Rose of Gaming House

Moh. Fauzil Adhim
Chapter #5

Jalan Terbuka

Alarm di ponsel Arka terus-terusan berdering nyaring. Sudah yang ketiga kali pagi ini. Sementara cowok yang masih berbaring tengkurap itu tak sedikit pun bernafsu untuk bangun. Ia hanya menggeliat, mengganti-ganti posisi, berharap rasa kantuknya pergi. Sayang, tak berhasil sama sekali. Padahal matahari mulai bergerak lebih tinggi, cahaya terangnya menyelimuti pagi. Juga menyelinap masuk ke kamar Arka dari jendela.

Arka ogah-ogahan bangun. Duduk di tepian ranjang. Menghembuskan napas kencang-kencang, sembari menguap selebar mungkin. Ia bergerak-gerak melakukan peregangan. Mencoba menghilangkan rasa lelah di badan yang semalaman menggelayuti. Mulutnya yang kering itu sesekali terbuka sendiri. Kedua tangan Arka lalu memegangi mata, mempertahankan kedua kelopaknya agar tetap terbuka.

Ada dua bulatan gelap di sekitar matanya yang layu. Tak ada sedikit pun hal cerah yang merekah dari muka penuh keputusasaan itu. Air mukanya sayu. Lagi-lagi, kebiasaannya yang sulit tidur ketika banyak pikiran, kambuh malam itu. Tidur Arka tak bisa tenang, kala pikirannya dihinggapi berbagai resah. Resah akan semua perdebatan dengan Papa yang memuncak kemarin Minggu. Juga resah akibat luka dari ucapan lembut Mama, yang menyayat hati kemarin sore. Resah yang bahkan tak dapat dihapus semua candaan Cecep. Sekalipun semalam ia berhasil bergelak tawa. Tapi ketika waktu untuk terlelap tiba, semua resah itu kembali.

Arka dengan malas mengambil ponsel. Melihat waktu, masih ada satu jam sebelum pukul tujuh. Ia masih belum telat sama sekali. Tapi tak mungkin ia mencoba untuk tidur lagi. Semalaman penuh ia berusaha melakukan itu dan tak berhasil. Tak akan ada bedanya meski dicoba lagi pagi-pagi. Ia memutuskan untuk merebah sejenak, mengisi waktu dengan membuka aplikasi media sosial.

Baru saja Arka membuka akun media sosial yang ia punya, fokusnya langsung terarah pada ikon merah bertuliskan angka satu di kotak pesan. Pemandangan yang tak biasa baginya. Mengingat Arka memang tak pernah terlibat chatting dengan siapa-siapa. Ikon merah itu juga jarang Arka lihat, karena akun media sosialnya memang sepi-sepi saja.

Mata Arka yang sayu sedikit terbuka lebih lebar, kala layar ponselnya menampilkan isi notifikasi tadi. Sebuah akun dengan nama Brawler Box mengiriminya pesan. Ada centang biru di sisi nama akun itu, tak mungkin akun palsu. Namun Arka tak buru-buru yakin, sebelum membuka pesan, lebih dahulu ia melakukan pengecekan.

Tak ada yang aneh.

Tak salah lagi, akun yang mengiriminya pesan itu adalah benar akun official milik Brawler Box. Salah satu alis Arka pun naik, sedikit heran, juga penasaran. Bergegas ia membukanya.

“Woah!” Arka meloncat dari kasur dengan mata terbelalak. Lalu berteriak kencang dan tertawa lepas.

Kehebohan itu membuat Mama tiba-tiba datang. Membuka pintu dengan tergesa-gesa. Daun pintu itu bahkan sampai menghantam dinding dengan keras. Mengagetkan Arka sekali lagi.

“Wuoh!”

“Kamu kenapa, Ar?”

Arka mengatur napas yang setengah tersengal-sengal.

“Mama ih, ngagetin aja.”

“Ih kamu yang ngagetin Mama. Pagi-pagi teriak-teriak! Untung aja Papa lagi enggak di rumah. Bisa-bisa kamu dimarahin karena ngagetin orang!”

“Ya maaf, Ma.”

“Ada apa sih, Ar?”

Arka prangas-pringis, lalu memeluk Mama.

“Kesempatan akhirnya terbuka buat aku, Ma. Aku dapat undangan trial dari Brawler Box. Tim esports gede!”

Air muka Mama berubah cerah. Senyum di bibirnya merekah.

“Beneran?”

Mereka melepas pelukan, tapi Arka masih menggenggam tangan Mama.

Lihat selengkapnya