Nashia Minara
Kedua kaki kecilku berdiri terpaku saat melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap melangkah menghampiriku. Wajah tegasnya tampak familiar. Rambut gondrong yang terikat rapi dan kedua mata sayu yang hangat tersenyum lebar ke arahku.
Jantungku berdetak kencang. Mataku tak lepas menatap sosok yang selama ini kurindukan. Bahkan, lidahku terasa kelu.
"Halo, Cantik," sapanya ramah dengan senyum hangat yang menenangkan, berjongkok di hadapanku. Suaranya berat, sedikit serak.
Bola mataku menyelusuri wajah yang selama ini hanya kulihat dalam foto bersama Ibu. Rahang lebar, mata sayu dengan alis tebal, dan senyum lembutnya terasa menenangkan. Dan kali ini, sosok itu nyata, berdiri di depanku.
Kedua tangannya menangkap tubuhku dan menarikku ke dalam pelukannya. Tubuh kecilku terasa canggung, namun hangat dalam dekapannya. Aroma tubuhnya asing bagiku, samar-samar ada bau tembakau yang tercium.
Hati kecilku berdesir. Jauh dalam lubuk hatiku, aku sadar bahwa ini adalah pelukan seorang ayah. Ayah yang selama ini hanya ada dalam imajinasiku. Perasaan hangat yang selama ini hanya ada dalam anganku. Bagaimana sosoknya? Bagaimana suaranya? Dan bagaimana rasanya dipeluk seorang ayah? Sekarang aku tahu rasanya, menyenangkan.
Air mata mengalir di pipiku. Aku terisak dalam pelukannya, tak mampu menahan campuran emosi yang meluap.
"Hey, kok anak ayah yang cantik ini nangis?" tanyanya lembut menatapku dengan sorot mata teduh, mengelus punggungku, elusan yang membuncahkan perasaanku.
Aku hanya diam. Tak mampu menjelaskan apa yang kurasakan saat itu. Pelan dan ragu, kedua tanganku yang kecil membalas pelukannya. Punggungnya terasa lebar, begitu lebar hingga kedua tanganku tak bisa saling bertemu.
Aku terdiam menikmati detak jantungnya. Ayah. Ini ayahku. Aku punya ayah, seperti Bagas punya.
Setelah pelukan itu, Ayah, Tante Tuti, dan aku pergi jalan-jalan menggunakan mobil Eyang Kakung. Aku tidak tahu mengapa Ibu tidak mau menemui Ayah. Padahal, Ibu ada di rumah, bersembunyi di kamar kami. Tapi, aku tidak mau memikirkannya. Hari ini, aku ingin bersama Ayah.
Tante Tuti menyetir mobil Eyang Kakung. Aku duduk di pangkuan Ayah di jok depan. Riang sekali rasanya. Aku terus bercerita, meski mungkin hal-hal yang kuucapkan tidak penting. Seperti tentang Iyang yang dikubur dalam tanah, Ibu, Kakek, dan Tante Uti yang terus menangis.
"Minara, senang sekolah, Nak?" tanya Ayah sambil mengusap rambut pendekku.
"Senang sih, Ayah. Tapi Minala enggak suka belajar. Minala senangnya bermain dengan teman-teman."
"Lho, kok enggak suka belajar?"
"Habis, ngantuk, Ayah. Bosan, jadi Minala ngantuk."
"Minara itu suka tidur kalau bagian belajar. Selalu begitu. Tapi kalau dia disuruh cerita, dia suka sekali," tambah Tante Tuti sambil sesekali melirik kami. "Kata gurunya, Minara berbakat menjadi storytelli atau penulis."
"Oh, bakat seni dari Ayah, nih!" seru Ayah kagum.
"Bakat seni itu apa, Ayah?" tanyaku bingung.
"Bakat seni itu, menyukai hal-hal yang indah, imajinasi yang kuat. Kalau Ayah suka menggambar, membuat rumah."
"Wah, keren! Ayah bisa bikin rumah?" seruku takjub.
Ayah tertawa riang.
Hari itu adalah salah satu hari terbaik dalam ingatanku. Aku ingat setiap langkah kami. Aku yang berusia lima tahun merasakan kebahagiaan bersama Ayah untuk pertama kalinya sejak aku mengenal dunia.
Kami pergi ke salah satu mal di Bogor. Ayah membelikanku baju, mainan, dan sepeda roda empat berwarna merah muda yang kupilih sendiri. Selama berjalan di mal, aku duduk di pundaknya. Ayah mengangkat kedua tanganku seperti burung yang terbang. Aku tertawa lepas. Bahagia sekali rasanya.
