Nashia Minara
Langkah kecilku, melangkah bingung mengikuti mbak Pramugari yang menemaniku sejak turun dari pesawat terbang. Bandara yang kecil, orang-orang begitu banyak berlalulalang membawa barang mereka. Kedua mataku menelusuri kota yang terasa asing dan baru ini, tas ransel di punggung mulai terasa berat dan tubuhku begitu Lelah.
“Itu ayahmu?” tanya Mba Pramugari menghentinkan langkahnya saat mendeketi pintu keluar, aku ikut menghentinkan Langkah ini, melihat seseorang yang ditunjuk oleh mbak Pramugari canti ini.
Seorang laki-laki dengan kaos hitam gombrangnya dan celana jeansnya, melambaikan tangan padaku dengan senyum yang melebar.
Saat itu pertemuan keduaku dengan ayah, dan sosoknya masih kuingat dengan jelas, bahkan dia tidak terlihat menua sedikit pun.
“Iya.” Aku menganggukan kepala dengan senyum kecil.
“Kalau gitu, saya antar sampai sini, kamu ikutin mereka keluar ke pintu. Dan langsung ke ayahmu, saya liatin kamu dari sini. Okay?” pintannya menundukkan punggungnya agar sejajar denganku, mengelus lembut lenganku dengan senyum hangatnya.
“Okay,” sanggupku tersenyum kecil. “Terima kasih, tante?!”
“Sama-sama.”
Lalu aku melangkah cepat menghampiri Ayah yang berdiri santai di luar, menungguku. Aku mengkuti orang-orang menuju pintu keluar, dan saat keluar, aku merasakan hawa panas hingga membuatku terkejut. Berbeda sekali dengan Bogor, di kota ini, Banjarmasin, sangat panas.
Namun, aku mengabaikannya, melangkah cepat menuju ayah dan ayah langsung memelukku. Aku diam dalam pelukannya, mencerna apa yang aku rasakan. Anehnya, aku tidak merasakan apa-apa, hanya kecanggungan yang terasa dalam diri.
“Hebat kamu, pergi sendiri!” Ayah mengibas rambut pendekku tersenyum kecil.
“Hehehe.”
“Ayo!” ajak Ayah merangkul pundakku, kami melangkah Bersama. “Sini tas ranselnya ayah yang bawa.”
Aku menganggukan kepala, melepaskan tas ransel dan ayah langsung membawanya.
“Nah itu tante kamu?” ayah menunjuk seorang Perempuan yang menghampiri kami, Perempuan kecil dengan rambut pendek, melangkah mendekati kami dengan Langkah lugas dengan kaca mata hitam menutupi matanya.
Aku diam menatap Perempuan ini, aku tahu siapa dia, dari ibu dan ayah yang ia ceritakan padaku melalui suratnya. Istri Ayah.
“Hallo, Nash?!” sapanya tersenyum kecil. “Sudah besar ya?!” dia mengelus lembut pendekku, aku hanya melihatnya, tersenyum kikuk.
“Salam,” pinta ayah padaku.
Aku mengambil tangan tante, mencium tangannya sopan.
“Kita pulang sekarang?” tanyanya melihat ayah dari balik kacamata hitamnya. “Kamu sudah makan, Nash?” wajahnya menengok padaku.
Aku menggelengkan kepala. “Belum.”
“Kalau gitu, kita makan dulu ya?!”
Aku menganggukan kepala.
Kami melangkah Bersama, bertiga, dengan aku ditengahnya.
Rasanya, aneh, asing, canggung.
Biasanya yang jalan di sampingku adalah ibu, hanya ibu.
Sekarang, aku berada di tengah, ada ayah dan istrinya, tapi bukan ibuku.
Perasaan sedih terasa dalam hatiku, teringat akan ibu seorang diri di sana, di Bogor. Sedangkan aku, di sini, Bersama ayah, Bersama tante.
Ibu sendirian.
“Ibu, minara sudah sampai ya. Sudah sama ayah, sekarang di mobil,” ucapku lirih memberitahu Ibu melalui handphone milik ayah, menahan tangisku, menahan genangan air mata yang sudah berada di pelepuk kedua mataku.
“Alhamdulillah. Kamu baik-baik, ya?! Seneng-seneng sama ayahmu. Kabarin ibu terus!” pintanya dengan suara lirih yang terdengar di sembrang sana.
Apa ibu menangis sepertiku? Apa ada yang menemani ibu di rumah? Kenapa Ibu tidak ikut saja? Kenapa aku harus sendiri ke sini? Kenapa ayah jauh sekali?
“Iya.” Air mataku tumpah namun dengan cepat aku menghapusnya.
“Ya udah, Ibu tutup, ya?! Baik-baik, minara.”
Aku hanya menganggukan kepala tanpa mengeluarkan suara.
Telepon tertutup, dan aku menangis kembali, kesedihan, rasa bersalah memenuhi diriku. Rasanya, aku ingin berbalik dan pulang ke Bogor.
Banjarmasih yang panas, ayah yang terasa begitu asing, Tante yang tidak kukenal. Semua itu menyesakan dadaku. Terasa berat berada di sana, aku tidak mampu menikmatinya, bahkan makanan pun tidak mampu masuk ke dalam tubuhku.
Hampir tiap malam aku menangis, tidak betah dan ingin pulang. Jadi, dengan berat hati, ayah merelakanku, lagi. Aku pulang lebih cepat dari jadwal yang sudah ditentukan. Jadi, aku tidak punya kenangan yang melekat saat pertama kali mengunjungi ayah. Yang kuingat, rasa sedih dan bersalahku meninggalkan ibu seorang diri. Ibu yang selalu menemaniku, hadir untukku, aku malah meninggalkannya.
Anehnya.
Aku tidak merasa bersalah pada ayah.
Ayah tidak akan kesepian, ayah tidak sendirian, ada tante yang tengah hamil menemani ayah. Bukan kah cukup untuk ayah?
Sedangkan ibu, dia hanya memiliki aku, tidak punya siapapun lagi selain aku.
Rasa lemon terasa hangat dan menyegarkan di lidah, seiring kehangatan dinding cangkir yang tengah kupeluk erat.
Aku terdiam, menikmati pagi yang sejuk dengan kebun kecil nan rimbun terbentang di hadapanku. Masih pagi, tapi langit sudah cerah di Yogyakarta. Mengatur napas, perlahan menghirup kesegaran udara pagi.
Rasanya sudah lama aku tidak menikmati awal hari seperti ini. Biasanya, aku terlalu sibuk menyiapkan diri untuk pergi ke kantor.
Saat terbangun tadi, aku diam beberapa saat. Teringat pertama kali aku mengunjungi Ayah. Rasa sesak dan sedihnya begitu pekat terasa, seolah baru terjadi kemarin.
Aku langsung menelepon Ibu. Ibu terkejut aku meneleponnya sepagi itu. Lalu, aku menceritakan apa yang kurasakan.
“Doakan ayahmu ya, sayang … Tenang di sisi-Nya,” ucap Ibu lembut.
Aku mengangguk pelan, meski ia tak bisa melihatku. Rasa bersalah yang dulu kupendam untuk Ibu, kini perlahan berganti … tertuju pada Ayah.
Sejak aku pulang dari Banjarmasin waktu itu, aku tak pernah lagi mendengar kabar dari Ayah. Tidak ada telepon, tidak ada surat.
Surat-suratku tak pernah dibalas, panggilan dan SMS-ku tak dijawab. Hingga akhirnya, aku dan Ibu memutuskan berhenti menghubunginya—tanpa pernah berpikir buruk tentang Ayah dan keluarganya.