Kelopak mata itu mengejang, bulu mata di tepiannya bergerak-gerak. Perlahan mata bulat itu terbuka. Pertama dilihat adalah eternit langit-langit kamar berwarna coklat lalu bola mata bergulir turun ke dinding. Cahaya petir berkilap, mengintip dari balik tirai, memantul di dinding. Kardiograf berbunyi menandakan situasi yang normal. Tubuh kurus beringsut bangun sembari agak tergesa sehingga alat pendeteksi jantung di dada telanjang itu lepas. Kardiograf senyap.
Tangan kanan menyibak tirai, pemiliknya belum sadar tangan itu sekarang telah berubah besar. Mata sebelah kanannya memandang ke luar, ke kebun kakao yang basah, tampak dingin. Merasa pemandangan kurang jelas–ditambah hanya satu mata saja yang bisa melihat, tangan itu menyeka embun-embun sisa yang mendingin di kaca jendela.
Seketika ia menurunkan tangan kembali, menggenggamnya erat-erat dengan tangan lain. Diamati kedua telapak tangan, mata itu menelusuri lengan hingga dada dan kaki sendiri. Rasanya aneh. Seperti sedang memakai tubuh orang lain.
Bunyi tirai tebal disibak. Hening. Bunyi berdebuk mengagetkannya membuatnya menoleh. Tuan muda itu menyipit. Seorang gadis berkepang satu, wajahnya yang baru kali ini dilihat tapi terasa tidak asing itu....
“Ataya?” sapanya. Hening lagi. Tuan Muda itu menganga, heran mendengar suara sendiri, heran apa yang dipikirkan dalam benaknya bisa terucap melalui bibir. Suara berat yang sebelumnya tak pernah ia dengar. Sebelumnya, bahkan bicara saja belum becus.
Ataya diam mematung, telapak tangan refleks menutup mulut yang bibirnya bergetar. Matanya terbelalak syok, pucat seolah aliran darah di wajahnya berhenti seketika. Namun senyum lebar itu terulas membayang di bibirnya, air mata mengalir tak bisa dikekang. Ia berlari melewati baskom berisi air hangat dan handuk yang tadi jatuh tumpah di lantai linoleum.
Ataya memeluk Re erat-erat, mengisak semakin deras hingga beberapa saat tak bisa bersuara. Dengan tidak sabar disekanya air matanya. “Re, kau sudah sadar. Kau sudah sadar,” gumamnya berulang begitu terus.
Di benak Re, semua keraguan dan pertanyaan hilang seketika. Dalam sekejap batin yang gelisah mendadak tenang dipeluk tubuh hangat ini. Ia balas memeluk. Tersenyum menyadari punggung Ataya lebih lebar dari terakhir kali ia memeluknya sewaktu berumur dua tahun. Re merasa ia akan baik-baik saja meski semuanya terasa membingungkan.
**
Rayan memeriksa. Dari mulai denyut jantung, tekanan darah hingga seluruh fungsi gerak, otot-otot. Re masih tampak syok. Rayan mengamati, agaknya Re sama sekali tidak mengenal dirinya. Kebanyakan memang seperti itu. Roh-roh itu, ketika kembali dan jasad aslinya sadar dari koma atau kritis, semuanya lupa bahwa mereka pernah mendatangi Rayan. Seolah-olah tak pernah bertemu, padahal Rayan merasa terusik setengah mati. Ia mendadak kasihan pada dirinya sendiri.
Rayan dan Ataya keluar berbarengan dari kamar Re. Amang bangkit dari duduknya. Hujan reda sepenuhnya. Melihat ketegangan di wajah Ataya, Rayan mencoba meyakinkan bahwa semua baik-baik saja, “Secara fisik ia sehat sekali, Ataya. Juga tidak ada masalah dengan kebutaan di mata kirinya. Secara psikologis pun tampaknya tidak terlalu buruk. Hanya saja, ia sedikit bingung mengapa ia bisa tertidur selama itu dan tahu-tahu segalanya sudah berubah termasuk dirinya. Kau harus membantunya. Perlahan berikan dia pengertian, bantu ia memulihkan ingatannya pelan-pelan. Dia hanya akan percaya padamu, Ataya. Kau harus lebih kuat. Ya?” jelasnya panjang lebar.
