Rose's Kiss

J U N E
Chapter #9

Chapter 8 ; Pulang

Damar Hamish

"Ayah! Layangnya terbang! Terbang, Ayah!"

Seorang anak laki-laki berseru girang. Matanya berbinar dari balik kacamata minusnya, menyaksikan layangan segitiga yang lusuh itu akhirnya mampu menari tinggi menembus langit senja, setelah gagal beberapa kali.

Kedua kakinya yang kecil berlari-lari mengikuti arah layangan. Gelak tawanya pecah di tengah lapangan merah. Wajah mungilnya berseri, pipi tembemnya bersemu Bahagia, kedua mata bular jernihnya menatap penuh binara pada layangan di langit sana.

"Keren, kan? Siapa dulu dong? Ayah!"

Seorang pria tinggi berbadan tegap berseru bangga, benang layangan tergenggam erat di jarinya. Menarik benang dengan lihai di antara jemarinya, kuat dalam genggamannya, agar layangan tetap stabil di udara.

"Iya, Ayah kelen," seru si kecil dengan cadelnya yang lucu.

Anak laki-laki itu menghentikan langkah, berdiri diam di tengah lapangan. Matanya yang penuh harap, tak lepas menatap layangan yang terus terbang tinggi.

Senyap. Pikirannya melayang, tengah berkhayalan, khayalan yang luas, seluas langit senja hari itu, mulutnya terbuka kecil, terkesima.

Sang ayah menatap anaknya dengan lembut. Rambutnya yang tebal dan ringan, seperti menari-nari di atas kepala kecilnya, ditiup oleh embusan angin lembut.

Ia tersenyum tipis, namun ada segaris kekhawatiran di matanya. Dalam diam, ia memanjatkan doa—semoga Tuhan selalu menjaga anaknya.

"Dek, mau coba pegang benangnya? Mau coba terbangin sendiri?" Ayah membungkuk, menyamakan tinggi mereka, namun tetap fokus pada benang.

Si kecil menoleh, menatap ayahnya dengan mata besar yang jernih."Boleh, Ayah?"

Ayah tersenyum."Tentu saja. Ini benangnya."

Dengan hati-hati, tangan kecilnya menerima benang yang tipis itu. Ada ketakutan di matanya—takut tak sanggup mengendalikannya, takut benangnya terlepas.

Ayah menggenggam tangannya, membantu mengatur tarikan benang.

"Ayah ..." suaranya pelan. "Damal bisa kayak layangan nggak?"

"Kayak layangan?" ayah mengernyit bingung, masih terjongko di samping anaknya.

"Iya. Terbang. Damal mau telbang, main di awan. Kayak nobita sama dolaemon, main di awan terus bangun lumah." Khayalannya melayang setinggi layang-layang itu.

Ayah sedikit tertawa, membiarkan dunia anaknya tetap luas. "Tentu bisa."

"Asyik!" serunya riang. “Caranya?”

“Mmm … nanti, kita pikirkan dan buat rencana. Bagaimana?”

“Ok, ayah!”

Dalam hati, sang ayah tahu betapa mustahilnya. Tapi ia tak ingin mengekang imajinasi itu dengan logika dewasa. Biarlah anaknya bermimpi. Kelak, waktulah yang akan memberi pengertian.

"Dek, kita pulang, yuk. Sebentar lagi magrib."

"Iya."

Ayah menarik benang, menurunkan layangan perlahan hingga akhirnya tergulung rapi.

Sepanjang perjalanan pulang dari lapangan perumahan, tangan kecil Damar menggenggam telunjuk ayahnya erat-erat. Langkahnya yang kecil membuat ayah memperlambat langkah, tapi tak apa—ia menikmati waktu ini.

Damar terus berceloteh, ceriwis, kadang tak jelas, kadang masuk akal. "Damal kuat lho, ayah! Damal bisa angkat mobil Ayah!"

Ayah tertawa pelan, menanggapi, "Anak Ayah hebat!"

Lihat selengkapnya