Nashia Minara
Masih ingat dengan jelas dalam ingatanku, tentang masa kecil yang patah. Saat itu, aku pikir, tidak ada yang salah dalam hidupku. Aku kecil berada di tengah-tengah keluarga yang menyayangiku dengan baik, tidak merasa kekurangan apa pun sampai akhirnya aku sadar, aku tidak memiliki sosok yang kupanggil, Ayah.
Waktu itu, umurku lima tahun, saat eyang uti tutup usia, meninggalkan kami. Nenek tidak berhasil melawan penyakit komplikasi dalam tubuhnya. Aku kecil hanya mampu terpaku tanpa mengerti dengan baik, makna kepergian Nenek.
Aku melihat bagaimana Ibu dan Tante Tuti begitu sedih dan terpukul. Raungan tangis mereka memenuhi ruangan tempat eyang uti terbaring pulas, tubuhnya dipenuhi selang yang mengikat di mana-mana. Di sampingnya, Eyang Kakung berdiri dengan tubuh ringkih, menggenggam tongkatnya. Wajah Eyang Kakung yang biasanya tegar kini tertunduk, tak sanggup menahan duka.
Aku tidak paham kenapa mereka begitu sedih. Eyang Uti pergi, ya, tentu saja. Tapi Eyang Uti akan kembali, bukan? Lalu, kenapa semua orang menangis seperti itu?
Namun, ada sesuatu yang aneh di dalam diriku. Dadaku terasa berat, seperti ada sesuatu yang menekan. Aku tidak tahu kenapa aku juga menangis, tapi air mata itu terus turun, semakin deras. Suster di ruangan itu mendekat, menunduk agar sejajar denganku, dan memelukku dengan erat. Ia menepuk punggungku pelan, mencoba menenangkanku. Tapi rasa sakit itu tetap ada. Aku hanya merasa ingin menangis lebih kencang.
Setelah Eyang Uti meninggal, para saudara dekat dan jauh berkumpul di rumah kami. Beberapa wajah tampak familiar, tapi banyak juga yang asing.
Semua orang terlihat sedih. Mereka bergantian memeluk Eyang Kakung, Ibu, dan Tante Tuti. Mereka berdoa di ruang tengah, di mana tubuh Eyang Uti disemayamkan, tertutup kain batik hingga seluruh tubuhnya. Beberapa menangis, sementara yang lain hanya tertunduk.
Aku kecil terabaikan di tengah keramaian itu. Aku merasa bosan, bingung, dan sedih. Perasaan yang campur aduk itu sulit kumengerti.
Akhirnya, aku memilih duduk di teras belakang rumah Eyang Kakung. Di sana, ada beberapa anak kecil bermain, ditemani ibu mereka. Para ibu itu langsung menghampiriku, mengajakku bergabung dengan anak-anak mereka. Aku malu, tapi akhirnya mengangguk pelan dan ikut bermain.
Saat aku mulai merasa nyaman, seorang laki-laki bertubuh tegap menghampiri salah satu ibu berkerudung di sana. Ia tersenyum padanya, lalu menoleh ke arahku dan anak-anak lain yang sedang bermain. Tatapannya hangat, dan tangannya sempat mengusap kepalaku lembut sebelum ia menyapa anak laki-laki di sampingku.
“Bagas,” sapanya dengan suara rendah yang hangat.
“Ayah!” sahut anak itu dengan riang, wajahnya penuh senyum. Ia menatap laki-laki itu dengan mata yang berbinar seperti melihat bintang.
Aku tertegun, memandangi mereka. Laki-laki itu mengangkat tubuh Bagas dengan mudah, memeluknya erat, lalu menggendongnya tinggi-tinggi. Aku tidak bisa berhenti menatap mereka.
Ayah?
Bagas sama sepertiku, tapi kenapa dia punya laki-laki yang dia panggil Ayah? Kenapa aku tidak punya? Sepertinya menyenangkan dipeluk seperti itu, digendong tinggi-tinggi.
