mendalami perasaan bosan ini.

Saat aku tengah menggosok rambut dengan sampo, saat busa-busa sampo memenuhi rambut dan kedua tanganku, kembali, aku teringat pada mimpi.

Mimpi tadi membuatku merasa takut hingga aku merasa sesak. Seperti, nyata. Apa aku begitu stres? Sepertinya, aku butuh liburan. Kapan terakhir aku liburan? Ah, hidupku benar-benar membosankan! Aku bahkan lupa kapan terakhir aku menikmati uang yang kukejar selama ini.

*

Lagu "Waterfalls" milik TLC terdengar di earphone yang terpasang di kedua telingaku, menemani setiap langkah kakiku menyusuri bahu Jalan Braga, Bandung.

Setiap pagi, aku memilih berjalan kaki menuju kantor, jaraknya cukup dekat, hanya butuh 15 menit dengan berjalan kaki. Cuaca hari ini sangat menyenangkan. Langit begitu biru dengan sekumpulan awan yang menyatu, seperti busa-busa yang empuk. Aku menyukai langit biru, dan selalu kuabadikan dengan mengambil foto dengan ponselku.

Aku tergila-gila pada langit biru yang membentang luas bersama awan-awan putihnya. Entah sudah berapa banyak foto langit di galeri ponselku.

“Cantik sekali,” gumamku sesaat mengambil foto langit dengan ponselku, tersenyum penuh harap menatapnya.

Aku kembali melangkah, jalan utama cukup ramai dengan lalu-lalang kendaraan yang saling memburu satu sama lain, mengejar waktu, memulai hari dengan kesibukan.

Langkahku terhenti, sejenak menatap pada gedung tinggi pencakar langit, gedung yang begitu mewah dan megah, namun menyesakkan. Kantor Wilayah National Bank Regional Jawa Barat tertulis di papan beton yang berdiri tegap dan kokoh di depan bangunan ini. Rumah keduaku di kota ini.




Ada waktu di mana aku begitu bersemangat memasuki gedung ini. Karena aku begitu bersyukur dengan pekerjaan yang sudah diberikan padaku selama 8 tahun ini. Tapi, ada waktu di mana aku enggan melangkah masuk ke dalamnya. Sepertinya, aku memang butuh liburan.

“Semangat, Nash!!” aku menyemangati diriku, setelah jalanan lengang dengan kendaraan yang berlalu lalang, aku berjalan cepat menyebrang jalan.

Beberapa rekan kerja terlihat masuk ke dalam Gedung dengan terburu-buru, jam sudah menunjukkan set 7 pagi, waktu absen masuk berakhir setengah jam lagi. Lewat dari 7 sedikit saja, sudah dihitung terlambat.

“Selamat pagi, Mbak Nash?!” Pak Sofyan, security kantor kami menyapaku saat aku memasuki Gedung perkantoran.

Aku melepaskan earphone dari kedua telingaku, menggulung cepat kabelnya dan kumasukan ke dalam tas kerja yang sejak tadi kutenteng di tangan satunya.

“Pagi, Pak Sof.” Sahutku tersenyum padanya, mengambil ID card karyawan dalam saku celana bahan yang kukenakan, dan menempelkan pada mesin absen yang terpasang di pintu masuk Gedung.

“Mari, Pak?!” pamitku setelah melakukan absen.

“Mari, Mbak. Selamat beraktifitas.”

Masuk ke dalam lobby, lalu bertemu dengan banking hall yang masih kosong dengan nasabah, hanya ada para teller dan customer service di meja mereka masing-masing Tengah Bersiap sebelum memulai jam pelayanan.

Langkahku terhenti tepat di depan lift, beberapa teman kantor menunggu yang sama, datangnya lift. Aku dan mereka hanya bertegur sapa lewat senyuman, tidak saling mengenal, mereka berbeda divisi denganku.

“Nash?!” seseorang memanggilku dengan sedikit berteriak, membuatku menengok siapa yang memanggilku.

Seorang Perempuan dengan tubuh semampai, berkulit putih dengan rambut Panjang lurus hingga pundaknya, melangkah cepat menghampiriku.

“Hi, Jo?!” sahutku melambaikan tangan, tersenyum menyambutnya.

Sesampainya Jo padaku, dia langsung merangkul lenganku dengan akrab, aku bisa mencium wangi bunga dari tubuhnya.

“Morning, sayang?!” Sapa Jo dengan logat sunda-nya yang riang nan halus, senyum merekah indah menyombongkan deretan gigi rapinya.

“Morning, Jovanka,” balasku tersenyum padanya.

“Eh, hari ini jadi OTS ke Cimahi?” tanyanya melepaskan rangkul tangannya di lenganku.

Aku melirik pada layar lift yang menunjukkan nomor lantai. “Jadi. Janjian sama driver kantor jam Sembilan.”

“Good luck, ya?!”

“Thank you.” Senyumku tipis. “Eh, gimana kemarin cek gedung pernikahan elo?”

“Puji Tuhan, lancar, aman.” Senyumnya senangnya dengan kedua mata berbinar.


“Alhamdulillah.” Aku diam sesaat, pintu lift terbuka. Aku dan Jo menunggu giliran untuk masuk. “Gua mimpi aneh.” Bisikku, setelah kami masuk ke dalam lift.

“Mimpi aneh, kumaha maksudnya?” tanya Jo tanpa melihatku dengan logat sunda halusnya, sibuk melihat pantulan dirinya dalam cermin yang mengelilingi dinding lift. Mengecek penampilannya, rambut hitam yang tebalnya dan tampak lembut terlihat mengkilau, seperti dalam iklan sampo. Lipstick merah maron di bibir tebal berisinya, mempertegas kesan sensual dalam wajahnya.

“Kayaknya gua butuh liburan, deh, Jo.” Aku ikut mengecek penampilanku, rambut Panjang lurus yang kuikat kuda dengan poni pendek belah tangan, lipstick berwarna nude. Berbeda dengan Jo, aku memilih warna-warna natural untuk menghiasi wajah.

Lihat selengkapnya