Roti dan Kopi

Rahmi Djafar
Chapter #6

Menjajaki Rasa

Aku mulai menyusun hidup baru, meski sebenarnya was-was tanpa keluarga lagi. Makassar menjadi kota harapan, sekaligus pertaruhan bagiku.

Di sinilah, kota yang aku pilih untuk menjadi orang sukses, seperti keinginan ibu, bagaimanapun caranya. Aku harus bertaruh untuk tetap bisa bertahan hidup, sekaligus menaklukkan segala ketakutanku dan keraguan.

Dua hari setelah pembicaraan dengan Novi, lamaranku untuk jadi wartawan ternyata diterima. Aku dan beberapa orang teman dari UKM Pers dipanggil untuk wawancara pada sebuah koran nasional yang baru masuk Makassar. Koran Seputar Nusantara yang disingkat Sinus.

Kata orang-orang, menjadi wartawan sebenarnya profesi ketika tidak ada lagi pekerjaan yang bisa menerima kita, tapi tidak demikian bagiku. Sejak mengenali dunia jurnalis di kampus, aku merasa menulis berita membangkitkan semangat hidupku.

Jika waktu kecil aku pernah bercita-cita sebagai guru karena melihat ibu, begitu mahasiswa, semua itu berubah.

Usai wawancara singkat, kami diberi jadwal pelatihan jurnalistik dasar. Meski semua itu berjalan lancar, aku tetap saja merasa was-was.

Dua hari setelah itu, kami pun dikumpulkan di ruang rapat redaksi kantor mengikuti pelatihan.

“Jadi wartawan itu punya banyak godaan. Kita bisa jadi malaikat atau iblis. Pilihan ada di tangan kita.”

Ternyata, pekerjaan yang paling aku inginkan itu, punya tanggung jawab yang berat.

“Kalau mau jadi malaikat, kerjalah sesuai kode etik, tanpa kepentingan apalagi sampai terima suap.” Dia melanjutkan.

Aku dilema. Apakah bisa menghadapi godaan itu atau tidak? Apalagi, kata senior itu, wartawan punya akses yang cukup bagus baik ke kalangan biasa hingga pejabat.

Sepulang dari pelatihan itu, aku langsung menghubungi Nindya. Kami janji bertemu di rumahnya dan aku langsung ke sana.

Sekali lagi, aku katakana padanya tidak berani melanjutkan pekerjaan itu. Namun, Nindya bergegas menahan.

“Semua pekerjaan ada godaannya, tinggal kita saja. Kau sudah ditempa oleh pengalaman di sekretariatm berarti kau tahu mana yang harus kau jalani.” Nindya menguatkan niatku.

Sejak saat itu, menulis bukan lagi sekadar pekerjaan atau mengugurkan kewajiban sebagai seorang wartawan. Aku punya semacam beban yang justru aku cintai.

***

Dengan agak gugup, aku menerima tugas pertamaku di Pangkep. Letaknya dua jam dari Makassar.

Meski kami disebar di beberapa daerah di Sulsel, tapi kami selalu diberi kesempatan bertemu dalam rapat rutin di kantor biro Makassar. Ternyata, aku belum terlalu mahir menulis berita dan sering kali harus mendapat pelatihan tambahan untuk mempertajam penulisan beritaku.

Seorang teman kantor, Erna, mendekatiku saat aku mulai kelelahan memutar otak di depan komputer. Ternyata, dia sudah punya pengalaman satu tahun di koran sebelumnya. Dia begitu sabar membimbingku.

Dari situ, kami mulai akrab dan tiap kali ada kesempatan bertemu di kantor, kami akan lebih banyak bercerita tentang hal-hal di luar pekerjaan.

Bagi Erna, pekerjaan menulis itu sudah terlalu berat dan tidak perlu dibawa-bawa saat lagi santai.

Aku akhirnya tahu, Erna sudah lama mengurus ibunya yang sedang sakit strok. Kadang dia ganti-gantian dengan kakak atau adiknya. Bapakanya sudah meninggal dunia sejak dia masih SD.

Setiap libur tiba, Erna mengajakku ke rumahnya dan memperkenalkan aku dengan ibunya. Bagi dia, itu bisa mengobati kerinduanku pada ibuku.

