Rose's Kiss

J U N E
Chapter #7

Chapter 6 ; Desiran Ombak Pantai

Damar Hamish

“Gimana hari ini di Jogja?” sapaku langsung setelah menerima telepon darinya. Sekilas, aku melirik Satria dan Zemi yang masih tenggelam dalam pekerjaan mereka.

“Berhubung gue baru sampai tadi siang, gue belum ke mana-mana. Jadi, masih di hostel. Dan Titik Temu ... ternyata semenyenangkan itu ya?! Elo milih tempat dengan tepat. Makasih ya, Mar!” suaranya ceria.

“Lega gue dengarnya. Sama-sama, Nash,” sahutku, menarik kacamata bacaku ke atas kepala. “Yang jemput elo Mas Adit?”

“Bukan. Sama Idan. Gue ketemu Mas Adit setelah sampai di hostel.”

“Oo, oke.”

“Ngomong-ngomong soal Mas Adit … orangnya aneh ya?!”

“Aneh gimana maksudnya?” tanyaku heran, sambil pamit pada Zemi dan Satria dengan bahasa bibir. Aku keluar dari ruang meeting kaca itu. Satria hanya mengacungkan jempol dengan wajah semerawut, sementara Zemi mengangguk kecil dari balik wajah lelahnya—rambut panjangnya diikat seadanya.

“Kadang ramah banget, kadang dingin kayak kulkas.”

“Oo … dia memang gitu. Maklumin aja, Nash.”

“Maklumin gimana maksudnya?”

Aku berdiri di sudut ruangan, menyender pada dinding sambil menyelipkan satu tangan ke dalam saku celana.

“Lho, gue belum cerita ya?”

“Elo cuma bilang, Mas Adit punya hostel, umurnya tujuh tahun lebih tua, elo sering nginap di sana, makanya dapat diskon.”

Lupa lagi, bagian paling penting malah enggak diceritain.

“Dia masih dalam masa duka gitu, Nash.”

“Masa duka? Siapa yang meninggal?”

Aku menggaruk pelipis, bingung memulai dari mana.

“Istrinya. Meninggal karena Covid, dua tahun lalu. Dan istrinya itu ... teman seangkatan gue waktu kuliah. Dari Mbak Ayu, gue kenal Mas Adit.” Ceritaku singkat.

Aku menyenderkan tubuh ke dinding lorong kantor yang dingin karena full AC. Lelah mulai menguasai tubuh. Sejatuh-jatuhnya cinta pada pekerjaan, rasa lelah tetap datang. Dan saat lelah hadir, sepi ikut menyergap.

“Innalillahi … pantes!”

“Pantes kenapa?”

“Ya, pantes aja. Panas dingin orangnya. Sekarang gue sedikit paham.”

Aku tersenyum kecil, mengangguk.

“Elo nanti ke Gunung Kidul ya?! Sayang banget kalau sampai dilewatkan. Pok Tunggal, pantainya masih sepi. Atau coba ke Bantul. Ada tuh pantai yang mirip banget kayak di drakor kesukaan elo.”

“Oiya? Drakor yang mana?”

“Itu lho, yang manusia jatuh cinta sama dedemit. Yang ceweknya anak yatim piatu.”

“Hah? Sama dedemit? Emang ada?!”

“Iya, yang dipanggilnya ‘ajussi ajussi’ gitu.”

“Yaelah Goblin! Itu bukan dedemit. Ajussi ganteng gitu, elo panggil dedemit. Sialan lo!”

Aku tertawa mendengar nada kesal kecil dalam suaranya.

“Ya sama aja, itu versi Indonesianya.”

“Iya juga sih, hahaha. Apa nama pantainya?”

“Glagah, kalau enggak salah. Search aja di Mbah Google.”

“Oke.”

“Minta tolong aja sama Mas Adit. Kalau dia ada waktu, pasti mau nemenin elo.”

“Lihat nanti deh. Gue coba minta tolong.”

“Dia engga sedingin itu kok, Nash.”

“Iyaa! Terus kerjaan lo gimana? Seru, ya? Seperti biasa?” sindirnya.

“Sialan. Seru dari Hongkong. Pening kepala gue,” keluhku.

“Masih di kantor?”

Aku mengangguk, meskipun dia tidak bisa melihat. “Iya.”

