Sebuah layar kaca besar di tengah stadion indoor memunculkan tulisan ‘Victory’, dilanjutkan dengan logo dominan warna merah bertuliskan ‘Emo Gaming’. Para penonton yang mengenakan atribut serba merah berloncatan dari kursi mereka. Keadaan semakin riuh dengan dekorasi kobaran api yang menyala-nyala. Semua lampu di stadion basket indoor yang disulap menjadi arena esports1 itu kemudian mati. Berganti lampu sorot yang hanya menyinari panggung. Di pusatnya, berdiri tegak sebuah trofi perak bercorak kepala singa. Lima orang dengan jersei merah-hitam keluar dari sebuah ruangan, lalu naik dan betbaris tepat di depan piala. Menandakan kelolosan mereka ke grand final Indonesia War on Valhalla League, kompetisi esports terbesar di Indonesia. Sebuah liga profesional yang mempertandingkan gim War on Valhalla. Gim ponsel bergenre MOBA2.
Seorang pembawa acara kemudian naik ke panggung. Penuh energi dan semangat membara. Berteriak dan bersorak untuk membakar semangat penonton. Membawa seisi stadion ke dalam euforia.
“Apakah kalian siap untuk menyaksikan grand final antara Emo Gaming melawan Ascend Esports?”
“Siap!” Seru penonton kompak.
“Apakah kalian siap?” Sorak pembawa acara sekali lagi.
“Siap!”
“Kalau begitu, sampai jumpa besok pada …,” pembawa acara itu mengumpulkan tenaga.
“… grand final IWL musim ke sepuluh!”
Dekorasi kobaran api kembali membara. Begitu pula semangat penonton yang tenggelam dalam euforia. Seisi stadion bergembira, tentu saja, kecuali tim di sisi lain panggung. Di sebuah ruangan kedap suara, dengan salah satu dinding terbuat dari kaca, lima orang dengan jersei hijau-hitam duduk pasrah. Menerima kenyataan jika mereka telah kalah. Sedari awal layar besar menampilkan ‘victory’, mereka hanya duduk di kursi, sesekali menatap layar ponsel mereka yang bertuliskan ‘defeat’.
Penggemar tim yang kalah pun turut kecewa. Padahal, jumlah antara penonton beratribut merah dan hijau setara. Tapi mereka yang beratribut hijau sama sekali tak bersuara. Mereka hampir tak percaya, jika tim kesayangan mereka bahkan tak lolos ke final. Apalagi juara. Brawler Box, tim yang terkenal perkasa, pemenang terbanyak IWL dengan tiga gelar juara, kini lolos ke final saja tak bisa.
Musim ini penggemar Brawler Box harus mengakui lagi, jika tim yang mungkin telah membuat mereka jatuh hati sejak musim pertama, harus kembali puasa gelar. Sudah empat musim terlalui, Brawler Box tak kunjung juara lagi.
Bahkan, predikat Brawler Box sebagai tim dengan gelar juara terbanyak bisa saja sirna. Final musim ini akan mempertemukan Ascend Esport dan Emo Gaming. Artinya, Ascend Esport yang kini sudah menggenggam dua gelar juara, berpeluang mendapat gelar ketiga. Menyamai jumlah gelar yang Brawler Box punya. ‘Juara terbanyak IWL’ yang selama ini fan Brawler Box banggakan, mungkin tak akan lagi disandang tim kesayangan mereka.
Setelah lampu di stadion kembali menyala, pemain kedua tim saling bersalaman, kemudian kembali ke backstage. Ada beberapa penggemar Emo Gaming yang menyerbu panggung, menemui para pemain untuk memberi selamat, atau meminta foto bersama. Sedangkan para pemain tim Brawler Box benar-benar terabaikan. Tak satu pun fan mendatangi mereka. Kelima orang berjersei hijau-hitam itu berjalan lesu meninggalkan arena. Menuju transit dengan mata berkaca-kaca.
Hampir semua penonton beratribut hijau sudah meninggalkan stadion sedari kemenangan Emo Gaming dipastikan. Hanya beberapa yang tersisa ketika lampu stadion menyala. Para fan Brawler Box itu tampak sedih dan lesu, tak kalah kecewa dengan para pemain. Di antara beberapa fan Brawler Box yang tersisa, ada dua cowok seumuran yang masih berbincang-bincang. Dua cowok itu bahkan terus berbincang sejak awal pertandingan, mengomentari betapa payah permainan tim kesayangan mereka.
“Udah yuk, Ar. Balik. Kecewa gue nontonnya.”
