Damar Hamish
Ruangan Divisi Audit Internal, Bank National, ditata dengan cara berbeda di antara ruangan Divisi lain yang berada di Bank National.
Setiap tim, memiliki 3 orang staf, satu orang Senior Audit Internal sebagai pemimpin tim, dan dua orang sebagai yunior audit internal, dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.
Ruang Divisi Audit Internal sendiri dibagi menjadi lima area dengan masing-masing tim bekerja dalam ruangan yang diberi sekat yang memberikan privasi. Dan area timku, berada di paling pojok ruangan ini.
Tugas audit sendiri, adalah Mengecek dan memastikan, apakah cabang tersebut sudah melakukan standar oprasional Bank National dengan baik dan benar.
Dan jika ada tikus-tikus yang penyalahgunakab jabatan untuk kepentingan pribadi, mengambil apa yang bukan hak hingga merugikan pihak nasabah maupun Bank National sendiri. Kami akan melaporkan sampai dengan komite audit.
“Pagi, Zemi!” sapaku hangat, pada seorang perempuan yang tengah duduk di kursi kerjanya yang tengah mengetik sesuatu di notebooknya. Wajah cantik berparas blesteran Padang-Belanda terlihat begitu serius, bahkan keningnya mengkerut. Pingin gua setrika tuh kening.
“Ah Mas Damar datang juga!” Leganya, saat aku baru saja melepaskan tas ransel dari punggung.
“Kenapa? Kenapa? Mau di beliin sarapan apa?” sahutku sesaat meliriknya sambil mengeluarkan notebook, beberapa berkas kerjaan yang dibawa pulang, dan pomed dari dalam tas ransel hitam besar ini.
Zemi berdiri dari duduknya, terlihat tubuh tinggi jenjang berisinya. Bahkan tingginya hampir sama denganku, padahal Zemi memakai sepatu tanpa hak.
“Bukan itu, Mas,” kalutnya menatapku. “Ada masalah,” ucap Zemi sudah berdiri di sampingku dengan resah.
“Masalah apa?” tanyaku bersikap santai dengan tawa kecil, karena wajah kalutnya terkesan lucu.
“Mas Satria tadi pagi wasap saya, kalau dia hari ini izin sakit. Asam lambungnya kambuh!” ucapnya risau. “Apa Mas Satria udah wasap Mas Damar?”
Aku melihat ke meja Satria yang berhadapan dengan meja kerja Zemi. Kosong. Rapi.
Langsung kuambil ponsel di dalam tas ransel, ada Whatsapp masuk. Aku selalu mematikan notif setiap sepulang kerja, dan menyalakan notif keesokan paginya, dengan alasan tidak mau diganggu diluar jam kerja.
Pesan Whatsapp dari Satria, memberitahu bahwa asam lambungnya kambuh, dan meminta izin untuk tidak masuk kerja.
“Shit!! Semua berkas laporan audit kemarin ada di Satria, kan?!”
Zemi menganggukan kepala. “Saya cuman menyimpan, kasarnya Mas. Semalam, setelah kami selesaikan semuanya. Dibawa Mas Satria di laptopnya. Rencanaya, pagi ini kami akan print. Tapi…” Zemi menghentikan penjelasannya dengan wajah tertunduk, kedua bibirnya mengatup, tangannya menyatu.
Aku membantingkan ponsel ke meja. Tanganku gemetar karena menahan emosi. Napasku pendek-pendek, dan aku mulai mondar mandir di sekitar meja.
Aku berusah menenangkan segala emosi yang berkecamuk dalam diri, pikiranku terus disibukan untuk mencari Solusi. Aku sadar, Zemi terus menatapku, menunggu intruksi dariku.
“Tapi, Mas…” Zemi Kembali bersuara dengan ragu.
Langkah ini langsung terhenti dengan tanganku memijat kening, penih rasanya kepala ini, menengok Zemi.
“Kata Mas Satria, dia mau kirim semua bukti pake kurir, Mas!” lanjutnya hati-hati, Zemi tahu, aku tidak akan menyetujui ide bodoh Satria ini.
“Kirim pake kurir?! Dia mau ngirim laporan sepenting itu pake kurir?!!” Aku mengecam idenya ini, dengan kesal aku mengambil Kembali ponsel.
Zemi menganggukkan kepalanya pelan dengan wajah yang sama kalut dan bingungnya denganku.
“Sial!” umpatku. “Kita punya berapa jam lagi sebelum meeting?” Aku mencoba memikirkan Solusi, memijat keningku yang terasa pening.
Zemi melihat arloji di tangan kirinya, “Sekarang jam setengah delapan. Kita punya satu setengah jam lagi, sebelum rapat di mulai.”
“Okay!” Aku menimang-nimang Solusi yang kutemukan, memperhitungkan waktu dan risiko, dari setiap solusi yang terlintas. “Persiapan untuk meeting, udah kamu siap, kan, semuanya?!?”
