Rosmariam

Anita Utami
Chapter #11

10

Pagi itu, seharusnya Rosmariam menyadari matahari bersinar terlampau terik. Tanah-tanah kebun kakao sampai retak-retak kecil kekeringan. Udara tipis, panas. Alam semesta seolah mencoba memberi tahu betapa tidak diterimanya kehadiran Dumaria di rumah gadang. 

Janda beranak satu itu mengenakan seragam yang cukup menjelaskan statusnya, pelayan. Tapi dia kelewat cantik, seragam pelayan tak membuat daya pikatnya berkurang. Rambut terkuncir lurus menjuntai di sepanjang punggungnya sama panjangnya dengan rambut Rosmariam, sama hitamnya. Ataya kecil beringsut sembunyi di belakangnya ketika Rosmariam mendekat, menjulurkan tangan membelai kepalanya. “Kalau dia malu begini, pipinya merona cantik sekali,” ucap Rosmariam penuh kasih sayang.

“Terima kasih, Nyonya.” Dumaria tersanjung. Kacamata bulat cokelat membingkai matanya yang berbinar-binar seolah tengah berusaha memancarkan kebaikan pura-pura. Rumah Gadang bergidik. Mata itu tak ubahnya mata seekor rubah. Licik.

**

Gosip berembus bagai angin di musim panas, tak kasat mata tapi menyengat. Di luar, di bawah pengaruh Dumaria, ibu-ibu tengah mengintai dan wajah-wajah mereka mulai berubah, menjadi jelek dengan bibir dimonyongkan–mencibir tak suka. Sementara Rosmariam tidak tahu, asyik di dapur.

“Saya begitu heran Nyonya mau repot-repot seperti ini. Padahal tinggal beli saja. Toko bahan susu di pasar bahkan sudah banyak menjualnya.”

Rosmariam tertawa, lesung pipi itu mekar membingkai senyumnya. “Aku ini seorang istri. Tugasku menjaga harta suami. Berhemat adalah pilihan, maka sebaiknya aku mmebuat apa-apa sendiri.”

“Suamiku itu tidak pandai mengurus dirinya sendiri. Bekerja lupa waktu hingga telat makan. Kudengar susu fermentasi bagus untuk pencernaannya. Kau bisa mengajariku, tidak?” tanya Rosmariam pada pemuda kurir susu segar itu, dua minggu lalu.

Pemuda itu mengiyakan, gembira mendapat kerja tambahan. Sekarang Rosmariam bisa tenang karena pencernaan Datuk akan tetap sehat meski bekerja keras. 

**

PRANG! Gelas dan piring pecah berhamburan. Datuk Dante membalik meja makan. Rosmariam terhenyak bangun dari kursinya, mematung.

“Kukira kamu perempuan baik-baik, Ros!” Marah yang cukup lama terpendam menggelegar keluar. Mungkin kaca-kaca jendela bergetar saking kuatnya suara berang yang terpantul. 

“Kamu mencoreng namaku, keluarga kita dan harga dirimu sendiri! Kurang apa aku padamu, Ros? Karena aku jarang pulang, kamu merasa kesepian? Ha!?”

“Demi Tuhan, Datuk. Aku tidak begitu!”

“BAHKAN SEKARANG KAMU HAMIL!”

Rosmariam gemetar hebat bibir dan jari-jari tangannya. Air yang sejak tadi mengambang kini melabrak keluar dari kelopak matanya. “Demi Tuhan, Datuk,” desisnya nyaris tak terdengar.

Sebulan lalu Datuk menyempatkan pulang meski cuma semalam. Datuk lupa, betapa malam itu Rosmariam telah dihanyutkan cumbuannya. Kasih mesra membibitkan benih. Namun semua perasaan bergelora itu kini membuih, kalah oleh rasa tidak percaya, merasa dikhianati.

**

Musim penghujan sudah berlangsung seminggu. Butir embun dari dedaunan jatuh menetes tanah becek kebun kakao, memercik. Dingin dini hari pukul 3 menimbulkan udara tebal, gelombang kabut bergulung-gulung seolah memperbarui keberadaan rumah gadang. Dumaria keluar dari sana, pakaiannya tidak menampakkan ia kedinginan. Gaun hitam panjang yang tipis. Langkahnya berhenti di anak tangga terakhir. Matanya berkeliling membaca situasi, tidak mengenakan kacamata kali ini. Senyumnya membayang licik. 

Lihat selengkapnya