Rem berdecit kemudian mobil berhenti mendadak. Rayan mengangkat tangannya dari setir dan menaruhnya di pelipis. Mengusap rambutnya sendiri yang terpotong pendek dan mendiamkan tangannya di kepala. Matanya nyaris tak berkedip memerhatikan rupa sosok di depannya–sesosok yang membuatnya menginjak rem mendadak. Bocah kecil berambut cepak tapi perempuan itu adalah sesosok roh yang mampu membuat Rayan menggerenyetkan mulut saking ngilu gigi-giginya melihat betapa mengenaskan 'bocah itu'.
Kaus bergambar kartun beruangnya compang-camping, malah bolong besar di bagian mulut beruang itu. Memakai baju seperti itu di angin malam sehabis hujan begini pasti membuat jasad aslinya kedinginan. Di bagian dada, darah segar merembes. Wajahnya pucat dan bibir seputih susu, mungkin jasad aslinya telah kehilangan banyak darah.
Rayan memutuskan untuk turun. Kakinya menapak di jalanan becek dan beberapa genangan air. Ia tengah berada di sebuah perkampungan terpencil sekarang, di sini bahkan listrik pun belum rata terpasang, sawah-sawah belum menjelma menjadi perkotaan.
“Di mana tubuhmu aslimu?” tanya Rayan pada roh bocah itu.
Bibir putih pecah-pecah itu membuka perlahan, suara lirih keluar, sebisa mungkin Rayan mempertajam pendengaran. Tapi tidak terdengar apa-apa. Bocah itu akhirnya menunjuk ke arah tiga rumah dari dekat sini, rumah di tepi jalan yang dindingnya berbilik bambu.
Suara jangkrik dan binatang malam lainnya mendadak sedikit samar ketika Rayan masuk ke rumah berdinding bambu itu. Ia tak mengetuk pintu karena memang tidak ada pintu. Pembeda rumah ini dengan pinggir jalan adalah aspal. Rumah ini tidak beraspal seperti jalan mobil, hanya beralas tanah dan atapnya pun hanya dari fiber gelas yang sudah bolong sana-sini. Bahkan tempat ini pun tak bisa disebut sebagai rumah, batin Rayan terenyuh.
Roh bocah perempuan tadi kini berada di pojok ruangan, seolah menyuruh Rayan masuk. Maka setelah dua kali permisi tapi tidak ada jawaban, Rayan masuk ke sebuah ruangan yang ditunjuk roh itu.
Seorang Ibu menangis, saking tersedu-sedu ia belum juga menyadari keberadaan Rayan di balik punggungnya. Dua anak kecil duduk menekuk lutut di pojokan, memandangi yang menangis. Sementara jasad bocah perempuan itu terbaring di atas selembar karung bekas beras. Rayan mengatakan permisi, membuat si ibu terkaget-kaget.
“Boleh saya lihat keadaannya?” Rayan menunjuk jasad bocah itu dengan sopan, tidak berbasa-basi lagi.
Mulanya ibu itu nampak ragu. Tetapi melihat jubah putih Rayan, tanda nama yang di awali dengan gelar kedokteran ia mendadak menjerit histeris, bersyukur, memuji-muji Tuhan. Rayan seolah malaikat yang diturunkan dari langit untuknya.
Rayan lekas memeriksa kondisi bocah perempuan itu. Luka tusuk yang dalam dan basah di bagian belikat kanan. Di tepi daging merah yang memoncong itu, jamur berwarna putih tumbuh banyak. Nyaris busuk.
“Dia tertusuk tongkat orang-orangan sawah, Dok. Awalnya tidak seperti itu. Tetangga sebelah memberi obat bubuk, tapi malah tumbuh putih-putih begitu. Sejak sore tadi dia tidak sadar, Dok. Tubuhnya panas dan bau busuk. Saya ingin membawanya ke rumah sakit, tapi....”
Rayan mengerti. Pasti karena biayanya tidak cukup. “Sepertinya Ibu harus ikut saya ke rumah sakit. Saya butuh persetujuan wali untuk melakukan operasi.”
**
Ataya menorehkan tinta merah, melingkari sebuah tanggal di kalender mini. 21 Desember 1996. Toko kado lebih ramai dibanding yang ia perkirakan. Peringatan Hari Ibu mungkin penyebabnya.
Melindungi tersangka pembunuhan selama bertahun-tahun tentu merupakan pelanggaran hukum. Usianya yang masih di bawah umur kala keputusan dijatuhkan membuatnya dihukum melakukan pekerjaan sosial selama 6 bulan, menjadi pramu di toko ini salah satunya. Hari ini adalah hari terakhir dan besok ia akan bebas dari hukuman. Sementara Rosmariam masih mendekam di balik bui. Hukumannya tergolong ringan sebab ia menyerahkan diri dan melakukan pembunuhan sebab terkait pembelaan diri. Tapi tetap saja penjara tidak ada yang enak.
Lonceng di atas pintu berdera, tanda ada yang baru masuk toko, lalu berbunyi lagi seperti sengaja disenggol. Ataya melongok, bibirnya dikerucutkan mendapati Re berjalan mendekat. “Kau pamer tubuh tinggimu atau bagaimana? Lonceng ditabrak-tabrak begitu.”
Re mengangkat bahu, menyombong. Ataya mendengus geli. Seragam SMP yang dikenakan Re sungguh kontras dibanding wajah dan perangai sok itu. “Sebenarnya kau datang ke sini untuk apa?” tanyanya, seraya tangannya tetap bergerak terampil menempelkan selotip pada kado yang sedang dibungkusnya.
“Aku mencari hadiah untuk Ibu. Kamu tidak, Ataya?”
“Hadiah apa yang pantas untuknya? Rangkaian kenanga atau gaun hitam yang baru?” jawabnya, tertawa nelangsa.