Aku melihat ada ketegaran yang dipaksa terbangun dalam diri Erna, ketika ada di hadapan ibunya. Erna seperti orang yang berbeda saat di luar rumah.

Kedekatan di antara mereka begitu lekat. Berbeda denganku. Namun, aku tidak pernah menceritakan perihal ibuku atau pun keluargaku. Dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan merawat ibunya.

Kurasakan ada getaran dalam hati yang mendesak air mataku untuk keluar. Aku berusaha menahan dan mengalihkan pada kopi. Sebelum minum, aku selalu menghidu aromanya beberapa detik.

Aku mulai merasa Erna seperti sosok seorang kakak. Hingga ingin datang ke rumahnya dan berkenalan dengan ibunya. Bebebrapa hari kemudian, aku mulai menginap di rumahnya. Kusaksikan kegigihan Erna memandikan ibunya yang terduduk di kursi roda, memakaikan baju, menyisir rambut, lalu membawa perempuan paruh baya itu duduk di teras rumah atau di depan teve.

Sementara, ibuku, meski tidak sakit, tapi kami begitu berjarak. Andai saja aku bisa sedekat itu dengan ibuku. Kenyataannya, aku hanya bisa menghitung waktu kebersamaan dengan ibu terpotong di saat aku sedang butuh-butuhnya kasih sayang dan perhatiannya.

“Orang tua itu pegangan terbaik kita, apalagi kalau mereka masih hidup.” Erna berkata, setelah membaringkan ibunya di ranjang.

Malam itu, kami larut dalam percakapan tentang kehangatan keluarga. Kami menonton berita di teve dan menikmati kopi. Erna selalu membanggakan ibunya. Bagi dia, tanpa ibu dia tidak akan bisa seperti saat ini.

Setiap kali dia merasa hidupnya berat, nasehat-nasehat ibu akan hadir menjadi pegangan kokoh yang menegakkan langkahnya lagi. Meski saat terserang stroke ibunya tidak bisa lagi berbicara, tapi Erna tahu dia akan selalu punya kekuatan saat sedang menghadapi ujian hidup.

“Kalau rindu sama ibumu, datanglah ke sini, kalau belum ada waktu pulkam.”

Kalimat Erna membuatku tersedak terkesiap.

Ibu Erna memang stroke, tapi suara hatinya mampu menembus sesuatu dalam diriku. Aku seringkali ingin menangis, sekaligus teduh ketika berhadapan dengannya.

Ketika Erna sedang menyiapkan makanan untuk ibunya, aku memilih duduk di samping kursi roda. Aku memijat pelan kaki dan tangannya. Ingin rasanya bercerita, tapi kata-kataku tidak sanggup ke luar, justru berganti air mata.

Apakah aku bisa sedekat ini dengan ibuku suatu saat? Atau kami bisa bercengkerama layaknya anak dan ibu? pertanyaan itu berkelabat dalam benakku.

***

Beberapa hari di rumah Erna, aku kembali ke kontrakan. Ternyata, tidak tinggal di tempat tugas adalah sebuah pelanggaran. Semua itu baru kutahu dari surat peringatan di tanganku. Meski demikian, aku masih diberi kesempatan dengan dipindahkan ke Kabupaten yang lebih jauh dari Makassar. Sinjai.

Aku sempat gentar dan hendak mundur dari koran itu. Bagaimana mungkin aku bekerja di tempat yang sama sekali asing dan tidak seorang pun yang aku kenal di sana. Ditambah lagi, aku tidak tahu jalan ke sana.

Aku kembali ke sekretariat UKM Pers. Tentu saja, aku tidak bertemu lagi dengan Nindya, Novi, dan Rama. Mereka masing-masing sudah bekerja di luar Makassar.

Ketika aku sedang termenung di halaman UKM Pers, ternyata Adi yang sedari tadi di dalam sekretariat memerhatikanku.

“Kalau punya masalah cerita, siapa tahu bisa dibantu.” Suaara Adi menyentakku.

Aku langsung menceritakan semua yang membuatku gamang. Bahkan aku berencana mundur sebagai wartawan.

“Masa nyali wartawan juga mantan demontran sekecil itu?”

