Roti dan Kopi

Rahmi Djafar
Chapter #4

Gerbang Baru

1999-2004

Laut menjadi penghubung dan jalan baru hidupku. Hidup di tempat asing dan lebih jauh dari ibu. Meski sebenarnya sudah terbiasa dengan kondisi itu, tapi ada rasa gentar yang menelusup.

Perjalanan kapal akan memakan waktu empat malam. Di atas kapal yang sangat besar dan bermandikan cahaya lampu, aku dan kakak mulai menjauh dari dermaga. Orang-orang yang berdiri di dermaga belum juga bubar. Lambaian tangan seolah menegaskan batas antara perpisahan dan pertemuan.

Ibu berada di antara mereka, tapi sejak kapal baru melepas tali, ibu tidak memperlihatkan lambaian tangan.

Aku telah menasbihkan tidak akan menangisi apa pun yang aku tinggalkan di kota ini, termasuk ibu.

Di atas kapal yang melaju dan gunung vulkanik Gamalama semakin mengecil, aku menaburkan segala kesedihan sekaligus menyemai cita-cita. Aku akan membuktikan pada ibu, tentang perpisahan yang ditorehkan di malam itu.

Hubunganku dan kakak terasa kaku, tapi kami selalu mengusahakan bisa sering berkomunikasi dengan baik, sejak dalam perjalanan itu.

Begitu tiba di pelabuhan Makassar, kulihat suasana begitu ramai. Banyak gedung tinggi, jalanan yang luas membuatku seperti masuk dalam dimensi baru. Aku agak tegang dan takut kalau-kalau nanti hilang di kota sebesar itu. Namun, semua sudah terjadi dan aku harus menerima semua yang harus kujalani kelak.

Seorang tante yang kami panggil dengan sebutan Ci Fat, tidak tega melihat kami hidup berdua di kontrakan, meminta kami tinggal bersamanya. Aku dan kakak pindah di rumahnya, yang berada tepat di samping kampus Unhas. Rumah berlantai dua itu dijadikan indekos di bagian depan dan rumah utama berada di bagian belakang.

Ci Fat yang dulu kuliah di Ternate, bertemu calon suaminya ketika lelaki yang kelak kami panggil dengan sebutan abah itu mengunjungi kampus Ci Fat, sebagai dosen tamu.

Pernikahan mereka terjadi tanpa proses pacaran. Hingga akhirnya, Ci Fat harus pindah domisili ke Makassar, mengikuti abah. Mereka kemudian dikarunia tiga orang anak. Ketika aku dan kakak datang, ketiga anaknya sudah kuliah di Bandung.

Sejak saat itu, Ci Fat jarang pulang kampung. Apalagi, kata dia, perempuan sudah seharusnya mengikuti suami, sepanjang diajak ke jalan yang baik. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.

Kakak menjelma ibu, tapi dia lebih banyak mengecek kebutuhanku dan sering mengajakku bercerita. Kadang, aku merasa bersama kakak lebih asyik.

Meski sibuk, kakak tidak lupa mengingatkan untuk belajar dan membaca buku di luar pelajaran sekolah. Ci Fat tahu tentang ketertinggalan pelajaranku, saat terjadi pertikaian di Ternate. Dia pun meminta beberapa mahasiswa yang menyewa indekosnya untuk mengajariku.

Sebenarnya,  aku tidak suka pelajaran matematika dan juga fisika, aku tetap mengikuti saat para mahasiswa itu menyediakan waktu untuk mengajariku. Pikiranku juga masih tertinggal di Ternate, seperti pelajaranku.

Lokasi SMA baruku terletak di Jalan Gunung Bawakaraeng dengan waktu tempuh sekitar satu jam dari rumah Ci Fat.  

Pertama masuk, aku diantar kakak. Aku disambut dengan perkenalan sejenak, lalu masing-masing sibuk belajar atau membaca buku.

Sekolah itu berlantai tiga, bercat abu-abu putih berbentuk U. Di depannya ada lapangan upacara dan di sampingnya terdapat lapangan basket, aula, kantin-kantin dan juga mushallah. Kelasku berada di lantai 2.

Teman-teman baruku begitu lancar mengerjakan soal, atau langsung menjawab pertanyaan dari guru.

Aku merasa terasing di tengah keramaian. Pikiranku berputar-putar untuk bisa terbebas dari ketertinggalan. Ketika tahu sekolah mengadakan les tambahan dan harus pulang sore, aku langsung ikut. Sepulang dari itu, aku meminta kakak memasukkanku ke tempat les tambahan.

