1992-1996
Usiaku baru enam tahun, ketika ayah mengembuskan napas terakhir. Aku belum tahu tentang kehilangan dan aku memang tidak menangis.
Aku mengenal ayah sebagai seorang pekerja keras. Dia pandai membuat kursi, meja, lemari, bahkan rumah.
Aku yang rajin menemaninya saat dia membawa pulang pekerjaan di rumah. Rumah dari hasil kerja keras ayah.
Ayah membeli sepetak tanah dan membangun sendiri rumah itu di Kelurahan S, di Kota Ternate.
Ayah selalu bercerita, dia meninggalkan kampungnya di Tidore dan merantau ke Ternate yang jaraknya tidak begitu jauh, tapi harus melintasi laut. Ayah ingin menghasilkan uang dan menghidupi kami dengan caranya sendiri.
Ayah adalah guru pertamaku, yang mengajari hidup jauh dari keluarga dan bekerja apa pun, untuk bisa tetap hidup. Walau kutahu ayah irit bicara, aku suka sekali bertanya.
Ketika kutanya uang yang sering diberinya berasal dari kayu-kayu itu? Ayah berkata uang itu akan datang pada orang-orang yang bekerja dan tentu saja berdoa.
Kadang, di sela-sela pekerjaannya, dia menyempatkan membuat mainan dari kayu untukku. Hadiah yang selalu membuatku lebih rajin menemani dia bekerja, sekaligus tidak mengganggu.
Aku sangat senang, tiap kali melihat tangan ayah mengukir sebuah kayu. Kadang, aku ingin membantu, tapi ayah melarangku. Katanya, aku masih anak-anak. Ada masanya untuk kerja dan itu harusnya sesuai dengan bakatku.
Entah bakat apa yang kumiliki, aku hanya tahu senang melihat ayah bekerja.
Jika malam sudah datang, waktuku dengan ayah lebih banyak. Kami biasa bermain balok-balok sisa kerja ayah. Bahkan, aku bisa sampai tertidur di pangkuannya.
Tiap kali pekerjaan ayah usai, dia akan memberi kami uang, termasuk ibu. Namun, semua itu terhenti, ketika ayah sakit dan kami harus ikut ayah dan ibu ke Tidore.
Aku hanya tahu, katanya ayah terserang penyakit kuning. Mungkin karena matanya tampak menguning. Jika diperhatikan lebih teliti, warnanya agak kekuningan. Ayah harus berobat tradisional di Tidore.
Tugasku memijat kaki dan tangan ayah yang terus menyusut. Berbeda seperti saat dia berhadapan dengan kayu atau pun bahan bangunan. Lengannya kekar, badannya tinggi dan tegap. Sorot matanya tajam dan kumis tipisnya membingkai wajahnya yang tegas.
Aku tidak tahu, berapa lama kami berada di Tidore, tapi hidup ayah benar-benar berakhir di sebuah kamar, di rumah kakek.
Ketika ayah mengembuskan napas terakhir, aku sedang duduk di depan kamar. Omku yang menemani ujung napas ayah, ke luar kamar dengan agak tergesa, tapi suaranya nyaris seperti bisikan.
“Ka Djaf sudah pergi.” Omku berkata di hadapan kakek dan nenek, serta beberapa orang dewasa yang terdiam setelah mendengar kalimat itu.
Kulihat wajah-wajah murung dan mata sembab dari beberapa orang yang lalu-lalang, termasuk ibu.
Tidak lama, orang-orang berdatangan, ayah dibawa dengan keranda jenazah dan dikubur tidak jauh dari rumah kakek.
Malam setelah kematian ayah, keluarga menggelar pengajian selama tujuh malam. Namun, setiap kali pengajian usai, aku terbangun oleh suara Burung Gagak. Suaranya terdengar sangat dekat dan jelas.
Aku merasa penasaran dengan suara Burung Gagak dan hendak ke luar melihat, sayangnya terlalu gelap. Aku masuk dan menanyakan pada siapa saja orang dewasa yang ada di rumah. Namun, pertanyaanku tidak dijawab. Mereka justru saling menatap.
Aku belum juga menyerah. Ketika kudapati ibu sedang duduk di kamar tempat ayah dirawat, aku mencoba bertanya, setengah memaksa. Sayangnya, ibu hanya memberi jawaban tidak apa-apa dan hanya kebetulan.
Hingga aku mendengar beberapa orang bercerita dalam nada rendah. Katanya, suara Burung Gagak itu pertanda tidak bagus. Namun, kita semua dilarang mengusir apalagi mencari Burung Gagak itu.
Aku kembali tidur dengan membawa semua kisah itu, Kuanggap saja mimpi yang tidak membutuhkan penjelasan.
Setelahnya, aku tidak pernah bertanya lagi tentang ayah, tapi dia selalu menjelma pada kotak pemberiannya.
Beberapa bulan setelah kematian ayah, aku masuk SD di Ternate. Lebih tepatnya aku ingin satu sekolah dengan kakak lelakiku. Namanya Sulaiman, tapi dia sering dipanggil dengan sebutan Eng. Aku menambahkan sebutan Ko, sebutan untuk kakak laki-laki di kampungku.
Katanya, panggilan Eng disematkan sebagai identitas terpendek kakakku itu, lantaran dia selalu menyebutkan bunyi kendaraan berjalan dengan sebutan “ngeng.”
