Selasar
Aku tumbuh dengan aroma dan rasa.
Aroma Roti yang dibakar dan kopi yang diseduh dengan campuran cengkih, kayu manis, jahe, dan pala, menjadi jebakan hidupku, tanpa aku sadari. Antara harus terus berjalan atau kembali ke titik semula. Antara yang semu dan nyata.
Waktu dan jarak semakin memperlihatkan kekuatannya, manakala aku berusaha untuk berjalan dan memutus semua ingatan tentang masa lalu. Perjalanan ini adalah upaya yang kutempuh dengan segenap rasa dan kehilangan-kehilangan. Ada jarak yang terus terbangun setiap aku beranjak. Jarak yang begitu kokoh, hingga menyamarkan separuh hidupku. Antara mendekap atau melepas. Antara merawat atau menghapus ingatan.
Aku tahu dan berusaha mengembalikan kesadaran, bahwa hidup selalu punya jalan masing-masing. Namun, tidak untuk jalan ke masa lalu.
Selain aroma dan rasa, aku juga punya seseorang yang menjadi alasanku berjalan semakin jauh. Ibu.
Ibu satu-satunya orang yang menjadi alasanku dalam perjalanan yang kutempuh.
Ibu adalah semesta pertamaku, sekaligus yang menghadirkan gerbang jebakan-jebakan hidup itu.
Dan hari ini, aku berdiri di rumah sakit ini. Di depan poli kejiwaan. Aku baru saja menemui dokter Arni. Salah satu psikiatri yang terkenal di Makassar. Pasien-pasien dengan berbagai keluhan penyakit lalu-lalang, seolah dunia ini hanya dipenuhi kesakitan.
Aku masih terus menimbang-nimbang apa yang sudah dikatakan dokter Arni. Kalimat yang bisa menjadi obat terbaik, selain dari nama obat di secarik kertas yang aku genggam saat ini.
Gontai, aku melangkah ke parkiran motor yang sedang nyalang disiram matahari pukul dua belas.
1
Yang Terpisah
1997
Hal yang membuat seluruh hidupku menjadi suram adalah ketika ibu meninggalkanku dan memilih tetap di Desa Soamalaha bersama dua adik kembarku.
Dua belas tahun usiaku. Usia yang masih membutuhkan sosok ibu sebagai orang terpercaya dan juga masih ingin bermanja-manja. Atau masih ingin bermain dengan saudaraku. Namun, semua itu sirna tak bersisa.
Aku harus tinggal di Desa Libu. Antara Desa Soamalaha dan Desa Libu, tempat calon SMPku berada cukup jauh dan hanya bisa dutempuh melalui jalur laut. Biasanya, orang-orang menggunakan perahu bermesin selama dua jam dan itulah yang membuatku sulit bertemu ibu, jika harus ke Desa Soamalaha sendiri.
Di Desa Soamalaha memang tidak punya fasilitas SMP, sementara keinginan ibu aku dan saudara-saudaraku harus tetap sekolah, hingga membawaku ke tempat asing.
Tiga tahun lalu, ibu memilih menjadi guru SD di desa terpencil itu, setelah ditinggal mati oleh ayah.
Kesedihan sekaligus kemarahan, kusimpan rapat-rapat dalam tubuh terdalamku. Kupaksakan diri menjalani masa-masa itu. Meski aku tidak tahu bagaimana rasanya hidup di luar keluarga.
Aku dan seorang teman bernama Dija, dititip di rumah sebuah keluarga yang memiliki seorang anak usia empat tahun. Rumah itu hanya memiliki dua kamar. Aku dan Dija menempati satu kamar. Satu kamar lainnya ditempati orang tua angkat kami bersama anaknya.
Ketika ibu berbalik untuk kembali ke Desa Soamalaha. Saat itulah, jarak tak kasat mata perlahan terbangun antara kami. Air mata menyarukan pandanganku, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain menghapusnya dan berusaha sendiri menguatkan hati.
Ibu berhasil memaksaku untuk menjadi orang baru yang pandai. Bukan oleh pelajaran di sekolah, melainkan menyimpan kesedihan dan kemarahan.
“Sekolah itu penting untuk masa depan.” Kalimat yang senantiasa diulangi ibu, ketika aku mulai bosan sekolah, apalagi saat aku tidak mau pisah dengan ibu. Aku membenci kalimat itu, tapi hanya bisa patuh.