Rose's Kiss

J U N E
Chapter #6

Chapter 5 ; Titik Temu

Nashia Minara

Udara panas menyengat menyapa saat aku turun dari kereta. Tepat pukul enam pagi, aku tiba. Stasiun Tugu begitu ramai dengan para pendatang dan mereka yang pulang. Beberapa turis asing tampak berjalan menyusuri stasiun menuju pintu keluar. Aku mendorong koper kecilku, dengan ransel di punggung dan tote bag menggantung di lengan.

Ya, aku tahu ini terlalu banyak. Tapi hey, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi selama di sini. Jadi aku mempersiapkan segalanya.

Mataku menjelajah ke segala arah, takjub melihat Stasiun Tugu. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di sini. Aku selalu terpukau pada pengalaman pertama dalam hidup.

Sesampainya di pintu keluar yang ramai dan padat, aku menghampiri ruang tunggu. Ruang tunggu yang juga menjadi tempat penjemputan ini terasa strategis untuk menunggu. Mataku kembali terpukau, kali ini oleh langit biru yang begitu luas dan indah.

Jam belum menunjukkan pukul tujuh pagi, tapi langit di sini sudah cerah. Biru terang dengan awan-awan tebal menumpuk satu sama lain, terlihat empuk dan membentuk siluet acak. Apakah ini hanya perasaanku, atau langit di sini memang terasa lebih dekat? Rasanya mudah kugapai.

Cukup lama aku menikmati langit sampai tersadar oleh dering ponsel. Aku mengambilnya dari dalam tote bag—ada panggilan tak terjawab dari nomor asing. Sepertinya ini teman Damar yang akan menjemputku.

Sebuah pesan WhatsApp masuk dari nomor yang sama. Benar saja, dia temannya Damar. Ia memberi tahu bahwa sudah sampai di stasiun dan menanyakan posisiku. Aku langsung membalas, memberitahu di mana aku berdiri.

Pesannya terbaca. Sambil menunggu, aku juga mengabari Ibu bahwa aku sudah sampai dan sedang menunggu jemputan.

Dering ponsel kembali membuyarkan lamunanku. Sebuah pesan masuk:

Mbak Nashia, saya Idan, temannya Mas Damar. Saya sudah di Stasiun Tugu. Mbak di mana?

Aku langsung membalas, menyebutkan lokasiku di ruang tunggu.

Tak lama, seorang pria kurus dengan rambut ikal pendek menghampiriku. Senyumnya lebar, matanya bulat berbinar.

“Mbak Nashia?” tanyanya dengan logat Jawa yang kental.

Aku mengangguk. “Iya, saya Nashia.”

“Idan, Mbak. Saya yang jemput.” Ia tersenyum ramah sambil mengulurkan tangan. Tatapan matanya jernih, membuatku langsung merasa nyaman. Seketika aku mengerti kenapa orang bilang Yogyakarta penuh keramahan.

Mobil jeep yang kami tumpangi melaju di jalanan Yogyakarta yang lengang.

“Ini pertama kali ke Jogja, Mbak?” tanya Idan, memecah keheningan. Sesaat ia menoleh padaku, lalu kembali fokus pada jalan. Gaya menyetirnya tenang dan santai.

Aku menoleh dari jendela. “Dulu pernah, waktu SMP. Setelah itu belum lagi.”

Sebenarnya, aku tidak pernah berniat ke kota ini. Tidak ada keluarga, teman, atau alasan khusus untuk datang. Sampai Ibu bercerita tentang pertemuannya dengan Ayah di sini, bertahun-tahun silam.

Ada sesuatu yang menarikku ke Jogja. Mungkin aku ingin merasakan jejak masa lalu orangtuaku.

“Jogja sudah banyak berubah,” kata Idan sambil sesekali melirikku. “Tapi satu hal yang pasti, semua orang yang datang ke sini, selalu ingin kembali.”