Ataya mengucapkan banyak terima kasih. Matanya ikut basah, bibirnya gemetar ketika Amang menangis terharu sambil menggenggam kedua tangan Rayan erat-erat. Kelegaan dan rasa syukur menyelimuti Rumah Gadang malam itu. Rumah Gadang itu, seandainya bisa terharu, mungkin juga akan ikut menangis hingga sesenggukan dinding-dindingnya, tangga-tangganya bergetar.
Di kamar, Re tidak melihat di belakangnya Rosmariam diam berdiri, menyeringai, gusi-gusinya berbau busuk. Kendati diam, darah hitam itu terus menetes dari bolong di lehernya, merembes pada kerah gaun lalu lama-lama deras mengalir membuat lantai basah. Ketika pergi, di genangan darah hitam itu muncul belatung-belatung, kemudian surut sendiri, yang tertinggal hanya sekuntum bunga kenanga.
**
“Sudah mau pulang?” tanya Milan lewat telepon, sembari di beranda, melihat Rayan baru ke luar dari Rumah Gadang.
Rayan mendongak, Milan melambai. “Pakai telepon segala.”
“Aku senang sekali. Ini pertama kalinya kudengar suaramu di telepon. Kita dulu pacaran belum sempat mengenal ponsel. Kalau dipikir-pikir, cukup repot juga waktu itu,” Milan mengajak Rayan mengenang masa dulu, 4 tahun lalu, ponsel masih menjadi barang langka dan mewah saat itu.
“Saya matikan dulu. Mau menyetir,” seperti biasa, Rayan tak ingin membahasnya. Tangannya memijit tombol di ponsel tanpa melihat. Dibukanya pintu mobil, duduk di bangku kemudi dan memasang sabuk pengaman. Sebelum menginjak pedal gas, ia melirik ke atas dan menatap agak lama membuat Milan berjengit bertanya-tanya. Ponsel Milan bergetar. Rayan berada dalam panggilan lagi, “Terima kasih makan malamnya. Tentang ucapanmu tadi, saya juga senang bertemu denganmu lagi. Dah.”
Sekitar dua detik, Pupil mata Milan membesar, ditatapnya mobil Rayan. Setelah hilang dari pandangan, pipinya perlahan meruap hangat.
Ponsel bergetar lagi. Milan menjawab dengan suara manja mesra, tanpa melihat dulu siapa yang menelepon. “Yaaa?”
Jill di seberang sana tersedak kopi. Milan berdehem, malu. Jill bertanya ada hal apa yang membuat Milan bicara seperti perempuan.
“Sembarangan. Memang selama ini aku laki-laki?” protesnya. Jill mengendikkan bahu walau tahu Milan tidak akan bisa melihatnya melalui telepon. “Aku perempuan, Jill. Perempuan yang sedang jatuh cinta,” Milan terkikik lagi, menggigit jarinya sendiri.
Jill mendesih geli. “Kalau begitu teleponlah cintamu itu. Aku mengganggu, ya?”
Hening. Suasana canggung tiba-tiba menyergap. Jill berdehem, di sana ia tampak menegakkan punggung. “Masalah ibumu.... ”
“Dia meninggal karena apa?”
Jill tertegun, bahunya merosot. Benar firasatnya, Milan sudah tahu. Jill memijit-mijit keningnya sendiri. “Maaf, Milan. Aku tidak bermaksud menyembunyikan ini darimu.”
“Tidak, Jill. Aku tahu sekali dirimu. Kau pasti punya alasan sendiri. Ya, ‘kan?”
Jill membuang napas lagi. “Ibumu, dia kena radang selaput otak,” Jill menata kata-katanya sejelas mungkin. “Dia meninggal di rumah itu, di kamar pengintai, tepatnya. Tak ada yang tahu dia sakit. Dia meninggal dalam keadaan duduk, menulis naskah, sendirian di kamar itu. Oh, Tuhan,” Jill merasa tak sanggup. “Maafkan aku, Milan.”
Milan tersenyum tapi bibirnya bergetar. “Tak apa.”