Kakak makin bersemangat dengan kegiatanku, dia mulai jarang memerhatikan sekolahku. Hingga di suatu hari, dia mendapatiku nonton teve. Padahal, aku baru saja menyelesaikan tugas sekolah dan belajar.

Tanpa bertanya, kakak langsung marah dan menyuruhku berhenti sekolah. Sekali lagi, aku nekat dan tidak lagi ke sekolah hingga beberapa hari. Kakak dipanggil ke sekolah, setelah menerima surat panggilan.

Aku hanya tidak ingin selalu diatur-atur. Bagiku, jalan yang sudah kupilih bukanlah jalan yang bisa membahayakan atau mempermalukan keluarga. Aku ingin semua orang bisa memahamiku yang sejak kecil jarang sekali kumpul bersama keluarga inti.

Sejak saat itu, kakak hanya berkata, kalau pun tidak ingin mendengarnya, setidaknya ingat pesan dan pengorbanan ibu. Aku tidak mengiyakan atau menolak permintaan itu.

Di suatu minggu pagi, saat masih menikmati kasur dan bantal, hidungku mencium aroma roti. Dalam situasi disorientasi itu, aku seperti melihat ibu di samping. Mendengar suara dan melihat senyumnya, lalu tidak lama ibu semakin menjauh, hingga membentuk titik.

Pintu kamarku diketuk. Suara Ci Fat dari luar memamanggilku untuk sarapan. Dia baru saja membuat roti cokelat.

Aku bersemangat dan langsung ke luar kamar, berharap ada juga kopi dabe di rumah itu. Sayangnya, hanya ada kopi biasa. Namun, aku coba-coba menanyakan tentang kopi itu, ternyata Ci Fat bisa membuatnya.

Roti itu bukan sekadar mengurangi rasa lapar atau mengenakkan tenggorokan. Begitu juga dengan kopi. Dia  bukan sekadar menghilangkan dahaga, tapi jauh dari semua itu, ada yang selalu merekah dalam hati tanpa bisa aku jelaskan..

Itulah pertama kali aku menyadari, aku menyukai kopi bercampur rempah dan roti. Kedua aroma itu pun membawaku pada satu kesadaran. Sudah lama tidak berbicara dengan ibu lewat telepon. Bahkan, ketika ibu menelepon ke rumah Ci Fat karena jarang ada di rumah saat siang. Namun, sebenarnya aku memang menghindar untuk berbicara dengan ibu.

Saat mendengar suara ibu, perasaanku selalu kacau, tapi tidak kumengerti apa yang sebenarnya kurasakan. Rindu atau atau marah?

Aku juga memerhatikan kehidupan kakak sebagai mahasiswa. Dia tampak sibuk masuk kuliah, mengerjakan tugas dosen, lalu kadang pergi memanjat tebing, mendaki gunung, atau bahkan latihan pencarian dan pertolongan dari atas helikopter. Ternyata dia bergabung di organisasi pencarian dan penyelamatan di Unhas.

Seiring waktu, kakak makin sibuk, meminta izin pada Ci Fat untuk pindah ke kontrakan bersama temannya. Kami bertiga tinggal di daerah utara Makassar.

Rumah kontrakan itu hanya punya satu kamar, ruang tamu, dapur, dan satu kamar mandi yang berhadapan dengan kamar. Di belakangnya, sawah yang masih hijau menghampar dan tiang-tiang listrik yang bertebaran di antara persawahan.

Aku mengira, di kota besar seperti Makassar, tidak akan menemukan pemandangan demikian.

Suatu ketika, hujan mulai turun dengan intensitas sedang, lalu masuk musim hujan. Saat itulah, untuk pertama kalinya aku merasakan banjir.

Air masuk ke dalam rumah kontrakan. Kami sibuk menaruh barang-barang ke tempat yang lebih tinggi. Beberapa buku tidak bisa diselamatkan. Bahkan, aksesku ke sekolah, terganggu.

Aku harus berjalan beberapa meter ke jalan utama komplek. Tangan kiriku memegang payung dan kantong plastik berisi sepatu. Tangan kanan mengangkat rok panjangku hingga lutut. Baru ketika mendapatkan angkutan, aku mulai memasang sepatu dan memasukkan sandal jepit ke dalam kantong plastik.

Aku dan beberapa teman lainnya sampai di sekolah, ketika pukul sembilan. Namun, semua itu dimaklumi guru. Sepertinya, kejadian itu sudah berulangkali terjadi saat musim hujan. Meski bajuku sebagian basah, tapi harus tetap mengikuti pelajaran.

Saat pulang sekolah, angkutan kota yang aku tumpangi harus menurunkan jauh dari komplek perumahan, lantaran air terlalu tinggi dan tidak bisa diseberangi kendaraan. Air akan masuk ke dalam mesin mobil, jika dipaksakan.