Aku tidak tahu apakah itu sebuah ejekan atau justru penyemangat. Aku menanggapi dengan anggukan, bukan karena mengerti, tapi justru bingung.

“Coba dulu. Masa belum apa-apa sudah mundur.”

Adi berjanji akan mengantarku, karena masih banyak keluarganya yang tinggal di Sinjai.

Meski sudah dijanji, aku tetap masih butuh pegangan. Aku menelepon Erna dan menceritakan kegundahanku. “Kalau kau mundur sebelum berusaha, berarti kalah.” Erna menasehati.

Seminggu setelah pembicaraan itu, Adi benar-benar menepati janjinya. Kami berboncengan motor ke Sinjai sekitar lima jam, melintasi perbukitan dengan jurang hampir di sepanjang jalan. Sungguh, aku sama sekali tidak pernah melintasi jalan yang penuh tikungan seperti ulang yang sedang meliuk-liuk.

Mataku awas memerhatikan jalanan, agar kelak bisa sering kembali ke Makassar.

Begitu tiba, Adi langsung memperkenalkanku pada keluarganya dan meminta mereka membantuku jika ada keperluan. Temanku itu baru kembali ke Makassa setelah memastikan aku sudah menemukan kontrakan.

Tempat asing itu harus aku taklukkan dalam tiga bulan. Setidaknya, itulah janji atasanku.

Hari-hari aku lalui dengan perasaan berat. Aku mendatangi satu kantor ke kantor lainnya, mencari teman baru dan juga memperkenalkan diri pada narasumber, menghafal jalan-jalan dan bertanya sana-sini tentang alamat-alamat, hingga kembali pada kebiasaan mencari warung kopi atau kafe.

Meski otakku sudah sumpek menghadapi berita, aku bisa kembali konsentrasi jika ada roti dan kopi di samping.

Sebuah warung kopi di samping kantor pengadilan negeri, menjadi awal perjalananku menyesap rasa pahit yang pas di lidah.

Kuhidu lagi aroma kopi dan lagi-lagi aku dibawa ke masa lalu, seperti tengah memutar rekaman video dalam otak. Tentang ibu, tentang masa kecil di desa terpencil, dan perpisahan dengan keluarga hingga aku tiba di perjalanan sejauh ini. Perjalanan yang tidak pernah aku duga dan rencanakan.

Kusesap kopi yang masih mengepulkan uap lemah. Aku lalu memesan roti cokelat, sambil mengetik berita di laptop yang baru kucicil beberapa bulan lalu.

Di Warkop memang selalu ada cerita-cerita tersaji. Bahkan ada yang jadi bahan berita dan aku menikmati semua itu. Orang-orang yang datang juga dari berbagai kalangan, seolah hanya kopi yang bisa membuat cerita mereka semakin panjang dan dalam.

Secara tidak sengaja aku juga bertemu dengan beberapa teman wartawan. Sainal dan Akbar yang sudah lama bertugas di Sinjai. Sainal selalu bercerita tentang lingkungan dan Akbar lebih banyak berbicara soal kebijakan pemerintah.

Awal-awalnya, aku hanya mendengarkan cerita mereka yang seperti dongeng seribu satu malam, setiap pertemuan di warkop itu. Lama-kelamaan, aku bisa menikmati.

Pagi itu, aku memang sengaja datang lebih awal ke warkop. Aku memesan Americano dan duduk di dekat pintu masuk, tidak lama Sainal datang dan bergabung.

Beberapa hari ini, orang-orang sedang sibuk di Lembanna, kaki Gunung Bawakaraeng. Kabar tentang tiga orang yang mendaki Gunung Bawakaraeng, meninggal dunia menjadi cerita yang lebih hangat dari pada kopi di hadapan kami.

Ada yang bilang mereka melakukan ritual, selepas perayaan 17 Agustus di puncak, lalu terjadi cuaca buruk yang akhirnya menghambat proses evakuasi selama beberapa hari.

“Cuaca di alam bebas memang sulit diprediksi. Persiapan kea lam bebas memang harus benar-benar matang dan juga jangan lupa berdoa.” Sainal membuka percakapan.