“Udah makan?”

“Belum.” Suara lemahku keluar.

“Makan gih. Makan di pantai gitu sama tim lo. Kan deket tuh sama Pangandaran. Menghirup udara Pantai yang segar biar besok dan seterusnya lebih fresh.”

Bener juga.

Aku melirik arloji—jam delapan malam. Kami belum makan malam. Dan aku termasuk orang yang selalu menolak disuguhi makan selama audit. Karena itu bukan hak kami.

“Elo benar. Mumpung di Pangandaran, kan?”

“Yoi! Jangan keras-keras sama diri lo sendiri. Atau, minimal, buat Zemi dan Satria,” ucap Nashia dengan suara lembutnya. “Istirahat sejenak. Baru mulai lagi.”

Aku berpikir sejenak. Suaranya seperti penenang buat kepala yang penuh beban ini.

“Okay.”

“Ya udah. Gue mau mandi, bersih-bersih, terus cari makan. Kata Idan sih, di depan banyak angkringan.”

“Ah iya. Lapangan Karang. Banyak makanan enak di situ.”

“Apal banget?!”

Aku tertawa.

“Ya udah. Gue tutup ya, Mar?”

“Okay, Nash. Sehat-sehat ya!”

“Elo juga.”

Telepon terputus. Aku menarik napas panjang. Kangen juga, sama dia. Aku kembali menarik kacamata dari atas kepala, memakainya untuk kedua mataku.

Kumasukan kembali ponsel ke saku celana dan melangkah kembali menuju ruangan. Tapi langkahku terhenti sejenak, berdiri di depan jendela kaca, mengamati Satria dan Zemi dari kejauhan.

Meja rapat berbentuk elips itu dipenuhi laporan, data nasabah, berkas kepegawaian, dan neraca kas cabang Pangandaran. Kertas-kertas berceceran hampir menutupi seluruh permukaan meja. Satria terlihat stres, sementara Zemi berkali-kali menggerakkan lehernya yang pegal.

Hari pertama ini benar-benar berat—menguras energi dan pikiran kami.

“Tria, Zem?” panggilku saat masuk kembali ke ruang rapat.

Mereka menoleh, kelelahan tergambar jelas di wajah mereka.

“Udah sampai mana?”

Satria dan Zemi saling menatap.

“Saya lagi cek ulang, Mas. Takut ada yang kelewat,” sahut Satria.

“Lembaran terakhir transaksi pegawai,” timpal Zemi.

Aku mengangguk. “Oke. Setengah jam lagi, mau beres atau enggak, tutup laporan. Rapikan meja. Kerjaan enggak akan pernah habis, dan kita diberikan waktu maksimal waktu empat minggu di sini. Jadi, untuk hari ini, cukup. Sekarang udah jam delapan malam, dan kita belum makan. Setelah ini, kita makan seafood di Pantai, sebelum balik ke hotel.”

“Seriusan, Mas?” tanya Satria, matanya yang tadi redup kini penuh cahaya.

Aku menoleh padanya dengan ekspresi datar. “Apa saya terlihat bercanda? Atau kamu lebih milih tetap kerja?”

“Oh big no! Ayo kita ke makan! Eh maksudnya ke Pantai!” serunya sambil buru-buru merapikan laporan, membuatku tertawa kecil melihat tingkahnya.

Aku melirik ke arah Zemi. Ia menatapku lembut dengan senyum kecil dan binar lelah di matanya. Aku membalasnya dengan senyuman tipis.

Ya. Kita semua butuh jeda. Sebentar saja, untuk bernapas.


*

Langit malam bertabur bintang tipis. Suara ombak dari kejauhan mengalun tenang, seperti lullaby yang menenangkan. Sempurna untuk membiarkan rasa Lelah dalam tubuh, punggung pegal, leher kaku, dan kepala penuh angka-angka.

Kendaraan-kendaraan terparkir rapi di depan rumah makan sederhana ini. Orang-orang lalu-lalang santai, diselingi obrolan samar yang terbawa angin.

Dari balik kacamata minusku, aku bisa melihat semuanya dengan jelas. Jendela besar tanpa kaca dibiarkan terbuka, membiarkan aroma air laut masuk. Meski udara malam sedikit panas, embusan anginnya terasa adem.

Lihat selengkapnya