Aku dan orang-orang terpaksa turun dan menyeberangi banjir. Saat itulah, aku kembali teringat kejadian melintasi sungai saat pulang dari kebun di Desa Libu.

Banjir itu begitu deras, hingga kakiku beberapa kali terseret ke tepi. Beruntung, aku bisa tiba di rumah dengan selamat, meski menempuh jarak dan waktu yang jauh dan lama.

Semua kejadian itu kuceritakan pada kakak. Katanya, banjir di sekitar kontrakan dan beberapa titik di Makassar, memang sering terjadi. Namun, dia tidak punya pilihan lain, karena kontrakan di daerah banjir jauh lebih murah.

Aku semakin penasaran, apa sebenarnya yang membuat Makassar selalu diterjang banjir?

“Kalau mau tahu penyebabnya, harus belajar.”

Kakak berkata ketika aku menanyakan perihal banjir yang selalu datang itu.

Diam-diam, aku juga penasaran pada apa dikerjakan kakak selama kuliah. Aku bercita-cita akan seperti dia, ketika mahasiswa nanti.

Kutampung semua keinginanku untuk bisa menjadi seperti kakak. Aku bertekad untuk bisa masuk di SAR seperti dia dan mulai mengambil kursus persiapan tes masuk kuliah di kampus negeri. Semua itu karena ingin masuk pada organisasi yang sama dengan kakak.

Seiring berjalannya waktu, aku lulus SMA. Namun, saat mengikuti tes masuk Unhas, aku gagal. Pikiranku sempat kacau. Jika aku tidak kuliah, bisa saja dipanggil pulang dan kuliah di Ternate, sementara aku sudah bertekad bisa menyamai kakak saat mahasiswa nanti.

Benar saja, aku dipanggil pulang ke Ternate, tapi aku menolak dan memberi alasan akan kursus. Perasaanku sudah berubah dari yang dulu tidak ingin berpisah dari ibu, tapi semua itu bukan salahku. Ibulah yang mengajariku berbuat demikian.

Tahu kakak sudah selesai kuliah dan akan pulang, Ci Fat memintaku kembali tinggal bersamanya lagi. Dia khawatir jika aku di indekos, tidak ada yang bisa melihat atau menasehatiku ketika salah.

Ci Fat juga mulai membuka warung makan. Dia yang memasak dan mengelolah warung itu. Jika aku tidak ke mana-mana, akulah yang menjual dan mencuci piring.

Meski aku tidak digaji, tapi setidaknya selama di warung, aku jarang meminta uang pada ibu, apalagi sekadar untuk makan dan membayar indekos.

Hingga masa penerimaan mahasiswa baru kembali dibuka, tapi rasa trauma gagal masuk Unhas membuatku ikut tes di kampus suasta dan lulus pada pilihan fakultas sastra dan bahasa. Meski demikian, aku sebenarnya tidak punya tujuan dengan pilihan itu.

***

Hanya sakit ibu yang membuatku bersedia pulang kampung. Tepatnya setelah empat tahun  aku tinggal di Makassar. Ditambah lagi, aku sudah kuliah dan baru saja libur semester.

Saat pramugari menginformasikan pesawat sebentar lagi akan mendarat, hatiku terasa bergetar. Bukan oleh rindu atau bahagia. Aku justru mengkhawatirkan sesuatu yang tidak kutahu penyebabnya.

Kawah Gunung Gamalama menganga di bawah, Danau Tolire berwarna hijau toska juga menyambut di bawah sana. Bagaimana rupaku saat bertemu ibu nanti? Apakah ibu akan memelukku, lalu menangis sambil mengatakan rindu atau sayangnya padaku?

Pertanyaan-pertanyaan itu berekelabat dalam benak, hingga pesawat mendarat dan aku bergegas menemui kakak di pintu kedatangan.

Hanya lima belas menit dari bandara, kami akhirnya tiba di sebuah rumah sederhana yang tampak menutup diri. Aku sempat gentar, ketika akan melangkah masuk. Baru ketika kakak menarik tanganku, aku berjalan ragu.

Di kamar, ibu sedang terbaring lemas. Aku mendekat, mengambil tangannya dan meletakkan ke hidungku. Ibu membuka mata dan menatap sayu.

“Istirahat dulu.” Ibu mengeluarkan kata-kata yang tidak aku harapkan.

Aku hanya mengangguk pelan dan meletakkan barang-barang di kamarku.

Kata kakak, ibu sakit di bagian dada, tapi tidak ingin pergi ke rumah sakit untuk periksa. Aku seketika teringat saat masih di Desa Soamalaha, ketika kami sedang membakar roti.