Langit Yogyakarta membentang luas, birunya nyaris tanpa batas. Pagi hari, di jam kerja, jalanan tetap lengang dan tenang. Tak ada kemacetan yang membuat pening.

“Kotagede itu jauh dari Malioboro?” tanyaku, melirik Idan yang masih menyetir dengan tenang.

“Ke timur, Mbak. Sekiranya itu enggak nyampe setengah jam.”

“Enggak terlalu jauh berarti, ya?”

“Iya, Mbak.”

Sepanjang perjalanan, kami terdiam dalam kenyamanan. Aku terus menatap keluar jendela, menikmati jalanan kota Jogja yang kami lintasi. Aku memang mudah terpukau dengan hal-hal baru yang kutemui—entah bentuk toko-toko yang berderet, lampu merah, atau tatanan kota. Semuanya membuatku tersenyum tanpa sadar. Ada perasaan tenang nan lega yang menyelusup ke dalam diri. Aku rasa, perjalanan ini akan menyenangkan. Apa pun yang menungguku di sini, adalah sesuatu yang baik dan indah.

Mobil jeep terparkir di depan sebuah lapangan rugby luas dengan rumput hijau yang terpotong rapi.

“Ini namanya Lapangan Karang, Mbak,” jelas Idan sambil membuka sabuk pengamannya.

“Oh, oke. Bagus ya lapangannya. Rapi banget.”

“Iya. Tiap malam, di depannya banyak makanan, angkringan gitu.”

“Wah! Seru dong!”

“Nanti coba makan di sini. Banyak variannya.”

“Okay.”

Kami pun turun dari mobil. Idan membantuku membawa koper dari bagasi belakang, sementara aku kembali mengenakan ranselku.

Kami menyeberang dari area parkir, dan terlihat sebuah rumah yang dibangun dengan cantik. Rumah ini dikelilingi dinding putih dengan sebuah pintu kayu tinggi dan lebar.

Sebuah plang bertuliskan Titik Temu Hostel and Coffee Shop terpampang jelas.

“Silakan, Mbak.” Idan mempersilakanku masuk lebih dulu melewati pintu kayu berukir itu.

“Ok.” Aku melangkah canggung, dan langsung disambut taman luas yang asri. Rumput hijau terpotong rapi, dengan dua pohon besar berdiri teduh di sisi halaman.

Di ujung halaman, sebuah rumah sederhana berdiri dengan pintu terbuka lebar. Di terasnya ada dua meja kayu, kursinya dipenuhi tamu—turis lokal maupun asing—yang sedang asyik mengobrol sambil menikmati minuman dingin.

Sesaat aku takjub dengan konsep penginapan ini. Sederhana namun hangat. Riuh tapi tidak berisik.

Kedua mataku menjelajah lagi ke sekeliling, rumah ini jauh dari keramaian. Tenang. Sunyi.

“Hey, Idan?!” panggil seorang pria dengan logat Inggris kental saat kami tiba di area teras. Aku menoleh ke arah suara itu. Seorang pria berkulit putih kemerahan dengan rambut cokelat tebal melambai pada Idan. Ia duduk santai bersama beberapa temannya sambil menikmati radler dingin.

“Hi, George!” sahut Idan dengan senyum lebar. Ia membuka sandal gunungnya. Aku pun ikut membuka sepatu Converse yang kukenakan.

“Bentar ya, Mbak,” pamit Idan, lalu membawa koperku ke dekat pintu masuk.

“Okay.” Aku tersenyum tipis.

“Where have you been?” tanya George saat Idan mendekatinya.

“Pick up guest at stasiun,” jawab Idan dengan logat khasnya, terdengar sangat natural.

“Wow. Full service,” sahut seorang perempuan Asia berambut hitam, melirikku dari balik kacamata minusnya.

“Ah, no. She is Mas Adit friend from Bandung,” jawab Idan. Mereka melirik ke arahku. Aku mengangguk sopan. Mereka membalas dengan senyum hangat.