“Mah, kita pulang sekarang? Puncak jam segini pasti macet,” kata laki-laki itu pada ibu berkerudung yang ternyata adalah ibunya Bagas.
“Iya, Yah,” jawab perempuan itu lembut, sebelum menoleh padaku. “Nashia, Tante Mira pulang dulu, ya? Nanti kita main lagi sama Bagas.”
Aku hanya mengangguk, lalu melirik Bagas yang masih berada di gendongan laki-laki itu dengan rasa iri yang aneh. Tante Mira membelai rambutku lembut sebelum pergi, meninggalkan aku dengan pikiran yang penuh pertanyaan.
Hari itu, aku berhenti memikirkan tentang Eyang Uti. Pikiranku terisi oleh laki-laki yang dipanggil Ayah oleh Bagas. Kenapa aku tidak punya sosok seperti itu? Apa rasanya memiliki Ayah? Bagaimana bentuknya? Kenapa Ibu tidak punya laki-laki seperti itu?
Malam harinya, setelah pemakaman selesai, aku tidur di kamar bersama Ibu. Wajah Ibu terlihat letih, matanya bengkak karena terlalu banyak menangis. Aku menatapnya yang berbaring di sampingku, dan akhirnya memutuskan untuk bertanya.
“Bu, Minala mau cerita,” kataku pelan, memanggilnya dengan suara yang hampir berbisik.
Ibu menoleh lemah. “Cerita apa?” suaranya serak, terdengar sangat lelah.
“Mmm... Ayah itu apa, Bu? Apa Minala punya Ayah?” tanyaku sambil memainkan ujung selimut.
Ibu terdiam sejenak, wajahnya tampak bingung. Ia menghela napas pendek, lalu mengusap pipiku lembut. “Kenapa tiba-tiba Minala nanya begitu?” tanyanya, mencoba tersenyum.
“Tadi Minala main sama Bagas, terus ada Ayahnya Bagas. Minala juga punya Ayah nggak?”
Ibu menatapku dalam-dalam. Wajahnya yang penuh kelelahan kini menyiratkan kesedihan lain yang tidak kumengerti. Ia menarik tubuhnya lebih dekat denganku.
“Minala juga punya Ayah kok,” katanya lembut.
Mataku langsung berbinar. “Terus dia di mana?” tanyaku tak sabar.
Ibu menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. “Boleh ceritanya nanti saja? Ibu capek sekali hari ini. Gimana?”
Aku sedikit kecewa, tapi mencoba memahami. “Baik, Bu.”
“Sini, Ibu peluk anak Ibu yang cantik,” katanya sambil membuka lengannya. Aku mendekat, membiarkan Ibu memeluk tubuh kecilku dengan erat.
Malam itu, Ibu kembali menangis, suaranya pelan namun terasa penuh beban. Aku tidak menangis. Aku hanya memikirkan tentang sosok Ayah yang kata Ibu, aku juga memilikinya. Bagaimana bentuk wajahnya, ya? Apa dia akan memelukku seperti Bagas dipeluk Ayahnya?
*
Ayahku lebih tampan dan gagah daripada Ayah Bagas, itu yang kulihat saat Ibu menunjukkan foto pernikahan Ayah dan Ibu padaku.
“Kenapa ayah tidak ada di sini?” tanyaku, mataku tak lepas dari foto itu.
Ibu menghela napas, jarinya menyentuh sudut foto sejenak sebelum menatapku dengan senyum yang terlihat berat. “Kadang, tinggal bersama itu malah membuat segalanya jadi lebih sulit. Tapi bukan berarti kami saling benci, Nak. Kami hanya... memilih jalan masing-masing.”
Aku tidak benar-benar mengerti.
“Terus kapan Minala bisa ketemu Ayah?” tanyaku lagi, menatap Ibu penuh harap.
Kali ini, ibu terdiam sejenak. “Nanti Ibu tanyakan sama Ayah dulu ya? Ayah kan kerja, sibuk sekali.”