“Jangan-jangan jantung ibu bermasalah?” aku menerka sendiri, sekaligus takut.

Dua adikku masih di asrama pesantren. Ibu yang melarang memberitahukan kodisinya ke mereka. Bagi ibu, mereka akan lebih banyak menangis jika melihat kondisi ibu.

Aku dan kakak bergantian menyiapkan makan untuk ibu. Saat itulah satu-satunya momen yang membuatku merasa dekat lagi dengan ibu. Bukan oleh jarak, tapi perasaan.

“Mama sudah pindah mengajar di Balu,” Ibu memberitahukan saat aku sedang duduk di samping tempat tidurnya. “Tinggal di rumah Nenek Umi.” Ibu melanjutkan sambil berusaha bangkit dari ranjang.

Aku bergegas membantu ibu yang duduk di tepi ranjang. Matanya tampak sayu dan cekung. Tulang-tulang pipinya makin menonjol. Aku masih menunggu kata-kata yang bisa membuatku bahagia, tapi tidak ada.

“Bagaimana, sudah berhasil?” pertanyaan ibu seketika membungkamku.

Bukankah ibu tahu aku baru saja kuliah? Keberhasilan seperti apa yang dimaksud? Pertanyaan itu tidak keluar dan hanya berkelindan dalam benakku.

“Belum, ma.” Akhirnya, jawaban demikian yang ke laur dari mulutku.

Hari-hariku lebih banyak di rumah. Sementara kakak sudah bekerja sebagai wartawan.  

Seminggu setelah kepulanganku, ibu tampak sehat dan sudah bisa beraktivitas lagi. Namun, ibu rindu dengan suasana kebun di Dusun Balu. Hanya aku yang bisa menemani ibu ke sana.

Butuh waktu satu jam setengah dengan speed boat untuk tiba di Balu. Wajahnya telah banyak berubah. Rumah-rumah sudah makin banyak dan sudah ada listrik.

Keesokan pagi, aku dan ibu membawa bibit pala dan cengkih ke kebun. Katanya, itu akan bisa menjadi warisan yang bisa kami lihat nanti. Aku hanya mengikuti dengan malas. Selama ini, aku tidak berpengalaman berkebun.

Meski sebenarnya, ibu pun tidak yakin semua yang ditanam itu bisa terawatt atau tidak, sebab hidup kami yang terpisah-pisah.

Ibu hanya tahu, sejak dulu, dia sangat ingin punya kebun pala dan cengkih. Namun, ketika tahun 1992, ibu mendengar dari radio tentang aturan pemerintah yang mewajibkan cengkih dijual hanya melalui koperasi yang dibentuk pemerintah. Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh. Aturan yang membuat petani cengkeh merasa semakin tercekik dan ibu tidak ingin menjadi bagian dari semua itu, Ibu lebih memilih menjual roti dan mengajar.

Ibu akhirnya hanya bisa menikmati aroma cengkih dan pala lewat Kopi Dabe.

Ketika tiba di kebun, aku lihat ada kelapa, sagu, langsat, jati putih, kayu manis dan beberapa tanaman sayuran lainnya.

Kuhirup udara segar bercampur aroma asitri dan biji pala yang jatuh. Suara aliran sungai yang memukul bebeatuan, gesekan reranting, membuatku bisa bertahan lama berada di kebun itu.

“Perempuan itu harus sekolah.” Bahkan, saat di tengah kebun, ibu kembali mengingatkan, seolah aku sudah mengalami demensia.

Meski mengiyakan kalimat ibu, tapi bagiku ibu tidak pernah mencoba masuk ke dalam kondisi batinku. Apa yang aku rindu dan inginkan.

Lagi-lagi, aku kembali mengokohkan diri yang menyusut, saat mengingat kenyataan hubunganku dengan ibu.

Kini ibu tidak lagi membuat roti dan beralih ke merawat kebun peninggalan Nenek Umi dan ayah. Ibu menyewa kelompok petani untuk mengelolah dan hasil dari kebun itu akan dibagi.

Meski sesekali ibu berjalan kepayahan sambil mengusap keringat, tidak sekalipun ibu berkata untuk berhenti mengurus kebun lagi. Padahal, kakak juga sudah bekerja dan bisa membantu biaya sekolah kami.

Waktu sudah membuat kulit ibu mengeriput. Tumitnya sudah mulai pecah-pecah, ada urat yang mulai timbul di betisnya. Namun ibu masih kuat memakai soloi dengan beban kayu kering, kelapa, dan sayur-sayuran, saat kami beranjak pulang.

***

Lihat selengkapnya