Aku tidak banyak menanggapi, karena memang tidak punya pengalaman mendaki gunung. Kubiarkan Sainal terus bercerita dan tampaknya dia memang menikmati pembicaraan satu arah itu.

Sainal juga bilang tentang Bawakaraeng yang berarti mulut Tuhan. Sehingga informasi tentang ritual-ritual yang diadakan ketiga korban itu bisa saja benar. Bahkan ada juga yang percaya di tempat sana bisa berhaji. Bagi Sainal, hal yang terpenting dari semua itu adalah keseimbangan alam bisa menjaga alam tetap lestari, terutama menghindari banjir.

Saat Sainal baru hendak melanjutkan kalimatnya, Akbar muncul dengan tergesa-gesa. Kopiku dan Sinal baru saja tiba. Namun, Akbar tidak berniat memesan sesuatu.

“Kemungkinan evakuasi akan dilakukan dari jalur Tasosso, Sinjai Barat.” Akbar berkata tanpa basa-basi, apalagi duduk.

“Jadi mau ikut?” Sainal memotong.

Aku dan Akbar langsung menyetujui, tanpa berpikir lagi kopi yang belum sempat kuminum.

“Tapi belum sekarang. Kita harus tunggu tim yang akan ke sana dulu.”

Kami bertiga duduk berhadapan dan terdiam beberapa saat. Akbar yang lebih berpengalaman mendaki gunung melanjutkan ceritanya. Pos dua Sinjai setara dengan Pos 5 jalur Lembanna, Gowa. Sehingga, kemungkinan besar mengambil jalur Sinjai Barat sangat besar.

Seperti mendapat ide, tanpa menunggu keputusan tim SAR, kami lebih dulu bergegas ke jalur Tasosso, Sinjai Barat. Aku memberitahukan ke redaktur tentang kondisi signal yang tidak memadai di sana dan akan hilang kontak selama proses evakuasi.

Aku dan Sainal berboncengan, sementara Akbar memanggil temannya untuk menemani.

Meski tidak punya pengalaman mendaki, aku nekat dan berniat akan naik ke Gunung Bawakaraeng.

Sekitar dua jam, kami pun tiba di sana. Sudah tampak beberapa orang berseragam oranye dengan handy talky sambil berjalan ke sana-ke mari.

“Di sini sangat terkenal dengan Kopi Arabika. Kalau mau nanti kita bisa beli.” Sainal langsung menyampaikan.

Aku mulai merasa senang dengan hal itu. Seketika aroma kopi bertebaran dalam pikiranku. Beberapa jam kami masih menunggu dan Sainal memutuskan untuk membawaku ke sebuah rumah, yang tidak jauh dari situ.

Hanya berjalan kaki beberapa meter, kami pun tiba di sebuah rumah berhalaman luas yang penuh dengan bunga dan pepohonan.

Baru menginjakkan kaki di halamannya, aroma kopi sudah menguar. Aku terserap ke dalamnya dan mengingat kopi dabe. Rempah-rempah itu aku tahu tidak akan kudapatkan di situ.

Kami melihat-lihat sejenak biji kopi yang sudah berwarna hitam itu di beberapa karung. Beberapa orang masih memilah-milah biji kopi, katanya akan dikirim ka pemesan di Makassar.

Karena kedatangan itu untuk meliput, aku harus menabung keinginan untuk berurusan lebih dalam dengan biji Kopi Arabika itu, tapi aku bergegas membeli biji kopi yang masih utuh.

Aku dan Sainal bergegas kembali, ketika melihat beberapa mobil datang dengan menurunkan orang-orang berseragam oranye makin banyak.

Mereka membentuk lingkaran dan bergegas naik ke salur di depan kami. Salah satu yang tampaknya sebagai pimpinan tim, memberikan informasi dan mengajak bagi yang sanggup mendaki bisa ikut.

Akbar menyarankan kami untuk menunggu di jalur pendakian, agar saat tim bergerak naik, kami bisa langsung ikut.

Halimun turun membuat pandangan agak terbatas.

Aku mengikuti tim ke tiga, yang berjalan tidak begitu cepat. Aku bahkan beberapa kali nyarus jatuh, karena jalan licin dan banyak pepohonan juga rerumputan di sepanjang jalan.

Lihat selengkapnya