Pernahkah kau tidak bersalah tapi diperlakukan bak pendosa besar? Satupun, barang sepatah kata pun, tak ada yang mau mendengar alibimu, tak dipercaya. Kau dikurung, diberi makan sampah, tubuhmu dibiarkan bau sampai-sampai lalat yang mendekat pun mengencingimu. Semakin kau berteriak, semakin urat tenggorokanmu keras, daging di tubuhmu menyusut berbarengan kata-kata yang keluar sia-sia. Kurus kering dan lemas. Untuk mengambil kendi minum di dekat lubang pintu mesti tersuruk-suruk dulu, kaki dan tanganmu lecet, berdarah, darah mengering, berdarah lagi. Sering, ketika mengunyah, kau muntah karena mencium bau mulut sendiri, isi perutmu tak jarang keluar lagi karena aroma busuk dari sisa-sisa makanan, karena tumpukan nasi dan roti gandum murahan ogah kaumakan, malah kaulempar pada kacung-kacung yang mengantar jatah makan. Jangankan sinar matahari pagi. Untuk tidur malam saja, kau harus berdesakan, berebut oksigen dengan tengiknya bau kotoranmu sendiri.
Bagaimana kalau mati saja? Tapi, tak ada satupun alat bunuh diri di sini. Bisa saja membenturkan kepala ke tembok sampai otak dan bola mata berhamburan. Tapi, kepalaku terlalu berharga untuk dikorbankan. Paling tidak, aku masih lebih waras dibanding mereka. Aku hanya akan semakin hina kalau menghabisi nyawaku seperti itu. Mereka bakal tertawa, mengolok-ngolok kematianku. Mereka akan bilang, orang hina pantas mati dalam keadaan terhina. Tidak. Aku mesti tetap hidup, kendati begitu keluar dari sini, aku tak ubahnya mayat hidup. Aku akan meludahi wajah mereka, melempari dengan kotoran yang kukumpulkan seandainya aku bisa bebas dari sini. Seribu tahun, seratus ribu tahun, entah kapan murkaku terbalas, aku menunggu saat itu tiba.