“Udah, Mas. Ruang rapat sendiri sudah siap, sudah diatur tadi pagi sama saya dan OB. Konsumsi juga lagi dalam perjalanan.” Jelas Zemi terperinci. “Tinggal analisis audit yang di Mas Satria.”
“Ok.” Keadaanku sudah mulai tenang. “Saya ke rumah satria. Kamu cek-cek lagi di ruang rapat. Hubungin direksi sama sekretaris komite audit. Okay?!”
“Ok, Mas.”
Aku menepuk pundak Zemi, lalu melangkah cepat keluar dari ruangan kantor ini sambil menghubungi Satria. Satria Gembul, namanya dalam kontak.
Tersambung.
“Hallo, Mas?!” sapanya, dengan suara lemas dari sebrang sana.
“Eh Boboho! Elo engga masuk lagi?!” tanyaku, dengan suara berat, menahan rasa kesal.
“Iya, asam lambung saya kambuh lagi!” keluhnya, dengan suara terdengar meringis kesakitan.
“Kemarin, elo masih sehat bugar, sampai makan mie ayam dua mangkok. Kenapa tiba-tiba jadi tepar gini? Elo tahu kan hari ini, hari apa?!”
“Hari kamis kan, Mas?!” jawabnya santai.
“Bukaaann ituuuuu!!” teriakku, tepat di speaker ponsel.
“Mas, biasa aja kali suaranya. Kuping saya masih sehat walfiat.” Keluhnya, “Terus apa dong, Mas?”
“Rapat. Audit. Internal. Satria, sayang, darling.” Kesalku penuh tekanan dalam setiap katanya.
“Oiya, maaf. Itu maksud saya, Mas.”
Sabar, Damar, Sabar.
Langkah terhenti di depan lift. Aku memencet-mencet tombol panah ke bawah, padahal sekali pencet juga sudah cukup.
“Ya ya saya salah. Maaf ya, Mas?!” sesalnya. “Terus gimana, Mas? Kalau saya ikut rapat, terus saya pingsan ditengah rapat. Siapa yang mau angkut saya? Mas Damar? Zemi? Engga mungkin, kan?!!” Emang paling pintar cari pembelaan nih si Boboho satu.
“Sekarang juga, elo share lock rumah elo. Gua ke sana sekarang, mau ambil laporannya. Jangan pernah lagi, elo mikir, kasih tuh laporan bukti temuan ke sembarang orang. Paham?!!”
“Saya engga ada niat untuk kasih ke sembarang orang kok, Mas. Saya cuman mau kirim pake ojek online.”
Argh!!
“Susah memang ngomong sama orang ngeyel kayak elo!” Aku enggan untuk berdebat. “Sekarang juga, share lock lokasi elo!!” Pintu lift akhirnya terbuka dan langsung masuk ke dalamnya, memencet tombol 1 kembali menuju banking hall.
“Engga bisa, Mas?!” lirihnya denan suara parau.
Astaga!!
“Kenapa engga bisa?” Kesabaranku diambang batas.
“Kan, Mas Damar lagi nelepon saya!”
Asatga! Darah tinggi gua bisa bisa kumat!
“Saya tutup!”
*
Kepulan asap halus keluar dari mulutku, seperti aku menghembuskan segala beban yang menumpuk di dada. Setiap hembusan terasa membawa setumpuk pertanyaan yang tak pernah kutemukan jawabannya. Kedua mataku menatap kosong pada langit malam yang gelap, tanpa bintang. Angin malam berembus lembut, dingin, dan seolah menyatu dengan kekosongan dalam diri ini—seperti memberi tempat bagi kehampaan yang mulai terasa menyesakkan.
Lelah. Rasanya, aku bisa merasakannya meresap ke setiap sendi tubuh, menjalari setiap ruas tulang. Setelah rapat audit yang seharian penuh—ruang rapat yang menekan, berisi kata-kata yang tak berarti, tumpukan angka-angka yang mengikat pikiranku—aku memilih untuk sejenak mundur. Di beranda kantor, dengan sebatang rokok di tangan, aku menghembuskan napas panjang, berharap bisa mengusir lelah ini, meskipun aku tahu, kelelahan fisik ini bukan yang paling berat.
Sungguh, aku tak bisa mengingkari rasa syukurku. Pekerjaan ini memberi aku segalanya yang kubutuhkan—apartemen, kendaraan, segala fasilitas yang seharusnya membuatku merasa aman. Ketenangan hidup yang datang dengan kemapanan, yang seharusnya membuatku merasa lengkap. Tapi, setiap kali aku menyentuh benda-benda itu, aku hanya merasa semakin jauh dari diri sendiri. Seolah-olah, segala yang kudapatkan—semua yang sudah kuraih—hanyalah bayangan dari kehidupan yang seharusnya lebih bermakna. Pekerjaan yang benar-benar menyita waktu, pikiran dan energiku. Aku seperti tidak punya ruang untuk diriku sendiri.