Kabut tipis mulai turun, angin semilir membuat daun-daun di kebun kakao bergesekan, aroma kakao dan kenanga bercampur manis dan memabukkan. Dari jendela, terlihat lampu kamar Ataya dimatikan. Remang cahaya bohlam gantian menerangi, lampu tidur.
Di kamarnya, Ataya menyisir rambut sambil duduk di depan cermin. Pipinya tersipu, hangat bibirnya Bara masih tertinggal di sana. Sesaat, tangannya berhenti. Langit-langit kamar mendadak terasa pengap. Pelan-pelan, Ataya menaruh sisir. Yang selama ini ia pelajari dari pengalaman, kalau trauma kambuh, napas mulai sesak, ia tidak boleh panik. Ruang tertutup bisa membikin semakin celaka.
Selangkah demi selangkah, mendekat ke jendela dan membukanya. Dingin langsung memeluk. Kabut bagai meliuk-liuk masuk, lantas hilang ditelan cahaya hangat dari bohlam. Gorden merah yang menjadi penutup kamar berkibar sepoi-sepoi. Ataya berpegangan pada selusur jendela, napas semakin jarang. Terjatuh dan terduduk dengan satu tangan masih di jendela. Memutar tubuh, bersandar pada tembok kayu.
Sesudah pandangan memburam, seolah dari balik kabut, Dumaria datang. Semakin terlihat, napas Ataya semakin sesak. Sudah dekat, Ataya merasakan tubuhnya nyeri-nyeri. Dalam bayangannya Dumaria mulai mengayunkan kemoceng bergagang panjang. Lebam mulai bermunculan di tubuh Ataya. Tentu, semua itu hanya ada dalam pikiran Ataya. Halusinasi yang menyiksa.
**
PRANG! Gelas-gelas, guci, piring-piring, apa saja pecah. Buku-buku berjatuhan, mulai dari yang tipis, hingga buku-buku tebal yang menimbulkan bunyi berdebam. Lantai dua rumah Milan sekonyong-konyong amburadul.
Di lantai paling bawah, pintu sudah terbuka duluan. Seperti dibuka dengan sekali entakkan, menghantam tembok dan engselnya langsung rusak. Bersamaan angin masuk, darah hitam mulai menciptakan jejak putus-putus, menuju lantai dua. Sekejap, lantai dua dan lantai paling bawah berantakan, segala rusak, segala titik bersimbah darah hitam yang mengalir dari atap, tembok-tembok, seolah dinding dan atap tengah menangis. Menangis darah. Darah hitam, darah terkutuk.
Milan berusaha mengatur napasnya yang mulai memburu. Aroma kenanga gosong memenuhi kamar pengintai. Ia berdiri mematung, kuping ditajamkan, takut mulai menjalarinya ketika suara-suara pecah dan berjatuhan terdengar semakin dekat. Tangannya terkepal kuat, keringat dingin mengucur.
Lampu di tengah kamar berkedip-kedip. Milan secepat mungkin menekan sakelar, niatnya agar tidak terjadi sesuatu yang menyeramkan, yang ada lampu neon itu malah meledak, pecahannya sedikit menggores betisnya. Milan mengumpat.
Dalam kegelapan, semuanya makin tidak karuan. Milan tidak mampu melihat apa-apa, pandangannya terbatas. Yang ia rasakan hanya perih. Semula Milan mengira perih itu berasal dari luka gores di betis. Namun, ia juga merasakan perih yang pedih pada tangannya, pinggangnya, perutnya. Milan berteriak seolah pisau baru saja menyayat punggungnya. Belum cukup perih di sekujur tubuh, rasa seperti dibakar menyusul. Milan berteriak lebih kencang, teriak lagi, tubuhnya yang semula meringkuk, mendadak terkesiap, berlutut dengan dada membusung, berteriak, kejang-kejang sebelum akhirnya pingsan kehabisan napas, sesuatu mencekik lehernya.
Di tengah semua kengerian itu, lampu menyala lagi. Bunga kenanga yang sudah menjadi abu, perlahan bergumul, membentuk gundukan kecil. Sedetik kemudian, bunga kenanga kembali seperti semula, seolah tidak pernah dibakar. Milan masih terkapar tidak sadarkan diri. Luka seluruh tubuh, lebam dan nanah, napasnya putus-putus.
**
Ataya mendongak, mendesah tak percaya. “Di sini akan dibangun sebuah pusat kesehatan masyarakat,” dibaca ulang sebuah spanduk yang membentang di lapangan tempat-tempat kucing belang, putih dan kuning ia pelihara.
Di salah satu sisi, bahkan sudah dipenuhi oleh bahan-bahan bangunan. Ketiga kucing kecil itu tampak bermain di tumpukan kayu-kayu balok. Sekarang yang terlintas di pikiran Ataya adalah pilihan, mau ditaruh di rumah Bara atau ia sendiri yang akan membawa kucing-kucing itu.
Ataya masih bermain dengan Si Putih, ketika udara pagi mulai menghangat, mulai siang. Sekolah hari ini akan segera dimulai, kucing-kucing ini terancam tak punya rumah, Bara malah tak juga datang.
