Gorden putih jendela kamar pengintai disibak, Milan mendengar ramai-ramai dari Rumah Gadang. Ataya dibopong oleh entah siapa, Amang langsung mengaduh panik mendapati gadis berkepang satu itu tak sadarkan diri. Ataya dibawa masuk ke dalam, pintu Rumah Gadang ditutup, menyudahi sinar-sinar lampu menyorot kumpulan genangan air kebun kakao yang berkilauan terkena cahaya bulan selepas hujan. Milan mendesah panjang. Pasti gadis itu kumat lagi, tebaknya tepat.
“Terima kasih, “ Bara menerima minum yang disodorkan Amang sambil kikuk. Meminum sekenanya lalu kembali duduk di bangku sebelah ranjang sambil menaut-nautkan jarinya dengan gugup. Diliriknya Ataya di ranjang itu, belum juga sadarkan diri.
Bara memijit pelipisnya sendiri, sebongkah penyesalan mengendap. Andai tadi sikapnya lebih baik pada Ataya, mungkin tidak sekacau begini. Sebuah keputusan tepat mengejar Ataya. Telat datang sedikit, Ataya mungkin akan lebih parah dari ini.
Sudah semakin malam, nyamuk-nyamuk semakin gencar berdengung di telinga. Ataya membuka mata sesudah memastikan Bara pergi. Dia tadi tidak sepenuhnya pingsan, malah sudah membaik ketika dalam perjalanan dibawa kesini. Ataya hanya berusaha menyembunyikan apa yang tadi dilihatnya.
Orang buta kurang waras itu, tadi sempat menahan mereka. Membawa golok. Kalah cepat sedikit saja bisa terkena. Orang itu memang kerap mengamuk, namanya juga kurang waras. Tapi tidak pernah sekalut itu, setahu Ataya.
Lebih-lebih orang buta itu mengatakan sesuatu yang aneh. Sebuah ucapan yang diteriakkan penuh dendam dan amarah, seolah berasal dari mulut orang yang waras, orang yang sadar bahwa ia menyimpan kesumat.
“Aku bisa mencium aura kotormu, aku masih ingat! Kau anak Si Mesum! Pembunuh wanitaku! Kau pantasnya mati saja!”
**
Milan tercenung sambil bertopang dagu. Manis rambut merah mudanya ditiup udara rasa kakao yang juga manis. Di teras depan rumah ia seperti menyesali sikapnya. Untuk apa ia bersusah-susah menawarkan diri merawat anak-anak kucing ini?
Sekarang, kucing-kucing itu, Si Belang, Putih dan Kuning yang dekil akibat hujan semalam, benar-benar mengganggu pemandangan halaman rumah semula rapi bersih dan wangi.
“Aku tidak mau pelihara!” tukas Ataya. Dipelototinya Bara dengan kesal. “Aku sudah bilang kalau buah kakao bisa berbahaya untuk kucing, ‘kan? Kau sengaja membawa kesini supaya aku marah, ya!”
“Jangan kekanakkan, Ataya. Jangan karena kau marah padaku, kucing-kucing ini jadi korbannya. Tinggal pelihara apa susahnya. Hei, ingat tidak? Waktu itu kau duluan yang menggendong mereka!”
Milan kebetulan ada di saat perdebatan itu mulai terlihat tak akan ada ujungnya. Ia datang menjenguk Ataya sambil membawa buah dan buku-buku bacaan, pulangnya malah membawa banyak kucing. Padahal, ia alergi bulu hewan.
“Maaf merepotkanmu, Kak.” Ataya memberi tisu, perasaan bersalah hinggap ketika tahu Milan mempunyai alergi.
Milan menyusut ingus, hidungnya seperti badut karena bersin-bersin melulu. Menggeleng seraya mendongakkan kepala biar tidak meler lagi. “Tidak apa-apa, jangan dipikirkan. Toh, mereka tidak akan naik ke kamarku.”
Ataya tersenyum berterima kasih, membuang napas lalu muram. Bara menyebalkan sekali baginya.
“Cowok tadi kayaknya baik, Ataya. Berbaikan saja.”
“Dia yang menjauh, aku tidak bisa memaksa.”
“Hoo.” Milan menangkap kekecewaan tergambar di wajah itu. Tak perlu Ataya mengaku, sudah kentara sekali dia memiliki perasaan khusus pada Bara.