Untuk kesekian kalinya, aku harus berpisah dengan satu-satunya keluarga yang tersisa di Makassar.
Ci Fat harus pindah ke Bandung mengikuti anak-anaknya, setelah abah meninggal dunia beberapa bulan lalu.
Kepergian Ci Fat justru meninggalkan tanggung jawab baru padaku. Aku diminta mengurus indekos, mulai dari laporan jika ada kamar yang rusak hingga persoalan penagihan. Setiap uang yang masuk akan aku transfer ke rekening Ci Fat. Namun, semua itu hanya berlangsung setahun.
Aku mulai kewalahan mengurus perkuliahan dan berbagai aktivitas tambahan, juga indekos. Aku akhirnya pindah ke kontrakan di dekat dengan kampus.
Aku tinggal bersama seorang teman dan hanya sesekali ke indekos Ci Fat untuk menagih.
Sehari setelah wisuda, aku dan Novi membuat janji pertemuan, sekaligus mempertemukan kedua ibu kami yang memang bersahabat sejak sama-sama mengajar di SD Soamalaha.
Aku dan ibu datang ke indekos Novi, lalu kami menyiapkan masakan khas Ternate. Ada Sayur Garo yang terbuat dari daun ubi kayu dicampur jantung pisang yang ditumis hingga kering, popeda yang terbuat dari sagu, serta ikan kuah kuning. Perayaan yang membawa kami melintasi ingatan tentang kampung halaman.
Sambil menyiapkan bahan masakan, aku dan Novi terlibat pembicaraan serius. Novi memang tidak dipaksa pulang.
“Kau mau kerja apa di sini?” tatapan Novi menyelidik.
“Wartawan.” Aku menjawab.
“Pilihan dan keputusan di tanganmu. Jalani saja yang kau suka.” Kalimat Novi menyadarkanku dari lamunan.
Kami berdua kembali sibuk dengan masakan yang harus segera tersaji.