Nashia Minara
“Ya udah. Gue mau mandi, bersih-bersih, terus cari makan. Kata Idan, di depan banyak angkringan,” pamitku sebelum menyudahi sambungan selularku dengan Damar.
“Ah iya. Lapangan Karang. Banyak makanan enak di situ.”
“Apal banget?!” godaku, lalu melirik ke tirai dorm yang sejak tadi tertutup. Perlahan, tirai itu terbuka. Seorang perempuan bule berambut pirang dengan wajah setengah sadar terlihat di baliknya.
Damar tertawa.
Perempuan itu melirikku, aku membalas dengan senyum ramah, yang langsung ia balas dengan anggukan kecil dan senyum serupa.
“Ya udah. Gue tutup ya, Mar?”
“Oke, Nash. Sehat-sehat ya!”
“Elo juga.”
Telepon terputus. Aku terdiam menatap layar.
Sekarang aku paham, kenapa Mas Adit mendadak bersikap dingin waktu aku menyinggung soal Damar dan komik Sailor Moon. Ternyata, semua itu berhubungan dengan almarhumah istrinya, Mbak Ayu …
Saat aku hendak bangkit dari kasur, layar ponselku kembali menyala—ibu menelepon. Perempuan bule tadi sudah keluar kamar. Kamar dorm yang agak redup ini Kembali sunyi.
“Hallo, Bu?”
“Hallo, Sayang. Tadi nelpon, ya? Ibu lagi salat Isya tadi.”
“Iya, cuma mau dengar suara Ibu aja.”
“Kamu ini ... Gimana di sana? Nyaman? Bersih? Tempatnya oke?”
Aku menyapu pandang ke kamar yang dingin karena AC. Selimut tebal putih menutupi sebagian kakiku.
“Nyaman banget, Bu. Nash suka. Tempatnya bersih, homey. Berasa di rumah Nenek.”
Kami mengobrol cukup lama. Aku bercerita soal hostel dan udara Jogja yang panas. Ibu, seperti biasa, cerita tentang pekerjaannya, kemacetan Bogor, dan hujan yang mulai sering turun lagi.
Setelah menutup telepon, aku memutuskan keluar sebentar. Dompet kusimpan di saku celana jeans. Ponsel kutinggal—karena aku sudah keep in touch sama Ibu dan Damar. Siapa lagi yang akan menghubungiku?
Aku berjalan tenang menyusuri lorong terang dengan lampu kuning yang hangat. Melewati ruang coffee shop, dan aku menemukan Mas Adit dan Idan berdiri di balik barstool, keduanya mengenakan apron, sibuk menyiapkan minuman.
Beberapa meja terisi tamu, baik lokal maupun internasional.
Sekilas, aku melihat Mas Adit sedang menggunakan alat V60. Rambutnya diikat seadanya, beberapa helai terlepas di dahi. Wajahnya serius, kedua mata fokus pada tangannya yang tengah meracik kopi. Aku tersenyum kecil melihatnya begitu serius meracik kopi, dia benar-benar memiliki daya Tarik sendiri. Otakku langsung menghitung umurnya, 44 atau 45 tahun?
Tiba-tiba dia menengadah—pandangan kami bertemu. Aku segera memalingkan wajah, malu.
Sial.
Jantungku berdetak cepat. Aku mempercepat langkah, keluar dari ruang ini, menghela napas panjang.
“Mba Shia, mau ke mana?” suara Nino mengejutkanku. Ia muncul dari luar sambil membawa paper bag.
Mbak shia?! Sia?- Sia dalam Bahasa Sunda itu kamu, dan itu kasar banget-
“Hi, Nin. Mau cari makan di depan,” jawabku mengambil Sepatu dari rak Sepatu, memaklumi karena mungkin Nino tidak paham.
“Makan malam?”
“Iya.”
“Makan bareng aja sama kita. Aku mau masak Indomie rebus.” Nino mengangkat paper bag-nya. “Traktiran dari Mas Adit.” Ia menunjuk ke arah bar, tempat Mas Adit masih melayani tamu.
“Ooo?”
“Mas Adit kalau lagi baik hati emang suka traktir, Mba. Sekalipun cuma Indomie.” Entah kenapa Nino meninggikan suaranya dengan wajah cengengesan, seperti tengah menggoda nama yang ia sebutkan tadi.
“Nino! Saya denger, ya?!” suara Mas Adit terdengar dari dalam, membuat kami berdua kaget.
Kami menoleh. Dia sedang memegang iPad kasir.