Arka, salah satu dari dua cowo tadi berdiri. Berbeda dengan kawannya yang lesu dan tak bertenaga karena terlalu kecewa, Arka malah kesal.
“Iya nih, ayok balik. Ampas banget mainnya. Lebih bagusan gue kemana-mana. Apaan tadi kacau banget gitu,” Arka menggebu-gebu.
Cecep, kawan Arka, turut berdiri. Ada tawa kecil di bibirnya kala mendengar omongan Arka. Ia paham betul, Arka memang terbiasa membesarkan-besarkan bualannya. Terkadang bahkan terdengar begitu konyol. Seperti apa yang diucapkan Arka barusan, Cecep bahkan merasa tergelitik.
“Emang sih lu jago, tapi ya enggak lebih jago dari mereka juga lah.”
“Wah lu ngeremehin gue, Cep.”
“Udah ah. Yuk balik. Ngomong mulu lu,” potong Cecep, tepat sebelum Arka membual lebih jauh.
“Eh bentar, Cep. Gue ke kamar mandi dulu ya. Kebelet banget nih, dari tadi enggak sempet.”
“Salah sendiri ngobrol mulu. Rasain deh lu kebelet.”
“Lah, kan lu juga yang ngajak ngobrol anjir.”
“Iya iya, canda. Sana buruan, udah sore nih. Gue mau buru-buru balik.”
Arka tak menganggap candaan Cecep lucu. Ia juga sama sekali tak buru-buru. Di tengah pencariannya menyusuri petunjuk arah ke kamar mandi, ia bahkan menyempatkan diri mencari transit kedua tim yang baru saja bertanding.
Arka memang sangat tertarik dengan esports, para pemainnya, juga dunia mereka. Dan di antara berbagai tim esports yang ia suka, Arka paling menggemari Brawler Box. Cowok yang masih kelas tiga SMA itu sudah jatuh cinta pada Brawler Box sejak mereka menjuarai IWL musim pertama. Kira-kira, ketika ia masih bocah SMP kelas satu.
Setelah berkeliling ke beberapa lorong, Arka akhirnya menemukan transit Brawler Box, tak jauh dari transit Emo Gaming. Tak ada jendela di ruangan itu, pintunya pun tertutup. Ia tak bisa melihat apa yang dilakukan tim untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Sekalipun ia kesal karena permainan Brawler Box hari ini, tetap saja ia seorang fan yang penasaran. Ia mendekat ke pintu, berharap ada sedikit saja celah. Tepat saat pintu itu terbuka lebar, dan seorang cewek yang kelihatan seumuran dengannya keluar.
Cewek yang menggunakan jersei Brawler Box itu buru-buru pergi. Tangannya sibuk mengusap air mata yang membasahi pipi. Arka melangkah mundur cepat, agak kaget. Juga takut kalau ia ketahuan sedang berusaha mengintip. Beruntung, cewek itu berjalan menjauh tanpa memperdulikannya. Tak ada identitas apa pun di jersei cewek itu. Sedangkan pemain atau staf tim biasanya memiliki nama tercetak di punggung jersei mereka.
Arka sebenarnya ingin mengejar cewek tadi. Ia penasaran siapa si cewek sebenarnya. Setahu Arka, tak ada pemain cadangan atau pelatih wanita di Brawler Box. Apalagi, Brawler Box memang cukup terbuka dalam publikasi pemain, pelatih, atau orang-orang yang terlibat dalam tim mereka. Bahkan pernah suatu postingan akun media sosial Brawler Box, bernada guyon tentu saja, mengumumkan Bi Irah sebagai koki utama tim.
Agaknya tak mungkin jika cewek tadi adalah bagian tim yang disembunyikan. Lagi pula, untuk apa Brawler Box punya anggota tim yang sengaja tak diumumkan. Mungkin saja, cewek tadi adalah fan yang saking histerisnya, sampai-sampai diperbolehkan masuk untuk bertemu tim.
Apa gue harus coba? Pikir Arka. Ide liar dalam kepalanya menyarankan ia untuk mengumpulkan air mata. Mungkin ia akan bisa masuk ke transit, jika mengetuk pintu sembari menangis. Alih-alih terus bermuka kusut karena menahan kesal.
Hampir saja Arka benar-benar melakukan ide liar itu. Ia mengusap-usap pelupuknya mencoba mengulik air mata. Namun ponsel dalam saku celananya tiba-tiba bergetar.
“Lama banget sih lu, boker?” Suara Cecep dari seberang telepon terdengar begitu kesal.
“Enggak, E …,” Arka terhenti sejenak, mencari-cari alasan yang bagus untuk membohongi kawannya.