“Ibu juga kerja, tapi Ibu masih ketemu Minala. Kok Ayah enggak?” Aku memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu.
“Karena Ayah kerja di luar kota, di tempat yang jauh sekali. Butuh waktu lama untuk sampai ke sini, ke Bogor,” jawab Ibu lembut.
“Memang Ayah di mana?”
“Kalimantan.”
“Itu di mana?” tanyaku, bingung.
Ibu tersenyum kecil, lalu bangkit dari sofa. “Sebentar ya, Ibu ambil sesuatu.” Ia pergi entah ke mana, meninggalkanku duduk sendiri di ruang keluarga. Aku merasa kosong. Tidak ada lagi Eyang Uti yang biasanya sibuk di dapur atau memanggilku dengan suara seraknya. Tidak ada senyum hangat di balik wajah keriputnya. Semuanya terasa sunyi.
Perasaan sedih itu datang begitu saja, seperti ombak yang tiba-tiba menghantam. Aku mulai menangis tanpa tahu harus bagaimana. Air mataku mengalir deras saat Ibu kembali ke ruangan dengan sesuatu di tangannya. Ia terkejut melihatku menangis.
“Minara, kenapa menangis?” tanyanya khawatir, segera mendekat dan memelukku erat.
“Minala mau ketemu Iyang,” lirihku.
Ibu mengelus punggungku, suaranya lembut mencoba menenangkanku. “Semoga Allah mempertemukan Minara dengan Iyang dalam mimpi, ya? Itu doa Ibu buat Minara.”
“Kenapa dalam mimpi, Bu?” tanyaku, sesenggukan.
“Karena Iyang sudah di surga, sudah berada di sisi Allah. Itu tempat yang sangat jauh, Nak. Jadi, kita hanya bisa bertemu lewat mimpi. Enggak apa-apa, kan? Yang penting Minara bisa bertemu.”
Aku hanya mengangguk, perlahan tangisku mereda. Ibu membantuku menghapus air mata di pipiku, lalu tersenyum lembut.
“Nah, lihat, Ibu bawa apa?” katanya, sambil menunjukkan kertas tebal yang terlipat di tangannya.
Aku menggelengkan kepala, penasaran.
“Ini peta, peta Indonesia, negara kita.”
“Peta?” ulangku, bingung.
Ibu mengangguk. “Ibu ambil dari ruang kerja Kakek.” Ia membuka kertas tebal itu, memperlihatkan gambar berwarna biru dengan berbagai bentuk di tengahnya. Aku terpesona melihatnya.
“Nah, ini kepulauan yang ada di negara kita, Indonesia. Sangat luas, bukan?!” kata Ibu sambil menunjuk peta itu.
“Iya, luas sekali,” jawabku, mataku terpaku pada gambar-gambar kecil itu.
“Rista tahu, kita tinggal di salah satu pulau ini.”
Aku menatapnya tak percaya. “Masa, Bu? Kita tinggal di gambar sekecil ini?!”
Ibu tertawa kecil. “Ini hanya gambar. Aslinya, lebih besar dan lebih luas, sangat sangat besar.” Ia membentangkan kedua tangannya lebar-lebar untuk menggambarkan luasnya.
“Wah!” seruku kagum.
“Nah, ini Pulau Jawa, tempat tinggal kita.” Ibu menunjuk sebuah pulau panjang yang berkelok-kelok. “Dan ini, Pulau Kalimantan, tempat Ayah tinggal.” Ia menunjuk sebuah pulau berbentuk kotak tak beraturan.
“Menyebrang ya, Bu?”
“Betul sekali. Harus naik pesawat terbang, atau kapal laut. Dan itu butuh waktu lama. Jadi, Ayah membutuhkan waktu yang cukup lama untuk ketemu Minara, karena kita tinggal berjauhan dengan Ayah.”
Aku mengangguk, mencoba memahami.
“Jadi, Ibu akan bertanya sama Ayah. Kapan kalian bisa bertemu. Minara tidak masalah harus menunggu lebih lama?”
