Milan melongok ke ruangan penuh barang-barang berdebu. Satu tangan meraba mencari sakelar, lampu ruangan tak berfungsi. Terpaksa perempuan berusia 23 tahun itu melangkah masuk secara hati-hati, menembus ruang gelap 4 x 4 meter menuju jendela katup dua di ujung ruangan.
Sinar matahari senja menyiram ruang gelap secara lembut begitu jendela dibuka. Angin musim panas terasa kencang di lantai 3 ini.
Milan memandang bangunan menara di seberangnya yang dilatari langit oranye. Menara yang dibuat dari batu bata merah yang bertumpuk-tumpuk, melingkar dan menjulang tinggi nyaris mencakar langit, sela-selanya sudah berlumut dan menghitam. Burung-burung terbang setinggi menara itu. Kadang mereka hinggap di pucuk menara yang kerucut, kadang hanya numpang lewat dan berkeak-keak. Burung gagak.
Milan membuka jendela lebih lebar, menancapkan penganjalnya, mengikat gorden putih menjadi buntalan besar kemudian ia membuka sebuah amplop yang sejak tadi dipegang.
Lembar-lembar foto di dalam amplop itu berwarna hitam-putih. Milan mengangkat selembar foto dan mensejajarkannya dengan menara. Selembar foto hitam-putih itu dan menara berlatar langit oranye bagai dua lukisan yang serupa, tapi beda warna. Foto itu memuat gambar menara yang serupa, memang menara yang sama.
Milan mengeluarkan foto lain dari dalam amplop. Potret Rumah Gadang.
Mata Milan berpindah ke arah bawah, menemui atap rumbai berbentuk segitiga tinggi yang runcing. Rumah Gadang dalam foto sungguhan ada, berdiri nyata dan kokoh di antara kebun kakao yang buahnya ranum dan harum tercium hingga sini.
Milan memanjat jendela, mendarat di beranda kecil. Sejumput rambutnya yang berwarna merah muda di sebelah kiri kini dibiasi sinar langit senja. Milan berpegangan pada besi beranda, setengah menunduk, melempar pandangannya lebih jauh.
Di bawah, di kebun kakao, dua pohon beringin berusia puluhan tahun berdiri di dekat pagar seolah dua penjaga yang kokoh. Akar-akar yang menggantung di pohon beringin bertiup kesana-kemari, menari-nari dibalut sinar senja.
Remaja perempuan duduk di bawah salah satu pohon beringin, sambil kaki diluruskan, tangan kiri mencengkeram bagian dada dan tangan lainnya meremas rok sebetis. Akar-akar gantung sesekali menyenggol rambut sebahunya yang dikepang satu agak berantakan.
Sudah cukup lama ia duduk begitu dan tidak bergerak-gerak. Melamun. Mata menatap kosong, bibirnya pucat gemetar dan ketakutan.
Namanya Ataya. Ia semacam memiliki trauma. Tidak peduli sore atau bahkan dini hari, hujan maupun panas terik, trauma itu semacam penyakit yang kerap kambuh tak tentu waktu. Raganya sakit di sini tapi jiwanya terbang mengenang kenangan buruk 12 tahun lalu.
Dalam kenangannya terbayang Dumaria datang membawa kemoceng bergagang panjang, lalu menggebuk-gebuk sekujur tubuhnya. Rasa sakit itu memeluk tak mau lepas. Peristiwa dipukuli 12 tahun lalu seolah berulang terus hingga sekarang.
Amang, lelaki tua bisu yang bertugas merawat kebun kakao berdiri di depan silo penyimpanan, memandangi Ataya dengan tatapan berkaca-kaca. Merasa sudah cukup membiarkan Ataya tenggelam dalam traumanya, ia menjemput remaja perempuan itu. Mengulurkan tangan, meminta Ataya bangun kemudian bersama-sama mereka naik ke Rumah Gadang yang muram menatap kesedihan mereka.
Milan menyaksikan semua itu bagai menonton drama yang telah ia ketahui alur ceritanya, siapa tokoh-tokohnya. Ataya, traumanya, dan Amang yang tak bisa bicara itu tertulis di amplop yang dipegang Milan.
Salah satu jendela tanpa kaca dan teralis di Rumah Gadang yang menghadap ke jalan dibuka. Milan kembali mengamati, kembali menonton drama yang telah ia ketahui tokoh-tokohnya.
Anak laki-laki berusia 11 tahun terbaring layu di sebuah ranjang besi. Sekujur tubuhnya ditempeli selang. Selang pernapasan, infus, pacu jantung hingga selang pipis.
