Rose's Kiss

J U N E
Chapter #5

Chapter 4 ; Laju Kereta dan Kursi Kosong

Nashia Minara

Kereta api dari Bandung menuju Yogyakarta menempuh perjalanan tujuh jam. Aku memilih kereta malam, berharap waktu perjalanan bisa kulewati dengan tidur. Namun, dalam redupnya lampu lorong kereta yang berderak cepat, mataku tetap terjaga. Menatap keluar jendela, hanya gelap yang terlihat. Entah apa yang tersembunyi di luar sana.

Perasaan asing menyeruak. Aku duduk sendiri, menempuh 296 kilometer dari Bandung. Ada sedikit rasa cemas, juga takut. Namun di sisi lain, ada semangat yang tak terbendung untuk menyambut apa yang menantiku di Yogyakarta.

Memori masa kecil muncul, begitu nyata. Ini bukan pertama kalinya aku bepergian sendiri dengan jarak yang cukup jauh. Sebelumnya, saat aku berumur 12 tahun, aku pernah seorang diri pergi sejauh 1.500 kilometer. Terbang dengan burung besi untuk pertama kalinya, menghampiri Ayah yang sudah tinggal dan memiliki keluarga di Kota Seribu Sungai.

Saat itu, aku masih kecil, belum mengenal emosi dan perasaanku dengan baik. Yang kuingat, sepanjang perjalanan menuju Bandara Soekarno-Hatta dari Bogor, aku menangis. Sedih dan enggan pergi menghampiri Ayah. Pikiran kecilku berkecamuk, takut. Entah mengapa aku merasa takut? Yang pasti, aku sedih karena harus meninggalkan Ibu seorang diri di sini. Dan saat itu, pertama kalinya aku jauh dari Ibu.

Sesampainya di bandara, perpisahan antara aku dan Ibu berlangsung dramatis. Ibu menangis sambil memelukku erat. Ia hanya mengatakan bahwa aku akan baik-baik saja. Tidak perlu khawatir, karena aku akan bertemu dengan ayahku sendiri.

Langkahku menyusuri bandara menuju ruang tunggu terasa ringan karena seorang pramugara dari Burung Garuda menemaniku. Ia tidak banyak bertanya, hanya menemani langkah kecilku, sesekali menengok ke arahku sambil tersenyum kecil. Mungkin, untuk memastikan aku masih menangis atau tidak.

Tentu, tangisku perlahan berhenti. Malu rasanya menangis di hadapan orang asing. Sosok laki-laki yang terlihat dewasa dan gagah dengan seragamnya.

Sesampainya di ruang tunggu, sang pramugara berkata, “Kamu tunggu di sini, ya? Nanti akan dibantu sama Mbaknya,” katanya sambil menunjuk seorang wanita tinggi, menawan, dengan seragam lengkap. Wanita itu menoleh padaku, melambaikan tangan dan tersenyum ramah.

Aku hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Sang pramugara pun pamit meninggalkanku. Aku kembali sendiri di ruang tunggu yang penuh dengan para penumpang. Berisik, karena mereka saling mengobrol dengan suara keras.

Rasa takutku perlahan menghilang saat melihat burung besi di luar sana. Aku melihatnya dari balik jendela besar dan kokoh di ruang tunggu.

Pikiranku teralihkan, sejenak melupakan kesedihan. Bagaimana bisa benda seberat itu terbang tinggi di udara? Bagaimana rasanya berada di atas langit yang selama ini hanya kulihat dari bawah? Bagaimana caranya manusia mampu menerbangkan benda sebesar dan sekokoh itu? Apakah aku, kami, akan baik-baik saja?

Tubuhku menjadi kaku. Rasanya ingin berlari keluar dari ruang tunggu. Rasanya aku tidak ingin naik ke burung besi itu. Tapi tentu saja, aku tidak bisa. Ibu pasti sudah pergi, Ayah sudah menungguku.

Jadi, aku hanya bisa pasrah.

Sampai akhirnya, wanita cantik itu—pramugari yang tadi—menyapaku dan berkata bahwa kami sudah bisa naik ke pesawat. Aku hanya perlu mengikuti penumpang lain yang mulai melangkah masuk ke lorong.

Aku menurut, dengan ragu dan takut yang kusembunyikan, membawa tiketku dan mengikuti mereka.

Lorong itu panjang dan terang. Ada rasa penasaran, bingung, apa yang akan kutemukan di ujungnya?