Namun, semua harus berakhir. Aku kecil, tidak menyadari bahwa hari itu tidak akan bertahan selamanya.
Saat matahari tenggelam, kami kembali ke rumah Eyang Kakung. Aku yang tertidur sepanjang jalan pulang terbangun saat Ayah menggendongku keluar dari mobil. Barang-barang belanjaan kami diturunkan oleh Tante Tuti.
"Minara, Ayah pulang dulu, ya?" pamitnya, berjongkok di hadapanku.
"Pulang ke mana, Ayah? Ini rumah Ayah. Minala tinggal di sini," jawabku bingung sambil mengucek mataku.
Ayah tersenyum lembut sambil mengelus rambutku. "Ini rumah Minara dan Ibumu, Nak. Rumah Ayah jauh di sana. Ayah harus pulang. Sudah mau magrib."
Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. "Jadi, Ayah mau ninggalin Minala lagi? Ayah mau pergi lagi?" tanyaku lirih, menatapnya peluh.
Ayah terdiam sejenak. "Maafkan Ayah, Minara. Nanti kita bertemu lagi, ya? Kita main lagi nanti."
"Kapan?" tanyaku memohon dengan penuh harap.
Ayah tidak menjawab. Dia memelukku erat, mencium keningku, lalu beranjak berdiri. Aku hanya bisa menatap punggung lebarnya yang perlahan menjauh. Tangisku pecah.
Aku memanggil Ayah sekeras yang aku bisa, memohon agar dia tidak pergi. Tapi Eyang Kakung menangkapku dengan cepat. Ia menggendongku erat, mencoba menenangkanku yang terus memberontak.
"Eyang, tolong! Minala mau ke Ayah! Ayah sendiri, Eyang. Lepasin Minala, Eyang!" Aku menangis, meratap, memohon, memanggil Ibu untuk menolongku.
"Ibu, tolong! Ayah pergi! Ibu, tolong Minala! Ibu, tolong!"
Namun, semuanya sia-sia. Pilu. Sakit.
Aku menangis hingga lelah dan tertidur. Kata orang, anak kecil akan melupakan segalanya setelah tidur.
Nyatanya, tidak. Saat aku bangun, aku langsung mengingat semuanya. Kesedihan menguasai diriku lagi. Aku menangis, sadar bahwa Ayah tidak akan kembali.
Hari itu menjadi kenangan yang tersimpan erat di hatiku. Yang tersisa adalah, perasaan ditinggalkan begitu saja oleh Ayah yang hingga saat ini masih melekat dalam diriku.
*
Damar Hamish
Pagi hariku dimulai dengan suara berat nan mesra yang disertai nada genit, memecah konsentrasiku dari layar notebook. Suara itu langsung menghancurkan ketenanganku di ruang kerja ini.
"Mas Damar?"
Sial! Pagi-pagi uda ngedenger suara cempreng!
Satria berdiri di depan meja dengan senyum manja yang membuatku merasa mual. Kumis tipisnya bertengker kokoh diatas bibir tipisnya-entah kenapa ia begitu bangga dengannya—justru semakin mempertegas kesan genit yang menyebalkan.
Tanpa pikir panjang, aku meraih pulpen di meja dan melemparnya ke arahnya.
Dengan refleks yang terlalu bagus untuk seseorang seperti Satria, ia berhasil menangkap pulpen itu di udara.
"Sial!" kesalku.
"Eits, nggak kena!" katanya sambil mengayunkan pulpennya seperti seorang pemenang menyombongkan pialanya, senyumnya penuh kemenangan yang menyebalkan.
"Mas Satria hebat!" seru Zemi sambil bertepuk tangan kecil, dengan tawa ringan.
Aku melirik Zemi tajam, dan ia langsung menutup mulutnya sambil menunduk malu-malu.
"Apa? Pagi-pagi udah ganggu!" Aku menatap Satria dengan tatapan malas dari balik lensa kacamataku. Seperti biasa, dia hanya membalas dengan gaya menyebalkannya. Satria tidak pernah tersinggung dengan segala hal yang kulakukan dan kulontarkan padanya, dia tampak menikmati. Tapi dari semua tingkahnya, dia pekerja yang baik, dan ringan.
Satria meletakkan pulpen di mejaku sambil tetap mempertahankan senyum lebarnya. "Susah banget sih, Mas, senyum sama saya? Saya kurang menarik, ya, buat Mas Damar yang ganteng ini?" godanya dengan nada dibuat-buat sedih.
Bulu kudukku merinding, perutku mual mendengar Satria memujiku. "Tidak menarik sema sekali." jawabku dingin.