Usia kami terpaut sekitar tiga tahun, tapi dia sosok yang sangat rajin belajar dan juga menjagaku. Dia termasuk siswa yang sering mendapat rangking di sekolah. Berbeda dengan aku. Meski demikian, Ko Eng sering mengajakku belajar.
Kami begitu dekat, layaknya teman yang selalu ke sana-ke mari bersama. Saat jam istirahat, aku akan bertemu Ko Eng dan bermain bersama teman-temannya. Semenjak dia sakit, akulah yang sering menemaninya. Kadang kami bermain di kamar dan dia hanya terbaring lemas di tempat tidur, lalu memanggil “papa.” Aku lalu menceritakan ke ibu, tapi ibu hanya terdiam dengan mata berkaca-kaca.
Tidak lama setelah itu, Ko Eng dibawa ke Tidore. Katanya dia sakit yang nyaris sama dengan ayah. Dia dibawa ke rumah kakek lagi. Aku tidak ikut dan harus tetap sekolah. Namun, beberapa minggu setelah itu, seorang keluarga datang dan meminta izin pada guru. Katanya, aku diminta menghadiri pemakaman kakak lelakiku satu-satunya.
Aku merasa, Tidore seperti tempat khusus untuk menunggu napas terakhir keluarga kami, lalu dikubur di sana.
Begitu menerima kabar, kami langsung ke Tidore. Aku ikut ke pemakaman dan kuburan Ko Eng berampingan dengan ayah.
Dari cerita-cerita yang aku dengar, Ko Eng sering bilang, ketika sakit, dia selalu mimpi ayah datang dan mengajaknya ikut. Beberapa kali setelah menceritakan itu, dia benar-benar ikut menyusul ayah.
“Harus sabar dan kuat.”
“Kasihan, sudah jadi yatim.”
Kalimat-kalimat yang dilontarkan padaku dan juga tiga saudaraku. Entah untuk bersimpati, atau sebaliknya.
Aku kembali teringat soal Burung Gagak di malam setelah kematian ayah. Apakah itu pertanda atau hanya kebetulan. Aku mencoba menunggu, suara Burung Gagak lagi. Namun, hingga beberapa malam setelah kematian Ko Eng, aku tidak terganggu oleh suara burung gagak. Hanya ada suara ombak dari kejauhan dan cicak.
Sejak saat itu, ibulah yang mengasuhku bersama tiga orang saudaraku. Satu kakak dan dua adik kembar yang kesemuanya juga perempuan.
Ibu menjadi satu-satunya pegangan dan juga penunjuk arah kami berempat.
Kehilangan dua lelaki sekaligus dalam hidup ibu, membuat dia tidak punya waktu lama untuk bersedih. Ibu dipaksa oleh kebutuhan sehari-hari dan juga sekolah kami, hingga harus mencari pekerjaan dari yang selama ini hanya bekerja di kebun dan dianggap tidak cukup.
Keadaan itu memaksa ibu mengikuti tes calon guru SD. Kami sering ditinggal dan diasuh Bibi Ina, adik ayah. Bibi Ina terpaksa tinggal bersama kami di Kelurahan S.
Tiga tahun kemudian, hari kenaikan kelasku yang dihadiahi kelulusan ibu sebagai guru SD. Ibu ditempatkan di daerah yang jauh. Desa Soamalaha.
Sebagai seorang guru SD, ibu juga telah menjadi guru kehidupanku. Ibu memang bukanlah orang yang banyak bicara, apalagi berkeluh-kesah.
Aku tinggal bersama ibu dan dua adik kembarku selama tiga tahun di Desa Soamalaha. Sementara, kakaku terpaksa tinggal di Ternate, untuk sekolah di SMP.
Waktu itu, setelah ibu mengurus kepindahanku ke SD di Desa Soamalaha, perjalanan panjang kami dimulai. Kami harus mengarungi laut. Sebuah kapal kayu yang memiliki beberapa tingkat, menjadi pengalaman pertamaku berlayar hingga empat malam.
Begitu tiba di ibu kota kecamatan, kami menyambung perjalanan dengan menggunakan perahu kecil bermesin, tanpa atap.
Kami melintasi beberapa pulau yang tampak pasir putih di pantainya dan air laut berwarna hijau tosca di tepinya. Pengalaman pertamaku melintasi laut luas. Tempat asing dan ombak yang menakutiku dengan adikku.
Demi bisa mengurangi rasa mual dan muntah. Kadang aku menyandarkan kepala di dinding perahu sambil terus bertanya, kapan tiba?
Setelah beberapa jam, kami akhirnya berhenti di sebuah pulau panjang. Tidak ada pelabuhan atau jembatan kecil. Hanya ada tepi pantai berombak tinggi. Sauh telah diturunkan, tapi kami masih harus menunggu komando dari nahkoda.
Kulihat sepanjang pantai itu, tidak satu pun rumah yang tampak. Hanya ada pepohonan kelapa. Pasir pantainya berwarna hitam.
Desa Soamalaha menyambut dengan segala pertanyaan dalam diriku. Dimana orang-orang desa ini? Bisakah aku tinggal lama di sini? Kenapa ibu tidak menolak saat ditugaskan ke tempat ini? Tetiba perahu kami nyaris terbalik dan aku serta kedua adikku berteriak, lalu kami berpelukan. Ibu berusaha mengusap pundak dan kepala kami bergantian.