“Tidak apa-apa, Bu, yang penting Minala ketemu Ayah,” jawabku dengan mantap.
“Pintar sekali anak Ibu.” Ibu mengusap rambutku dengan senyum lembutnya.
“Bu, Minala boleh simpan peta ini?”
“Lho, untuk apa?”
“Sepertinya bagus kalau Minala simpan peta ini di dinding kamar.”
Ibu tertawa kecil. “Minta izin dulu sama Kakek. Karena itu punya Kakek.”
“Okay.”
“Ya sudah, Ibu mau bantu Tante Tuti dulu, ya?”
“Okay,” jawabku sambil tersenyum.
Ibu beranjak, meninggalkanku yang masih asyik menatap peta Indonesia itu. Mataku terus memandangi dua titik di peta yang terasa begitu jauh: Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan.
Aku menatap peta itu dengan penuh rasa ingin tahu dan harapan. Di sanalah aku dan Ayah, terpisah oleh jarak, tapi tetap berada dalam satu negara yang sama. Suatu hari, kami pasti akan bertemu.
*
Gedung pernikahan yang megah dengan suasana mewah dan elegan. Para tamu yang terlihat begitu rapi dan menawan dengan pakaian indah dan mewah mereka memenuhi gedung besar yang bermandikan cahaya.
Stand-stand makanan yang didekor serba putih berjajar di dalam gedung, wangi makanannya tercium menggugah selera dengan segala jenis makanan, dari mulai Asia hingga Western.
“Gue baru tahu, si Jo ternyata anak sultan,” celetuk Damar yang sejak tadi berdiri di sampingku, menunggu antrian lengang sambil asyik memandangi Jo dan Mike berdiri di panggung pelaminan yang didekor begitu cantik dengan berbagai warna bunga mawar, dan gemerlap dengan lampu-lampu yang mengelilinginya.
“Bukan Jo yang anak sultan. Lakinya, si Mike,” sahutku, tersenyum kecil melirik Damar yang cukup tampan malam ini.
Damar mengenakan setelan rapi dengan jas hitam tanpa dasi, kancing lehernya dibiarkan terbuka hingga memperlihatkan jenjang lehernya yang tegas, menciptakan tampilan yang rapi dan dewasa. Rambut hitam dan tebalnya disisir rapi ke samping, ditata dengan pomade, memperkuat kesan maskulin dan karismatik dalam dirinya.
Sedangkan aku, mengenakan gaun off-shoulder berwarna cokelat dengan desain lipit yang elegan. Jo memberikanku bahan dan aku membuatnya dengan model off shoulder, memperlihatkan pundakku untuk memberikan kesan anggun.
Rambutku sendiri, sebagian ke belakang dengan sisa rambut terurai lembut, feminin nan sederhana. Untuk perhiasannya, aku memakai anting bulat kecil yang menambah kesan minimalis namun tetap elegan.
“Terus mereka ketemu di mana?” tanya Damar, ingin tahu, berdiri tegak dengan membenamkan tangannya ke dalam saku celananya. Dia tampak gagah, aroma maskulinnya semakin kental.
“Jo kan dari zaman kuliah udah kerja, jadi agen properti gitu. Seperti dalam cerita dongeng. Mike, anak yang punya properti, mereka ketemu di acara kantor. Dan, Mike jatuh cinta gitu aja sama Jo. Mereka pacarana lama, terus sekarang, nikah, deh.” ceritaku, tersenyum senang menatap Jo dan Mike yang tengah berdiri bersanding di atas panggung pernikahan, Jo begitu cantik seperti salah satu Putri Disney.
Jo memakai gaun putih yang membuat kulit putihnya semakin bercahaya, rambut panjang hitamnya tampak berkilau dengan mahkota kecil di atas kepalanya, dan wajahnya begitu cantik. Bibir dan sorot matanya tidak berhenti tersenyum bahagia. Aku yang berdiri dari kejauhan ini ikut merasakan kebahagiaannya juga, sesaat menyingkirkan segala kesedihanku.