Nino tertawa kecil. “Sekalian laporan, Mas, saya sudah beli indomienya,” teriak Nino.
Mas Adit memberikan jempol pada Nino dengan kedua mata tetap fokus pada layar ipad, Nino tersenyum bangga.
“Ayo, Mba. Makan bareng tamu yang lain. Daripada makan sendirian.”
Aku tertawa pelan, lalu mengangguk. “Oke deh.”
Aku Kembali menyimpan sepatu di rak, dan mengikuti Nino masuk. Kami melewati Mas Adit dan Idan yang tampak sedang mengobrol serius. Aku mempercepat langkah, menundukkan kepala sedikit.
Nino memasuki ruang makan lebih dulu, aku menyusul di belakangnya. Rasanya sudah lama sekali aku tidak masuk ke dalam lingkungan yang benar-benar asing, tanpa satu pun orang yang benar-benar aku kenal.
“Hi, guys!” sapa Nino riang, dengan wajah gembilnya yang ceria. Senyumnya yang lebar mengembang membuat wajah bulat semakin membulat seperti bakpau, ramah dan hangat. Menyapa para tamu yang tengah asyik mengobrol satu sama lain dengan bahasa Inggris rasa Jawa yang khas.
Ia lalu meletakkan paper bag yang dibawanya di atas meja makan yang besar dan panjang di tengah ruangan. Seketika semua mata tertuju padanya.
“Attention, please,” ucap Nino sambil menepuk kedua tangannya. Aku yang masih berdiri kikuk di dekat pintu, melihat Nino dengan heran. Apa yang akan dia lakukan?
“Sini, Mbak,” ucap Nino, mengayunkan tangannya ke arahku.
Kedua mataku terbelak mendengar ajakan Nino padaku.
“Ngapain?” tanyaku pelan, heran.
“Sini aja!” ulangnya, masih dengan gerakan tangan menyuruhku mendekat.
Para tamu yang sebagian besar berwajah asing mulai memperhatikanku. Mereka semua memasang wajah ramah, tapi tetap saja, membuatku canggung, bingung. Menjadi pusat perhatian adalah hal yang paling kuhindari. Tapi kali ini, aku gagal.
Aku menelan ludah dalam-dalam, melangkah canggung menghampiri Nino.
“I want to introduce our new guest,” serunya penuh semangat. “She is Mbak Nashia, but you can just call her Shia, from Bandung!”
Nino menunjuk ke arahku dengan penuh semangat. Seketika, aku kembali jadi pusat perhatian.
Sesaat aku mengatur napas, mengumpulkan energi untuk mengeluarkan suara. “Hallo,” sapaku gugup pada mata-mata asing yang kini memandangku.
“Guys, just call me Nash, not Shia,” lanjutku sambil tersenyum kikuk, Nino melirikku dengan heran. “Shia in Sundanese means you, but in a… kinda rude way.”
Aku melirik ke arah Nino dan melempar senyum, lalu kembali ke tamu-tamu itu.
“Oh no—so sorry, Mbak! Aku enggak tahu!” Wajah Nino tampak panik dan menyesal.
“It's okay,” jawabku sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.
“So hey, guys!” aku melambaikan tangan ke arah mereka.
Beberapa tamu yang duduk saling berhadapan membalas sapaanku dengan senyuman hangat. Ada yang melambaikan tangan, ada yang mengangguk sambil tersenyum, dan satu-dua bahkan menyapa balik dengan.
“Hi, Nash!”
*
Gelak tawa yang renyah. Suara-suara yang saling beradu. untuk saling bercerita. Kedua telinga yang menyimak. Ramai. Riuh. Dan, hangat.
Kami duduk saling berhadapan di ruang makan yang terang oleh lampu di dalamnya, timpang dengan di luar sana yang gelap karena malam memang sudah tiba. Dan sesekali, terdengar suara jangkrik yang bernyanyi tenang dari kebun belakang.
Ini pertama kalinya untukku, makan malam bersama dengan orang-orang yang belum pernah aku kenal baik. Aku, tengah bersama mereka, para tamu Titik Temu, menikmati makan malam kami yang sederhana. Mie rebus dengan campuran telur dalam kuahnya, irisan cabe, dan daun bawang, menambah kenikmatan rasa yang memang sudah kuat. Nino jago Sekai meracik indomie rebus menjadi jauh lebih enak daripada di masak dengan cara yang standart.
Kami mengobrol, satu sama lain. Satu bercerita, yang lain mendengarkan, beberapa kali beradu suara hingga terasa begitu riuh.