**
Milan terbangun karena mendengar seseorang tengah bercakap-cakap. Dari ranjang, beringsut bangun, mengaduh. Kepalanya pusing bukan main. Selepas beradaptasi dengan cahaya pagi yang masuk lewat jendela, ia mengelilingkan matanya. “Ya Tuhan....”
Kamar pengintai sudah tak karuan bentuknya. Kardus-kardus yang menumpuk, runtuh, tersebar di setiap tempat. Kain putih yang menutupnya malah tergantung di langit-langit, Milan terkesiap, mengira kain itu hantu atau sejenisnya. Mesin ketiknya terbalik. Kertas dimana-mana. Milan mengusap rambut frustasi. “Ah,” mengerang sebal, ketika sadar sekujur tubuhnya pun ikut berantakan. Luka sayatan dan lebam penuh di seluruh tubuh.
Samar-samar suara orang berbicara terdengar lagi. Milan turun dari ranjang, terhuyung-huyung menuju beranda. Rayan sedang menelepon. “Ya, Pak. Seperti bekas perampokan. Luka korban cukup parah. Alamatnya....”
Omongan Rayan terputus, telepon kemudian dimatikan. Milan yang merebut ponsel Rayan dari belakang. “Kau gila?” pekik Milan, masih berusaha memencet-mencet tombol, memastikan sambungan telepon benar-benar sudah mati. “Kenapa menelepon polisi?”
“Rumahmu kemasukan maling, kau bahkan babak belur! Hei,” Rayan gemas, mengetukkan jarinya ke dahi Milan yang lebam. “Kau tidak amnesia, ‘kan?”
“Kemalingan?” Milan termegap, seperti mau mengatakan sesuatu, tapi ia juga bingung harus menjelaskan darimana. Kesal sendiri. Dipukulnya dada dokter muda itu menggunakan ponsel, Rayan sigap mengambil kembali barang miliknya itu. Milan masuk. “Semua ini karena kamu, Rayan! Kau menyembunyikan semuanya, jadi aku semakin penasaran, dan... kubakar kenanga-kenanga itu!”
Sementara Milan menyerocos kronologis kejadian semalam, sekelebat ingatan lewat di pikiran Rayan. Dokter Marta pernah nyaris frustasi karena tidak bisa menyembuhkan Amang yang terluka parah, karena kenanga-kenanga itu. “Bahkan naskahku ikut hancur. Naskah Mom juga!” Milan berteriak putus asa.
Rayan membuang napas, menaruh ponsel sembarangan dan meraih tas yang tadi dibawanya. Ditariknya Milan duduk di tepi ranjang. “Kuobati lukamu.”
Milan masih kesal, tapi akhirnya menurut juga. Luka cakar di lehernya adalah luka terparah. Perihnya terasa membakar kulit ketika Rayan menuangkan alkohol ke sana. “Tahan sedikit. Entah apa yang mencakarmu, tapi ini sungguhan bisa infeksi.”
Milan menjauh, mendelik sebal. “Sudah jelas Rosmariam. Dia yang mencakarku dan mengamuk di sini semalam. Kau masih pura-pura tidak tahu.”
Rayan menarik Milan agar dekat, menaruh tangan perempuan itu di pundaknya. Ditatapnya sungguh-sungguh. “Remas pundakku untuk menahan sakitnya. Ini akan perih sekali.”
Milan kemudian berteriak, mengaduh dan meremas pundak Rayan berulang kali selama luka cakar di lehernya itu diobati. Namun, alkohol dan obat sebanyak apapun tak bisa membuat lukanya mendingan apalagi sembuh. Rayan dan Milan berpandangan ketika luka cakar itu malah semakin terasa basah dan pedih.
“Ludah,” Milan ingat luka Amang pun sembuh berkat ludah. “Lagi-lagi kau pura-pura tidak tahu.” Milan meludah-ludah ke telapak tangannya sendiri, setelah terkumpul banyak, dioleskannya ke seluruh leher. Luka cakar sedalam itu, dalam hitungan detik, mengering, mengeriput lalu berangsur menutup.
Milan meludah dan meludah lagi. Sudah separuh luka di tubuhnya kering. Meludah lagi, kemudian ia tak tahan lagi. Merasa jijik sendiri, dikibaskan tangannya kuat-kuat, dibasuhnya alkohol banyak-banyak ke telapak tangannya sampai bersih. Tak cukup sampai di situ, ia mengulangi lagi, sebotol alkohol tinggal beberapa tetes.
Rayan menarik napas. Tidak sabar adalah sifat Milan. Rayan sudah maklum. Biasanya setelah begini ia akan menangis. Sebelum itu terjadi, Rayan menarik tangan Milan, tanpa ragu, ia meludahi luka-luka di tangan itu. Luka-luka perlahan mengering, tapi ludah masih menggenang. Rayan menghisap kembali ludah-ludahnya sendiri. Meludah, dihisap lagi, begitu terus. Milan diam, jantungnya serasa berhenti.
“Haruskah luka di badanmu juga? Kakimu?”
Milan menarik dirinya, wajah merah padam. “Tidak. Keluar sana. Biar aku saja.”