Milan mengerang, menegakkan punggung, meraup wajahnya sendiri kasar-kasar. “Sudah cukup nangisnya, Milan!” perintahnya pada diri sendiri.
Di bawah, bunyi mesin dimatikan. Mobil Rayan terparkir di depan Rumah Gadang. Dokter muda itu menutup pintu mobil, berjalan menuju pagar. Milan memanggilnya, Rayan berhenti, Milan memintanya menunggu. “Apa dia juga harus datang malam-malam begini?” gerutunya sembari menuruni tangga.
Di depan pagar, Rayan merapatkan jaketnya, dingin terasa pekat. Matanya akhinya menangkap sejumput rambut berwarna merah muda terlihat dari balik pagar rumah seberang. “Ada apa?” Rayan tak basa-basi lagi begitu Milan sampai dengan napas terengah-engah.
“Ada urusan apa malam-malam kemari?”
“Pekerjaan dokter,” Rayan menjawab tanpa menatap Milan. Berpura-pura membenarkan lengan kemeja yang menyembul dari jaket, mengelilingkan pandangan ke jalanan panjang yang remang.
“Bukan keadaan darurat, ‘kan? Bagaimana kalau makan malam dulu? Pekerjaan dokter lebih baik dikerjakan dengan perut kenyang.”
Dua detik, Rayan menatap Milan tak mengerti. Berdecak. “Saya kira ada apa,” berbalik mencoba membuka pagar.
Sigap, Milan menarik Rayan dan menutup pagar seperti semula. Karena lonceng di pagar sudah berdera, salah satu jendela Rumah Gadang terbuka. Ataya memicingkan mata, demi melihat lebih jelas siapa yang ramai-ramai di depan pagar. “Dokter Rayan, tidak masuk?”
“Aku ada urusan dengan mantan pacarku ini. Sebentar saja,” Milan menggandeng Rayan erat-erat, membawanya masuk ke rumah.
Beberapa puluh menit, makanan tertata rapi di meja. Serba sayur, buah, salad, dan yang spesial, kesukaan Rayan, omelet tuna dengan banyak irisan cabai tanpa garam. “Belum berubah, ‘kan?” Milan menyajikan sepotong omelet di atas piring Rayan.