Roti dan Kopi

Rahmi Djafar
Chapter #3

Silsilah Rasa

1999

Meski sudah masuk SMA, aku tetap tidak bisa tinggal bersama ibu. Aku dititip pada seorang bibi yang juga guru di SMA tersebut di Selatan Ternate. Aku memanggilnya bibi guru dan suaminya yang kupanggil om guru.

Kami tinggal di rumah guru yang berada satu komplek dengan SMA itu. Letak sekolah agak di perbukitan dan banyak pohon jamblang, di sekitarnya banyak kebun orang sekitar. Aku menyukai suasananya.

Aku mulai berkenalan dengan beberapa teman dan suasana belajar yang teduh, membuatku lebih rajin mengikuti pelajaran. Aku selalu mendapat nilai bagus dan selalu dipuji bibi guru. Itulah pujian pertama yang aku dapat, tapi bukan dari ibu.

Saat libur, aku pulang ke rumah di Keluarahan S, meski hanya menemukan omku yang merupakan adik ayah dan keluarga kecilnya yang tinggal sementara di rumah itu. Ibu masih bertugas di Desa Soamalaha bersama kedua adikku.

Aku juga baru tahu, selama ini, ibu sering menjadi bahan cerita di keluarga besar. Katanya, ibu terlalu memaksakan diri untuk menyekolahkan kami berempat. Padahal, gajinya tidak seberapa.

Suatu hari ibu datang ke Ternate dan menjemputku dari rumah bibi guru. Saat tiba di rumah, aku langsung menanyakan pada ibu, alasan selalu meminta kami sekolah. Apalagi, keluarga besar tidak yakin ibu bisa menyekolahkan kami hingga kuliah.

Lagi-lagi, ibu tidak menjawab panjang lebar dan hanya tersenyum dan mengulang kalimat terdahulu, tanpa goyah sedikit pun.

Aku pun akhirnya tahu bahwa gaji ibu tidak cukup seiring bertambahnya jenjang sekolah kami berempat. Belum lagi kebutuhan sehari-hari. Semua itu membawaku pada ingatan tentang mundurnya Soeharto dan cerita tanteku soal harga bahan makanan yang terus naik.

Aku lalu mengusulkan untuk membuat roti lagi. Namun, ibu melarang kami membuatnya. Apalagi, aku hanya tinggal menumpang di rumah keluarga.

“Mama masih sanggup.” Kalimat ibu nyaris sama setiap kami ingin membantu.

Ibu lalu membuka kisah Nenek Umi lagi. Sosok yang menjadi alasan terbesar ibu, untuk tetap menyekolahkan kami. Seperti wasiat yang pantang untuk dilanggar.

“Nenek Umi memang buta huruf, tapi punya tekad besar kasih sekolah mama.” Ibu membuka kisah masa lalunya.

Ibu yang hanya tinggal bersama Nenek Umi itu juga turut menyaksikan dan merasakan kehidupan tanpa seorang ayah. Secara tidak langsung, pikiran ibu terpaksa dewasa sebelum waktunya.

Nenek Umi punya banyak aktivitas. Sebagai perempuan yang ditinggalkan suaminya dan memilih pergi bersama perempuan lain, tidak lantas membuat Nenek Umi patah arah. Dia juga tidak mengabaikan tugas utamanya sebagai ibu. Apalagi berharap tanggung jawab dari kakek untuk menafkahi anaknya, yaitu ibu.

“Jadi perempuan itu harus bisa mandiri.”  Ibu menyisipkan pesan di sela-sela kisah tentang Nenek Umi.

Nenek Umi dulunya bekerja sebagai koki di salah satu penginapan di Ternate. Namun, usia ibu terus bertambah dan harus sekolah. Nenek Umi tidak ingin ibu bernasib seperti dia jika telah menikah nanti. Namun, jika terus ikut bersama Nenek Umi, ibu sudah pasti tidak bisa sekolah. Akhirnya, ibu dititip di keluarga lain.

Di lain waktu, Nenek Umi juga pergi ke Dusun Balu, di Pulau Halmahera. Sebuah pulau panjang yang membentang di depan Ternate. Nenek Umi bersama beberapa keluarga memilih membangun kehidupan di sana.

Hanya ada beberapa rumah di antara pepohonan yang masih rapat. Mereka mulai menggarap tanah tidak bertuan, seluas yang mereka sanggup.

Nenek Umi menanam kelapa, sagu, juga beberapa sayuran. Waktu itu, sebagian besar perempuan tidak sekolah dan memilih mencari uang dengan cara berkebun atau berjualan. Nanti saudara laki-lakinya atau anak lelakinya yang sekolah. Perempuan juga dianggap sebagai orang yang hanya mengurus dapur, makanan, atau kebun.

“Tapi pemikiran Nenek Umi berbeda. Mama harus tetap sekolah,” Ibu menarik napas panjang, sambil menyesap kopi dabe di hadapannya yang sudah dingin. “Waktu itu, di kampung hanya ada tiga orang anak perempuan yang sekolah.” Ibu berkata.

Nenek Umi ingin memutus mata rantai kebutaan pengetahuan pada keturunannya. Dia bukan malu menjadi petani, tapi ingin keturnannya bisa punya pendidikan. Entah untuk bekerja atau hanya menjadi ibu rumah tangga.

Lihat selengkapnya