Aku melangkah menaiki teras, mendekati pintu yang terbuka. Aroma kopi menyeruak kuat dari dalam, pekat dan menenangkan. Seolah mengundangku masuk. Bayangan tentang es americano dengan balok es yang banyak muncul di benakku. Membayangkannya saja sudah membuatku menelan ludah.

Aku melirik pelan ke dalam, mencuri pandang. Mau masuk rasanya ragu—aku belum dipersilakan. Atau … aku boleh masuk?

“Kamu boleh masuk, kalau mau,” suara berat dan dalam terdengar begitu dekat di sampingku. Aku terhentak, langsung menoleh.

Seorang pria berdiri di sampingku. Dekat sekali, hingga aku bisa merasakan hawa tubuhnya. Aku harus mendongak untuk menangkap sorot matanya—tajam, tapi tak sepenuhnya dingin. Rahangnya kokoh, dihiasi brewok tipis. Rambut hitamnya sedikit berantakan, seolah baru saja disibak tangan. Ia menatapku dengan ekspresi yang sulit kubaca. Dingin.

“Oh, sorry?!” Aku tersenyum canggung, melangkah sedikit mundur. Penampilannya sederhana—kaos dan celana pendek—tapi ada wibawa yang membuatku segan.

“Enggak apa-apa. Masuk aja. Kamu Nashia, kan?” Kali ini suaranya terdengar lebih ramah, senyumnya mengiringi.

Aku menatapnya. Siapa laki-laki ini? Berkulit cokelat, wajahnya tegas dan sorot matanya membias. Apa dia …?

“Mas Adit!” panggil Idan sebelum aku sempat menjawab.

Ah, benar. Dia yang bernama Mas Adit.

Mas Adit menoleh, lalu menghampiri kami dengan langkah cepat.

“Ini lho, Mas, tamunya Mas Damar,” kata Idan memperkenalkanku. “Mbak Nashia.”

Mas Adit menoleh padaku dengan senyum kecil. “Iyo, wes tahu aku.” Ia menepuk bahu Idan, lalu menatapku lagi. “Kamu mau masuk sekarang?”

Aku menatapnya sambil tersenyum. Wajahnya terlihat cuek, cukup garang. Tapi … sepertinya, ia bukan orang jahat.

“Mau,” jawabku yakin.

*

“Silakan.” Mas Adit mempersilakan aku masuk ke dalam hostel Titik temu, dengan senyum tipisnya, berdiri tegap di ambang pintu.

“Thank you?!” senyumku melihat Mas Adit sesaat. Lelaki yang berkulit coklat dengan kaos gelap itu berdiri tegap, rambutnya tebal dan gondrong, sedikit berantakan. Rahang tegasnya di hiasi brewok tipis, memperjelas aura maskulin dalam dirinya. Sekilas, wajahnya tampak muda, mungkin karena kulit bersihnya dan senyuman kecil yang menggantung di sudut bibirnya.

Tapi, jika di perhatikan lebih lama, terlihat guratan ketenangan dan sedikit kebapakan yang menyiratkan umurnya yang lebih tua dariku. Damar sebelumnya bilang, bahwa Mas Adit seperti abangnya, karena itu Mas Adit memberikan diskon setengah harga untukku. Ya, di lihat-lihat, dia memang sosok lelaki dewasa yang sudah melewati banyak hal dalam hidup.

Mataku teralihkan dari sosoknya, kini menelusuri rumah sederhana yang telah di ubah menjadi hostel yang hangat dan terasa menyenangkan.

Ruang tamu rumah tua ini kini disulap menjadi area resepsionis yang menyatu dengan coffee shop mungil bergaya vintage. Ubin-ubin kecil berwarna krem dan coklat berpola klasik membentang di seluruh lantai, menciptakan kesan hangat yang berpadu sempurna dengan atmosfer nostalgik.

Di salah satu sisi, sebuah bar kayu dengan permukaan yang sedikit usang berdiri kokoh, dilengkapi dengan barstool kecil berwarna hitam yang berjejer rapi.

Lihat selengkapnya