Rayan mengetuk-ngetukkan jemari tangannya di kemudi sambil gelisah. Lepas remang petang tadi ia meluncur pulang, sampai setengah jam berlalu belum sampai juga. Terlambat laju mobilnya mendapat lampu hijau, terjebak bersama pengendara lain. Perawat dari ruang UGD tadi meneleponnya, memberi tahu ada pasien baru datang dengan lubang di dahinya. Antrian panjang kendaraan membuatnya tak mungkin sempat melakukan pertolongan pertama walau putar balik, Rayan meminta digantikan dokter lain.
Agaknya, dokter pengganti belum tiba sebab Rayan masih bersama roh pasiennya yang sekarat itu. Sesosok pria, duduk di belakang dan menatap Rayan terus-menerus dari kaca spion. Melotot nanar, seolah meratap meminta tolong padanya agar lubang bekas paku berkarat di dahinya cepat dijahit. Rayan mengibas-ngibaskan tangan yang basah oleh keringat dingin. Lubang di dahi itu cukup dalam. Menganga, gumpalan daging merah dan sebaris tipis tulang berwarna putih terlihat jelas berkat bantuan cahaya mobil lawan arah yang menyorot ke jok belakang. Luka yang parah, pasti jasad aslinya tengah merintih kesakitan.
Seandainya tiap roh yang Rayan temui sanggup bicara, mungkin roh itu pun merintih sejadi-jadinya. Sayangnya, selama ini, tidak ada satu pun roh yang berbicara pada Rayan. Mereka, roh-roh itu, hanya keluar dari jasad aslinya untuk meminta pertolongan lebih cepat pada dokter yang mereka tahu, akan menangani mereka.
Layar kuning berkedip-kedip, sebuah pesan masuk. Dokter pengganti sudah datang. Bertepatan dengan itu, roh pria dahi berlubang itu perlahan memudar, menjadi asap, lalu menghilang. Rayan membuang napas, lega.
Di kamar pengintai, Milan malah merasa napasnya tercekat. Mendadak merasa gerah, ia mengibaskan lembar-lembaran naskah yang baru selesai dibacanya. Sambil melakukan peregangan habis duduk lama, Milan berjalan-jalan kecil di beranda. Milan mengendus-ngendus. Aroma kukis coklat meliuk-liuk berasal dari Rumah Gadang.
“Kau bikin sendiri?” Milan menelan ludah, menutup kembali wadah kedap udara berisi kukis coklat pemberian Ataya.
Ataya mengangguk, tangannya masih terjulur di atas paha, matanya melesat-lesat kagum menyukai lantai dua rumah Milan yang penuh buku-buku. Ataya suka buku.
Milan tersenyum menangkap kekaguman Ataya. “Pilihlah buku paling bagus, yang kamu suka dan bawa pulang. Cerita bagus harus dibagi-bagi, ‘kan?”
Senyum lebar terbit menggemaskan di wajah gadis berkepang satu itu. Tanpa disuruh dua kali, ia segera memilih-milih. Nyaris setengah jam sibuk menelusuri rak demi rak menggunakan telunjuknya, tak jarang ia memekik sendiri ketika menemukan buku yang selama ini diincarnya.
Milan sambil menggigiti kukis, mengamati punggung kurus itu. Tersenyum, pun sedikit merasa bersalah harus secara kurang menyenangkan diam-diam menulis kisah hidupnya yang juga menyangkut kekejaman Dumaria, ibunya. Milan mengibaskan tangan kuat-kuat di depan wajah. Dia tak boleh terbawa perasaan.
Ataya membawa dua buku ke meja. Milan mendorongnya kembali ke rak, memintanya mengambil buku lebih banyak. Sampai larut, Ataya membaca buku-buku itu sekilas di rumah Milan, kemudian membawa pulang beberapa. Sembari mata berbinar-binar hangat, Ataya tersenyum lagi dan berterima kasih.
**
“Ada kebun kakao di rumahmu?” Bara mengunyah kukis coklat dari Ataya, sudah kukis ke sekian. Terbesit kagum, Ataya pintar membuat kue. Di rumah, ibunya tak pernah membuat kue seenak ini, memasak telor mata sapi untuk sarapan saja tidak bisa. Itu sebabnya Bara suka keluyuran pagi-pagi mencari sarapan.
“Ya. Aku hidup dari situ selama ini. Aku yang memanen, Amang menjualnya ke pasar atau pabrik. Tahu pabrik susu coklat di kota? Itu memasok dari kebunku.” Ataya bangga, sejenak menurunkan buku di tangannya.
Bara manggut-manggut. “Amang itu.... ”
Ataya menutup bukunya sungguhan kali ini. “Dia yang terbaik di dunia ini,” dalam bayangannya tergambar wajah Amang yang tersenyum, yang sedang bergerak-gerak berusaha melucu. “Dia itu kayak Ayah, sahabat karib, juga Kakek yang suka bikin ketawa cucunya,” bening mulai tergambar di wajah Ataya.
Bara menepuk-nepuk bahu kurus itu, Ataya malah melengos, tertawa sambil menyeka ujung mata. “Apaan, sih. Nggak apa-apa, kok.”
Bara tersenyum, tercenung sebentar lalu mulai mengigit kukis lagi. Kalau Ayah, aku juga tidak punya, katanya dalam hati.
**
Aroma tembakau menyentuh hidung Bara. Suara senandung lagu-lagu klasik mengalun dari kamar mandi, merdu dan lembut alunannya. Di dalam sana lantai dan dinding nyaris semuanya basah oleh air bercampur bubuk mandi aroma mawar.
Sepuluh menit berselang, Bara mulai berjengit-jengit gelisah ingin cepat-cepat cuci kaki selepas kotor dari lapangan. Diketuknya pintu kamar mandi. Ibunya yang seperti biasa, setiap sore begini, sedang luluran itu menebarkan aroma mawar lebih banyak lagi. Petani-petani yang pulang meladang sampai bisa mengendus wangi itu. mereka bersiul-siul dari depan. Menggoda.
“Cih! Kau seperti penggoda saja, Bu,” gerutu Bara, lantas berlalu, berpikir akan mencuci kaki di belakang rumah saja.
Kali ini, gantian suara kucing yang menyambut Bara di belakang rumah. Kucing betina yang langsung merayu manja, menjedot-jedotkan kepalanya ke kaki Bara. Bara berjongkok, membelai gemas kucing dengan sekumpulan payudara kendur itu, perut yang agak menggembung akibat air susu di dalamnya tak ada yang mengisap.
Bara meminta maaf padanya. “Kau pasti rindu anak-anakmu, ya?”