Ataya menutup tubuh kurus itu dengan selimut tebal. Milan menghela napas. Tulisan di amplop menyebutkan, anak laki-laki itu hidup tapi mati, mati tapi bernyawa. Ia koma sudah 8 tahun.
Namanya Re. Bisa dibilang, dia adalah pewaris kebun kakao itu beserta Rumah Gadang dan menara. Dan Ataya hanyalah anak dari mantan pembantu Rumah Gadang yang merasa menjaga Re adalah kewajibannya. Jika Re adalah Tuan Muda, maka Ataya adalah pelayannya yang setia.
Matahari semakin terbenam di balik menara, membuat bangunan tinggi berdinding batu bata merah itu semakin menghitam. Lampu-lampu Rumah Gadang mulai dinyalakan. Milan memutuskan untuk masuk, menarik gorden. Pertunjukan telah selesai.
Ruangan berdebu kembali gelap. Milan meraba koper yang tadi dibawanya, mengambil geretan. Sinar terang kini hanya nyala di satu titik saja. Milan membuka amplop, membaca kertas-kertas.
Milan mendapat amplop itu dari Mom—ibunya—yang memintanya menyelesaikan sebuah naskah novel.
Tahun 1984, 11 tahun lalu, Mom tinggal di rumah berlantai tiga ini. Bukan sekadar tinggal, pun menuliskan semua kejadian yang terjadi di rumah seberang, Rumah Gadang. Mom menulis begitu rapi, segala sesuatu ditulis berdasarkan kisah nyata termasuk kejadian-kejadian janggal. Tapi naskahnya harus berhenti di tengah cerita. Milan langsung tertarik melanjutkannya begitu tahu naskah itu ada.
Oktober 1995. Milan mencatat tanggal hari ini, hari di mana ia akan mulai tinggal di rumah peninggalan Mom ini, mulai menulis ulang dengan gaya bahasa sendiri, melanjutkan potongan-potongan naskah.
Demi memelihara rasa penasaran, Milan sengaja tidak membaca naskah Mom hingga akhir. Mom bakal mengirimkan potongan-potongan naskahnya selama Milan di sini. Milan hanya dibekali sebuah bab cerita yang menuliskan tentang Ataya, Amang, Re, dan menara yang dihinggapi gagak-gagak.
Menara itu bekas bunuh diri. Dulu sekali seseorang pernah melompat dari sana, langsung mati karena mendarat di pagar besi yang runcing menyerupai tombak.
Milan belum tahu siapa yang bunuh diri itu. Milan hanya diberi tahu yang mati itu perempuan. Mengenakan gaun panjang berwarna hitam, tubuhnya tinggi yang membikin siapapun menemuinya bagai melihat asap hitam yang meliuk-liuk ramping, halus dan mematikan. Lehernya berlubang bekas ditombaki runcingnya pagar besi.
**
“Sepertinya kita punya tetangga baru, Amang,” Ataya menyadari lampu-lampu rumah depan kini menyala terang.
Desa ini terlalu sepi bahkan tak terang pada siang hari sebab terlampau banyak pohon-pohon besar. Banyak pohon bambu tua yang tidak lagi tumbuh tinggi, tapi membungkuk dengan panjang membentuk terowongan yang melintang di jalan utama. Pohon-pohon menghalangi sinar matahari. Dibanding 12 tahun lalu, warga desa ini telah banyak berganti, banyak juga rumah tak dihuni. Desa ini senyap pada siang hari, mencekam di malam hari.
Ataya menutup jendela, menarik gorden kamar Re ini. Dilihatnya Amang tengah mengusap badan Re dengan lap basah.
“Trauma kepala. Tidak ada darah yang mengalir dari kepalanya padahal memar akibat benturannya cukup parah. Saya tidak bisa memastikan kapan dia akan bangun,” diagnosis dokter yang memeriksa ketika itu, Dokter Marta, namanya.
Ataya mencoba tersenyum tegar tiap menyadari Re tidak bangun-bangun sampai selama ini. Terbesit perih di hatinya, semacam penyesalan, Re menjadi seperti ini karena dirinya.
**
“Pagi, Bunda,” Rayan mencium pipi kanan Dokter Marta.
“Kurang tidur, ya?” Dokter Marta masih sambil sibuk menata sarapan di meja, menyadari wajah anak semata wayangnya sembab, garis hitam tercetak jelas di bawah mata.
Rayan mengangkat bahu. Menggigit kentang rebus, mengunyah sekenanya, menelannya bersama susu buah. “Agak sibuk dikit semalam.”