Rose of Gaming House

Moh. Fauzil Adhim
Chapter #9

Kontrak, Keyakinan, dan Keraguan

Arka menutup map dan meletakannya di meja setelah selesai membaca. Ia sudah menghabiskan waktu cukup lama untuk mencermati kontrak itu dan butirnya satu per satu. Tak ada yang terlalu membebani pikiran Arka, kecuali satu poin.

“Berarti, enggak bisa ya kalau sambil kuliah, Bang?”

Leo mengangguk. “Sebagai pro player, lu akan sibuk banget. Jadi agak susah. Ada sih satu bocah yang masih sekolah. Namanya Kai. Tapi dia semacam homeschooling gitu lah. Ada tutor yang tiap hari ke GH buat ngajar dia,” terangnya.

“Kalau Billa, Bang?”

“Dia pengecualian. Analis di tim kita memang dikasih waktu yang fleksibel. Terus selama ini, Billa bisa jalanin tugas dengan baik sih, meski masih sekolah. Jadi enggak ada masalah.”

“Analis tim esports emang bisa fleksibel gitu kah, Bang?”

“Enggak juga. Setau gue, cuma Billa analis yang enggak full time kerja. Tapi dia bilangnya sih, abis lulus ini, bakal nunda kuliah buat seratus persen jadi analis dulu.”

Arka manggut-manggut.

“Jadi gimana? Bersedia teken kontrak atau perlu waktu dulu? Mau diskusi sama orang tua, mugkin?”

“Iya, Bang. Perlu waktu. Apa surat kontraknya bisa saya bawa pulang?”

“Bisa kok, silahkan aja.”

Arka sedikit lega, ia pun memasukan berkas-berkas di meja ke dalam tas.

“Terima kasih, Bang.”

“Sama-sama, gue harap bisa dapat kabar baik dari lu secepatnya.”

“Siap, Bang. Saya usahakan secepatnya.”

“Tapi …,” Leo melepas napas panjang sebelum melanjutkan. Memberikan penekanan.

“Tapi apa, Bang?”

“Emangnya lu belum tahu kalau harus nunda pendidikan dulu misal diterima?”

Napas Arka tertahan. Mata keduanya saling bertatapan sejenak. Ada sinyal desakan yang Arka tangkap dari sepasang mata Leo.

“Tahu, Bang,” Arka gugup.

Senyum tiba-tiba mekar di bibir Leo. “Kok jadi gugup gitu? Kenapa? Takut enggak dibolehin sama orang tua?” Ekspresi Leo ketika bertanya semakin memberi Arka tekanan.

Arka tentu tak ingin Leo, atau satu pun orang di Brawler Box mengetahui masalahnya. Ia juga tak mau Brawler Box menyesal telah meloloskannya. Arka takut Brawler Box tidak akan memberi ruang, jika tahu kalau ia belum mendapat izin dari orang tua.

“Bu … bukan gitu, Bang. Ehm,” mata Arka memutar, mencari alasan untuk menjawab. “Tapi, ini pertama kali saya teken kontrak, jadi gugup,” tukasnya. Ekor matanya terus mengawasi ekspresi Leo.

“Oke kalau gitu. Kami tunggu secepatnya ya,” Leo menjulurkan tangan.

“Siap, Bang.”

Pertemuan keduanya berakhir setelah berjabat tangan. Leo jelas bisa merasakan tangan Arka yang gemetar, juga tatapan matanya yang ragu-ragu. Langkah kaki Arka sampai keluar dari pintu pun menunjukannya dengan jelas. Bagi manajer seperti Leo, ia dapat menebak, jika dengan kontrak itu, Arka untuk pertama kalinya akan memberi tahu orang tua, mengenai kelolosan trial-nya.

“Gimana, Bang? Udah selesai teken kontrak?” Juna muncul tiba-tiba, agak mengagetkan Leo.

“Belom.”

“Kok belom? Kenapa emang?”

“Orang tua Arka kayaknya belum tau kalau dia lolos trial dan bakal teken kontrak sama kita.”

Jawaban Leo sontak membuat mata Juna terbelalak.

“Kok bisa? Terus kalau enggak dapet izin gimana?”

Leo mendesah resah, juga agak kecewa. Meski air mukanya menunjukan kalau ia sedikit khawatir.

“Kita masih ada kontak calon Jungler yang lain, kan?”

“Masih, Bang! Breather, kan? Perlu gue kontak sekarang?” Jawab Billa tiba-tiba, penuh rasa antusias. Ia menyahut tanpa aba-aba. Entah cewek itu muncul dari mana.

Juna dan Leo saling bertatapan. Ekspresi mereka terlihat begitu jengah mendengar Billa yang masih saja ingin membawa masuk pemain favoritnya. Breather. Sedang Billa sendiri malah prangas-pringis.

***

Meja makan yang telah dipenuhi berbagai hidangan itu terasa sepi. Padahal, dua dari tiga kursi yang ada telah terisi. Namun sama sekali tak ada suara. Sunyi. Arka yang duduk berhadapan dengan Mama hanya saling menatap. Mereka cemas menunggu Papa yang sedang bersiap untuk bergabung.

“Tadi Papa beneran marah, Ma?” Tanya Arka sekali lagi. Sebelum hanya hening yang tersisa di antara mereka, sebenarnya, Arka sudah menanyakan hal yang sama.

Mama menjawab itu dengan anggukan lemas, agak terpejam pula.

“Tapi, Mama berhasil ngeyakinin Papa?”

Mama mengangguk lagi. Anggukan serupa dengan yang tadi. Membuat Arka berkali-kali membuang napas. Mencoba menenangkan diri.

Lihat selengkapnya