Matahari siang sudah mulai tergelincir. Semburat cahaya merah samar-samar terlihat di ufuk. Cahaya terang dari langit yang cerah perlahan temaram. Cukup indah pemandangan sore itu. Billa masih duduk di teras kelas, terpana memandang langit. Ia memang sangat jarang menyaksikan fenomena langit sore yang indah. Pada pukul yang sama, biasanya ia sudah berada di GH. Sibuk dengan urusan tim esports profesional, atau terkadang, bersantai dengan Juna.
Namun sore itu, Billa sekali lagi terperangkap di gedung sekolah. Seperti déjà vu, ia mengulangi lagi momen minggu lalu, ketika terkahir kali tak langsung pulang ke GH. Lagi-lagi, ia menunggu Iren yang hilang entah ke mana. Bedanya, terakhir kali Billa tak langsung pulang ke GH, adalah karena permintaannya sendiri. Kali ini, Iren yang memintanya.
Billa lebih santai. Mungkin karena sudah tak ada urusan yang perlu dikerjakan di GH. Atau mungkin juga, Billa terlalu terpana oleh pemandangan langit yang menurutnya indah. Billa sendiri tak yakin, kenapa sore itu ia betah tak langsung pulang dari sekolah. Yang jelas, ia tak keberatan untuk tak langsung balik ke GH seperti biasa. Ia pun cukup santai untuk menunggu Iren yang tiba-tiba bilang mau pergi sebentar.
Iren sudah pergi cukup lama dan tak kunjung datang menghampiri Billa. Padahal, Iren sendiri yang mengajak Billa untuk mengobrol sepulang sekolah. Iren sendiri juga yang meminta Billa untuk menunggu. Beruntung, Billa belum merasa bosan. Dinikmatinya udara dan ketenangan lekat-lekat. Matanya pun tak beralih dari langit sedari tadi. Tanpa sadar, Billa telah menunggu cukup lama tanpa merasa keberatan.
Tanpa sadar pula, Arka sudah ada di belakangnya. Billa tak menyadari kedatangan cowok itu, karena terlalu fokus pada langit yang kini ia suka. Sampai Arka tiba-tiba duduk di samping Billa.
“Hai,” sapa Arka agak canggung.
Billa menoleh menatap Arka, air mukanya yang tadi ceria tiba-tiba berubah datar. Mood Billa rusak. Billa langsung mengalihkan pandangan lagi ke langit. Tapi kali ini, pemandangan itu tak bisa dinikmatinya. Ada rasa tak nyaman yang menyelinap ke benak Billa karena Arka duduk di sana.
“Ngapain?” Tanya Billa sungkan. Pandangannya tetap ke arah langit. Malas menatap Arka.
Arka menggaruk-garuk kepala meski tak gatal. Ia kehabisan akal untuk membuka percakapan. Selain itu, ia takut akan membuat Billa makin kesal. Ia harus berhati-hati dalam memilih kata.
“Lu nyuruh Iren buat ngajak gue ngobrol, ya? Biar gue enggak langsung pulang?”
Rencana receh Arka dapat Billa kuak dengan mudah. Cowok itu pun terkejut dan makin salah tingkah. Billa menatapnya tajam. Membuatnya mematung sekejap. Ia tak punya pilihan lain selain mengangguk. Mengiyakan pertanyaan Billa.
Sementara Billa geleng-geleng kepala. Tak habis pikir, benar-benar déjà vu. Iren lagi-lagi menjadi perantara pertemuan mereka.
“Ya udah buruan bilang, ada urusan apa? Gue mau balik nih,” Billa tak sabar. Ia yang sedari tadi tak keberatan berada di sekolah kini merasa tak nyaman. Ingin buru-buru pulang.
“Gue mau minta maaf.”
“Buat?”
“Buat yang minggu lalu, gue sadar udah bikin lu kesel. Jadi gue minta maaf.”
“Kenapa minta maaf? Apa pentingnya gue kesel atau enggak bagi lu?”
“Yah … ya … gue enggak mau aja gitu kalau kita musuhan, banyak temen kan lebih bagus dari pada banyak musuh.”