Dua pramugari menyambut kami di depan pintu besi besar. Salah satunya meminta tiketku. Aku memberikannya, dan ia mengantarku masuk ke dalam burung besi itu.

Aku tercengang. Di dalamnya begitu dingin dan luas. Kursinya terlihat nyaman dan empuk. Aku takjub. Ketakutanku berangsur hilang.

Kursiku berada dekat dengan pintu masuk, juga dekat jendela. Satu per satu penumpang menemukan kursi mereka.

Aku melihat keluar jendela dan menemukan lapangan luas, tempat beberapa burung besi terparkir rapi dan sejajar.

Pintu pesawat ditutup. Para penumpang duduk dengan tenang. Seorang pramugari duduk di sampingku. Wajahnya cantik, senyumnya ramah. Ia memakaikan seatbelt untukku, dan tak lama kemudian, pesawat mulai bergerak.

Rasa takut kembali menguasai.

“Kita akan terbang, tapi tidak apa-apa. Langitnya cantik dan indah,” ucap pramugari itu lembut.

Aku membalasnya dengan senyum canggung. Dia menemaniku.

Perlahan, burung besi menaikkan badannya. Napasku tertahan. Aku tidak bisa memikirkan apa pun. Pesawat mulai melayang di udara. Mbak pramugari membukakan jendela di sisiku.

“Lihat, cantik, kan?” katanya, masih dengan senyum itu.

Aku langsung menoleh ke luar jendela. Langit biru terbentang luas, awan-awan putih bergumpal, seperti kapas yang lembut.

Saat pesawat sudah stabil, Mbak pramugari berpamitan untuk kembali bertugas.

Pengalaman pertama yang tidak pernah kulupakan. Langkah kecil yang berani, melawan ketakutan, dan memilih menghadapi apa yang ada di hadapan. Semua itu membawaku melihat langit yang indah, perasaan yang seru sekaligus menegangkan, dan pertemuan singkat dengan orang-orang asing yang baik dan menawan.

Aku tersenyum mengingat momen itu. Jadi, aku pikir, perjalananku kali ini juga akan membawa keindahan. Membuatku melihat lebih luas, menemukan hal-hal baik dan indah. Ya, aku hanya perlu melawan ketakutanku. Menghadapi apa pun yang ada di depan. Tidak apa-apa. Aku butuh ini. Semua akan baik-baik saja.

Lima tahun terakhir ini, aku memutuskan untuk menjauh dari semuanya. Ya, selama ini aku melarikan diri. Menghindar dari segala bentuk emosi, dari hubungan yang mungkin bisa menghancurkan dan menyakitiku kembali. Aku mengabaikan luka, menutupinya dengan bekerja lebih keras, hingga lupa memenuhi kebutuhan diriku sendiri.

Luka yang seharusnya kusadari sebagai tanggung jawabku sendiri. Tapi aku malah memilih melarikan diri darinya. Aku sadar, lukaku adalah tugasku untuk sembuhkan. Itulah sebabnya aku tak ingin membawa siapa pun masuk ke dalam hidupku yang goyah. Aku membangun dinding tinggi. Tak ingin siapa pun merobohkannya. Karena aku tahu, aku lemah jika berurusan dengan rasa.

Di kereta ini, pikiranku kosong sejenak. Kursi di sampingku kosong. Tidak ada yang menemaniku.

Hahaha. Tentu saja, aku sudah dewasa sekarang. Bukan lagi anak perempuan kecil berusia 12 tahun.

Aku tersenyum konyol pada diriku sendiri. Membayangkan Damar duduk di sebelahku, menemaniku.

Aku menghela napas panjang. Tiba-tiba terasa begitu sepi. Sunyi.

Padahal, gerbong kereta ini cukup ramai dengan penumpang. Samar-samar terdengar suara obrolan dari kejauhan.

Tapi, kenapa tetap terasa kosong?

Aku merogoh tote bag katunku, mengambil sebuah jurnal bersampul biru gelap. Pemberian Damar saat ia mengantarku ke stasiun.

Stasiun Bandung dipenuhi hiruk-pikuk manusia yang berlalu-lalang, masing-masing sibuk dengan tujuannya. Suara pengumuman keberangkatan dan kedatangan menggema di udara, bercampur dengan suara koper beroda yang bergesekan dengan lantai, serta obrolan penumpang yang sesekali terdengar samar. Aroma khas stasiun, perpaduan antara besi rel, minyak pelumas, dan wangi kopi dari kios kecil di sudut peron, menyelusup ke dalam inderaku.

