Rose of Gaming House

Moh. Fauzil Adhim
Chapter #4

Kesempatan

Sore sudah hampir beranjak petang. Senja memang belum datang, tetapi, hanya tersisa beberapa jam saja sampai malam tiba. Arka pulang dengan rasa gusar dan langkah yang tak tenang. Bahkan, ia tak cukup berani untuk terlalu keras membuka pintu. Pintu rumah yang cukup besar hanya dibukanya sedikit, dengan sangat perlahan. Kepala cowok berambut berantakan itu kemudian melongok ke dalam, terlebih dahulu memastikan tak ada orang yang menunggu. Arka merasa lega setelahnya, ternyata tak ada siapa-siapa. Jantungnya sempat berdebar kencang, takut kalau-kalau di balik pintu ada Papa.

Setelah memastikan aman, Arka masuk dengan lebih santai. Sembari menggaruk-garuk kepala, sekaligus melepas baju putih dari celana abu-abunya, ia merebah di sofa. Kaki-kakinya yang panjang merentang, melebihi panjang sofa itu sendiri. Ia menyangga kepala dengan dua tangan, menatap langit-langit. Menghembuskan napas lega.

Beberapa hari ini, Papa terus-terusan menegur Arka dan kebiasan gaming-nya. Omelan-omelan itu jelas berkaitan dengan status Arka yang sudah kelas tiga SMA. Ujian akan segera tiba, dan ia seperti terlalu mengabaikannya.

Arka bukan tak sadar, juga bukan abai, ia hanya tak setakut Papa. Ia cukup percaya diri dengan kemampuan otak yang ia punya. Bukan yang terbaik memang, ranking-nya di sekolah pun biasa-biasa saja. Tapi otak yang separuh lebih isinya hanya soal game itu, tak terlalu buruk juga. Cukup lah kalau hanya untuk sekadar lulus dengan nilai non-memalukan.

Papa dan Mama pun tak menuntut tinggi-tinggi. Tak meminta Arka menjadi terbaik di sekolah. Terbaik di kelasnya pun tidak. Mereka hanya berharap, Arka lebih serius pada masa depannya sendiri. Setidaknya, mereka ingin Arka menunjukan keseriusan itu melalui caranya menghadapi ujian akhir.

Sayang, cara itu tak berbuah hasil. Arka masih lah Arka. Tak terlalu peduli dengan nilai, yang menurutnya, hanyalah angka. Ia masih serius untuk mengejar pekerjaan yang ia suka. Berbeda dengan Papa dan Mama yang menganggap mimpinya cuma main-main saja. Arka benar-benar percaya, kesempatan untuk menjadi pemain esports profesional masih terbuka. Meski sejauh ini, hanya diri Arka sendiri yang percaya.

“Loh, Arka udah pulang. Kok Mama enggak denger kamu masuk?”

Arka segera bangkit, duduk dengan lebih sopan. Mama sejenak ke dapur, lalu kembali dengan dua gelas teh di atas nampan. Mama tersenyum hangat, membuat Arka menyambut teh itu dengan lebih semangat.

Mereka berdua duduk bersisian. Arka menyeruput tehnya. Sementara Mama mulai bicara.

“Kamu pasti masuk diem-diem karena takut ketahuan Papa.”

Arka mengangguk, pipinya masih menggelembung, belum menelan teh yang ia minum.

“Telat pulang karena main game lagi?”

Arka mengangguk lagi, air mukanya berubah murung. Padahal, ia sempat bersemangat ketika Mama membawakan teh hangat.

“Kamu beneran mau jadi pro player esports?”

“Harus aku bilang berapa kali lagi, Ma?” Nada bicara Arka terdengar jelas mulai malas.

“Papa mungkin terlalu sering marahin kamu, tapi maksudnya baik, kok.”

“Mencegah anaknya mengejar cita-cita itu baik, Ma?” Arka sinis.

“Bukan begitu, Papa cuma takut kamu membuang waktu. Mama juga sama. Kalau kamu nurut sama Papa, Mama yakin kamu bisa lebih cepat sukses. Meski bukan di esports.”

“Sukses itu apa sih, Ma? Kalau aku enggak bahagia, meski sukses menurut Mama sama Papa, apa itu bisa dibilang sukses?”

“Emangnya, kamu yakin bakal lebih bahagia kalau gagal di bidang yang kamu suka?”

Arka tertunduk. Ia tentu tak akan bahagia jika gagal. Tapi ia juga tak yakin akan bahagia, sekalipun berhasil di bidang yang tak ia suka. Kata-kata Mama yang disampaikan secara halus, ternyata tetap memberi luka.

“Aku yakin bisa berhasil, Ma.”

“Mama belum yakin.”

“Maksud Mama?”

“Mana buktinya kalau kamu bisa?”

Selalu satu pertanyaan itu yang menghentikan Arka bicara. Padahal, ia cukup keras kepala, tak mau kalah berdebat dengan siapa saja. Namun satu pertanyaan itu, membuat ia terpukul mundur. Keyakinannya yang kuat selalu berhasil luntur. Kepala Arka tertunduk dalam.

Mama meletakkan tangan di pundak Arka. Mengelus-elus secara halus.

“Mama memang selalu dukung kamu. Tapi omongan Papa yang ragu kamu akan berhasil, makin lama makin terbukti. Sedangkan kamu belum membuktikan apa pun ….”

Hening sejenak terselip di antara keduanya.

“Kamu memang masih muda. Masih punya banyak waktu untuk mengejar mimpi. Tapi inget, kamu harus tau kapan waktunya berhenti ….”

“Kamu juga harus tau, ke mana harus kembali, jika memutuskan untuk berhenti nanti,” tandas Mama.

Arka enggan menanggapi. Ia segera berdiri dan beranjak pergi.

Ada sesuatu yang Arka sadari. Kegagalan mungkin saja tak bisa ia hindari. Ia memang masih ingin terus berlari. Berusaha sampai di titik yang selama ini ia kenal sebagai mimpi. Namun setelah melewati sekian ribu hari, Arka mulai terpikir untuk berhenti.

***

Malam belum beranjak larut. Di sebuah kafe yang tenang, Arka terduduk lesu. Belum terlalu lama ia berada di rumah sejak pulang dari sekolah, tapi ia tak merasa betah.

Cecep datang kemudian. Mendatangi meja Arka.

“Wah-wah kayaknya gue mau ditraktir nih!” Cecep menyapa dengan canda seperti biasa.

“Iya-iya gue traktrir. Udah sana pesen, terserah deh mau minum apa,” jawab Arka. Nada bicaranya sangat berlawanan dengan sapaan Cecep.

Senyum dan rona cerah di wajah Cecep segera hilang. Ia sadar ada yang tak beres dengan sahabatnya. Setelah memesan dan membawa kembali dua gelas minuman, Cecep duduk semeja dengan Arka.

“Kenapa sih? Enggak biasanya lu murung gini.”

“Gue mau cerita, Cep.”

“Cerita apa?”

“Soal mimpi gue.”

Esports?”

Arka menghela napas. Mengangguk lemas.

“Awal gue kenal WoV dulu tuh SMP kelas satu, inget banget waktu itu baru pertama ada IWL, season pertama. Gue nonton dan langsung suka. Eh ternyata industrinya berkembang cepet dan jadi peluang kerja yang menjanjikan. Sejak itu, gue udah enggak mikirin kerjaan lain, Cep. Gue cuma pengen jadi pro player. Lu kan tau sendiri gue suka banget main game.”

“Iya gue tau itu, terus?”

“Papa sama Mama gue makin enggak ngedukung.”

Lihat selengkapnya