Kucing belang bergelung manja. Ataya membelainya gemas, tertawa karena hewan imut itu makin bergelung hingga menyerupai bola berbulu. Sembari terus mengelus penuh sayang, Ataya menengadah langit yang diciprati semburat awan-awan putih yang masih tipis, matahari terbit mulai cerah. Udara pagi selalu menyenangkan bagi Ataya. Dia menoleh, Bara ada di sampingnya.
Sudah beberapa pagi Bara dan Ataya bertemu di lapangan ini, memberi makan kucing-kucing, bermain sambil duduk-duduk di atas pipa. Tanah yang ditumbuhi bunga alang-alang di belakang menjadi latar, mereka bersama dengan alam pagi membentuk lukisan sempurna.
“Sudah siang. Tidak takut terlambat?” Bara menurunkan kucing kuning dari pangkuannya, melompat turun.
“Ini mau berangkat,” Ataya meraih tali tasnya, menyampirkan di bahu, melompat turun dan menepuk-nepuk rok abu-abunya.
“Mau diantar?” untuk pertama kalinya Bara menawarkan.
Suara sepeda dikayuh menimbulkan sedikit bunyi berdecit. Setelah dua-tiga kali kayuh, sepeda melaju stabil, mengikuti jalan. Ataya duduk menyamping di jok belakang, satu tangannya erat memeluk pinggang Bara. Bulir-bulir bunga alang-alang yang ditiup Ataya terbang satu-satu, menyerupai gumpalan-gumpalan kapas. Kemudian arus angin membuat gumpalan-gumpalan itu tertinggal jauh di belakang. Ataya memandangi sesaat, tersenyum. Selesai itu, ia memeluk pinggang Bara menggunakan kedua tangannya.
**
“Mawarnya bagus. Kau suka bunga rupanya,” Rayan melepas stetoskop dan membiarkannya menggantung di leher. Mengambil buku di atas meja, menulis catatan medis Re. Ataya di tepi ranjang, mengancingkan kembali baju Re.
“Dari tetangga depan rumah, Dok. Vasnya juga. Saya rasa dokter harus bertemu dia. Cantik, lo, Dok,” Ataya menggodanya.
Rayan tertawa. “Kalau begitu titip salam, ya. Sekalian saya juga minta mawarnya.” Ataya serius menanggapi candaan Rayan. Kata Ataya, sambil membawa baskom ke luar kamar, dia akan secepatnya menyampaikan salam Rayan sekaligus mawarnya yang paling merah. Rayan geleng-geleng kepala, senyum lebar mengembang di bibirnya.
Di bawah, Milan membungkuk-bungkuk, melangkah cepat-cepat membelah kebun kakao. Amang tadi pergi tanpa menutup pagar, sore tanggung yang sepi. Untuk mencapai menara, Milan tinggal pandai menyesuaikan tinggi dengan jendela-jendela besar Rumah Gadang agar Ataya dan Rayan di dalam tidak dapat melihatnya. Milan mendapat kesempatan bagus.
Sialnya, beberapa langkah lagi, sandalnya menginjak ranting kering. Kayu yang tajam menggores ibu jari kakinya. Refleks ia mengaduh, suaranya cukup kencang untuk memecah ketegangan yang ia ciptakan sendiri.
Rayan mendengar itu. Ataya di kamar mandi tidak menyadarinya. Rayan melongok lalu matanya memicing, merasa mengenali kepala dengan rambut sebahu sebagian berwarna merah muda itu.
Milan sadar diperhatikan. Pelan-pelan, sambil berusaha membebaskan kakinya dari ranting kering, ia memutar kepala, menoleh. Butuh beberapa detik untuk menyimpulkan bahwa ia tidak salah lihat, bahwa yang menangkap basah dirinya adalah Rayan. Milan nyengir.
Rayan menahan napas. Membuang pandangan ke arah lain, bersedekap, memandang Milan lagi sambil menyipit tak habis pikir. Posisi badan setengah membungkuk, wajah pucat dan keringatan sudah kentara jelas, perempuan itu pasti sedang mencoba menyusup. Rayan bukan sekali-dua kali mengetahui kebiasaan buruk itu, sudah tidak heran. Namun setelah tidak bertemu bertahun-tahun, dalam pertemuan pertama, ia sungguh geleng-geleng kepala keheranan perempuan itu belum berubah sama sekali.
“Lihat apa, Dok? Sampai serius begitu,” Ataya kembali.
Rayan tersenyum canggung. Seraya menyeka keringat, menggiring Ataya keluar kamar lagi dengan mengatakan perutnya lapar, siapkanlah sesuatu.
Milan masih terpaku di posisi kikuknya tadi. Ketika sadar Rayan pergi dan membantunya mengalihkan perhatian Ataya, lekas ia kembali ke rumah.
“Tetangga depan rumah, apa rambutnya warna merah muda?” Rayan dari jendela di dapur, memastikan Milan sudah enyah, mencoba mengendalikan situasi sewajar mungkin.
“Ah,” Ataya tersenyum meledek. “Tadi Dokter melihat dia, ya? Sampai bengong kayak tadi?”