Aku melangkah melewati kerumunan, ransel terasa membebani punggungku sementara Damar mendorong koper besarku dengan satu tangan.

Udara dingin menyentuh kulitku, bercampur dengan angin sesekali yang berembus dari luar, membawa aroma hujan yang tersisa di aspal. Sesekali terdengar suara siulan lokomotif yang menggema, seolah mengingatkan bahwa waktu keberangkatan semakin dekat.

Aku mengedarkan pandangan, mencari mesin pencetak tiket di tengah antrean penumpang yang sibuk dengan ponsel atau berdiskusi dengan keluarga mereka. Sesaat, aku merasa seperti bagian dari lautan manusia yang penuh harapan, perjalanan, dan cerita masing-masing.

“By the way, elo cuman seminggu, kan, di Jogja?!” heran Damar saat kami berjalan menuju mesin cetak tiket. “Bawaan elo uda kayak mau minggat aja.”

“Kita tuh engga pernah tahu apa yang akan terjadi, apa yang benar-benar dibutuhkan. Jadi ya, gua siap-siap aja. Lebih baik bawa lebih, daripada bawa kurang.” Jawabku menoleh pada Damar yang berjalan tepat di sampingku.

“Cewek tuh ribet, ya?!” Keluh Damar.

“Iya lah. Cewek tuh harus siap untuk ribet.”

Sesampainya di mesin cetak tiket, aku mengambil ponsel di saku celana jeansku, Damar mengikuti langkahku di belakang.

“Untuk elo,” Damar menyerahkan begitu saja sebuah buku jurnal polos berwarna biru gelap setelah aku selesai mencetak tiket.

Aku memandang buku jurnal yang tersodor, lalu menatap Damar bingung. “Buku? Untuk apa?”

Damar tersenyum tipis, menatapku teduh dari balik lensa kacamata minusnya. Namun, aku masih bisa menemukan kelelahan dalam sorot matanya. Bahkan, rambut tebalnya yang biasa rapi, kini berantakan dengan lengan kemeja biru langitnya terlilit hingga siku.

“Nash, pertama kali gue kenal lo di himpunan, lo itu junior paling kreatif. Itu yang bikin gue tertarik buat kenal lo lebih jauh. Lo bahkan jadi wakil gua, dan dari situ gua tahu, lo penulis yang hebat. Gua sering baca tulisan lo, sebelum masuk ke tabloid kampus. Sayangnya, entah dengan alasan apa, elo berhenti menulis.”

Di antara suara-suara riuh yang terdengar samar-samar, di antara manusia-manusia yang berlalulang di sekitar kami. Kedua telingaku, mampu mendengar suara Damar, seolah hanya suara Damar yang mampu kudengar dengan jelas. Dan kedua mataku, terpusat pada sosoknya, seolah diantara ratusan manusia, Damar yang terlihat jelas dan utuh dalam pengelihatanku.

Aku tertawa kecil mendengar ungkapannya yang terdengar tulus ini.

Ia menatapku dengan sorot teduh. “Jadi, gue kasih buku ini. Selama liburan, isi dengan cerita setiap langkah lo. Kembali tuangkan sisi paling jujur lo, Nash. Entah cerita khayalan elo, atau Langkah yang elo lalui.”

Aku terdiam, ada rasa hangat di hatiku. Aku menerima buku yang tersodor untukku, tersenyum menatap Damar. “Boleh gue peluk lo?” tanyaku pelan, dengan senyum canggung.

Dengan sorot mata yang penuh makna, dan senyum jailnya, Damar mengambil satu Langkah mendekat padakku, kedua tangannya langsung merengkuh, memelukku erat. Sejenak napasku tertahan, aroma tubuh Damar yang maskulin dengan wangi wood yang menenangkan, membuatku ingin lebih merengkuhnya.

Dekapannya hangat, terasa begitu tulus, membuatku merasa penuh. Aku balas memeluknya, ragu namun pasti. Dalam hati kecilku, aku berharap, Damar tak akan pernah hilang dari hidupku. Aku tak tahu bagaimana jadinya, jika ia pun pergi. Karena ini, aku menahan, memendam, bahkan berusaha keras mengubur setiap kali perasaan untuknya hadir.

“Take care, ya?! Selamat bersenang-senang, berbahagia, dan sehat selalu,” ucap Damar berbisik lembut padaku.

“Elo juga. Sehat, Bahagia, dan berlimpah.” Aku mengelus-ngelus punggung lebarnya. Sungguh, ini cukup, bagiku kehadirannya seperti ini, cukup. Aku tidak mau serakah.

Aku membuka jurnal ini, menatap halaman kosongnya. Perjalanan ini bukan hanya tentang menuju Yogyakarta, tapi juga tentang menjemput kembali diriku sendiri.

*

Damar Hamish

“Teman-teman, Senin depan kita mulai audit di Cabang Pangandaran. Waktunya mundur dari jadwal awal, tapi itu bukan masalah karena masih ada beberapa hal yang perlu kita siapkan,” ucapku membuka rapat internal tim.

Aku duduk di tengah meja rapat, dengan Zemi dan Satria di sisi kananku, serta Galuh dari Divisi IT di sisi kiriku. Galuh bertugas mengaudit sistem jaringan cabang.

“Kita berangkat Minggu sore menggunakan mobil dinas kantor, pukul empat, setelah Ashar. Jadi, pastikan semua sudah siap sebelum itu,” lanjutku sambil menatap satu per satu rekan-rekan tim. Wajah mereka terlihat antusias, meski ada sedikit ketegangan.

Aku membuka lembaran laporan di hadapanku, membaca beberapa poin penting dari balik kacamata minusku untuk mengecek persiapan masing-masing.

“Hal pertama yang kita lakukan adalah audit reguler. Kita akan mengevaluasi kepatuhan, operasional, dan pengendalian internal cabang. Pemeriksaan meliputi rekening pegawai—mulai dari kepala cabang hingga office boy—operasional perbankan, kredit, jaringan, kepatuhan, dan manajemen risiko.” Aku menjelaskan dengan tenang, sesekali melirik mereka yang ikut membaca dokumen di depan mereka.

Aku menoleh ke Satria. “Satria, tugasmu mengecek rekening pegawai, kredit, dan manajemen risiko. Bagaimana persiapannya?”

Satria, yang biasanya berwajah santai dengan sedikit kelucuan, kali ini duduk dengan serius, tubuhnya sedikit berbalik ke arahku.

“Sudah, Mas. Saya sudah mengumpulkan semua data rekening pegawai, termasuk data nasabah kredit—baik yang lancar maupun yang masuk daftar hitam, dari yang baru hingga yang lama,” jawabnya mantap.

Aku mengangguk puas. “Great.”

Aku beralih ke Zemi. “Zemi, bagaimana dengan operasional perbankan?”

Zemi menarik napas dalam, seolah menenangkan dirinya. Wajahnya terlihat sedikit tegang, tapi matanya fokus menatapku.

“Tugas saya adalah mengevaluasi operasional perbankan, termasuk front liner dan tim marketing. Saya sudah menghubungi kepala cabang dan security untuk mengecek kondisi pelayanan Teller dan Customer Service selama enam bulan terakhir. Saya juga menanyakan apakah ada keluhan dari nasabah.”

“Lalu, ada komplain?” tanyaku.

Zemi mengangguk. “Ada. Saya sudah mencatat waktunya dan meminta rekaman CCTV untuk meninjau situasi. Selain itu, saya juga sudah meminta data absensi pegawai kepada kepala cabang untuk mencocokkan dengan laporan operasional.”

Aku kembali mengangguk. “Good job, Zem.”

Aku beralih ke Galuh. “Bagaimana dengan sistem jaringan?”

Galuh menjelaskan tugasnya, yaitu memeriksa apakah jaringan kantor cabang berfungsi dengan baik atau ada kendala yang menghambat transaksi.

Audit ini bukan sekadar mencari kesalahan kantor cabang dan pegawainya. Kami harus tetap objektif. Aturan adalah aturan.

Sebagai auditor, tugas kami adalah memastikan segala sesuatu berjalan sesuai standar, bukan menghakimi, melainkan menjaga integritas bank. Tidak ada ruang untuk kompromi dalam hal ini.

Aku menutup laporan dan menatap mereka satu per satu. “Baik. Pastikan semua dokumen dan alat kerja siap sebelum keberangkatan. Kalau ada kendala atau pertanyaan, sampaikan sebelum hari Minggu.”

Lihat selengkapnya