Aku mulai menyusun hidup baru, meski sebenarnya was-was tanpa keluarga lagi. Makassar menjadi kota harapan, sekaligus pertaruhan bagiku. Pertaruhan antara rasa was-was, sekaligus mencari pengakuan dari ibu. Aku harus sukses di mata ibu. Barangkali, hal itulah yang akan membuat ibu mengaku dan menganggapku layak berada di sisinya.
Dua hari setelah pembicaraan dengan Novi, lamaranku untuk jadi wartawan ternyata diterima. Aku dan beberapa orang teman dari UKM pers dipanggil untuk wawancara di sebuah koran nasional yang baru masuk Makassar. Koran Sinar Nusantara yang disingkat Sinus.
Kata orang-orang, menjadi wartawan sebenarnya profesi ketika tidak ada lagi pekerjaan, tapi tidak demikian bagiku. Sejak mengenali dunia jurnalis di kampus, aku merasa menulis berita membangkitkan semangat hidupku.
Jika waktu kecil aku pernah bercita-cita sebagai guru karena melihat ibu, begitu mahasiswa, semua itu berubah.
Usai wawancara singkat, kami diberi jadwal pelatihan jurnalistik dasar. Meski semua itu berjalan lancar, aku tetap saja merasa was-was.
Dua hari setelah itu, kami pun dikumpulkan di ruang rapat redaksi Kantor Sinus mengikuti pelatihan.
Layaknya pertemuan dengan orang-orang baru, kami berkenalan sekadarnya. Perkenalan yang akhirnya kutahu, rerata semua teman-teman baruku itu sudah punya pengalaman kerja. Ada yang satu tahun, ada yang beberapa bulan, kecuali aku dan dua temanku.
Semu aitu membuatku lebih banyak diam dan menyimak. Hingga seorang senior, yang kelak kutahu namanya Agus, masuk ruangan dan mulai memberikan materi.
“Jadi wartawan itu punya banyak godaan. Kita bisa jadi malaikat atau iblis. Pilihan ada di tangan kita.” Agus berkata setelah menjelaskan beberapa tekhnik penulisan berita.
Kalimat itu membuat nyaliku menyusut.
“Kalau mau jadi malaikat, kerjalah sesuai kode etik, tanpa kepentingan apalagi sampai terima suap.” Dia melanjutkan.
Aku dilema. Apakah bisa menghadapi godaan itu atau tidak? Apalagi, kata Agus wartawan punya akses yang cukup bagus baik ke kalangan biasa hingga pejabat.
Sepulang dari pelatihan itu, aku langsung menghubungi Nindya. Dia memintaku langsung ke sana.
Sekali lagi, aku katakan padanya tentang segala kekhawatiranku. Namun, Nindya bergegas menahan.
“Semua pekerjaan ada godaannya, tinggal kita saja. Kau sudah ditempa oleh pengalaman di sekretariat, berarti kau tahu mana yang harus kau jalani.” Nindya menguatkan niatku.
Sejak saat itu, menulis bukan lagi sekadar pekerjaan atau mengugurkan kewajiban sebagai seorang wartawan. Aku punya semacam beban yang justru aku cintai.
***
Dengan agak gugup, aku menerima tugas pertamaku di Pangkep. Letaknya dua jam dari Makassar.
Meski para wartawan Senus disebar di beberapa daerah di Sulsel, tapi kami selalu diberi kesempatan bertemu dalam rapat rutin di kantor biro Makassar. Ternyata, aku belum terlalu mahir menulis berita dan sering kali harus mendapat pelatihan tambahan untuk mempertajam penulisan beritaku.
Seorang teman kantor, Erna, mendekatiku saat aku mulai kelelahan memutar otak di depan komputer. Ternyata, dia sudah punya pengalaman satu tahun di koran sebelumnya. Dia begitu sabar membimbingku.
Dari situ, kami mulai akrab dan tiap kali ada kesempatan bertemu di kantor, kami akan lebih banyak bercerita tentang hal-hal di luar pekerjaan.
Bagi Erna, pekerjaan menulis itu sudah terlalu berat dan tidak perlu dibawa-bawa saat lagi santai.
Pertemananku dengan Erna semakin akrab dan aku baru tahu, dia sudah lama mengurus ibunya yang sakit strok. Kadang dia ganti-gantian dengan kakak atau adiknya. Bapakanya sudah meninggal dunia sejak dia masih SD.
Aku mulai merasa Erna seperti sosok seorang kakak. Hingga ingin datang ke rumahnya dan berkenalan dengan ibunya. Beberapa hari kemudian, aku mulai menginap di rumahnya. Kusaksikan kegigihan Erna memandikan ibunya yang terduduk di kursi roda, memakaikan baju, menyisir rambut, lalu membawa perempuan paruh baya itu duduk di teras rumah atau di depan teve.
Kulihat ketegaran yang dipaksa terbangun dalam diri Erna, ketika ada di hadapan ibunya. Erna seperti orang yang berbeda saat di luar rumah.
Kedekatan di antara mereka begitu hangat dan gurih. Berbeda antara aku dan ibuku.
“Saya bahagia, masih diberi kesempatan merawat ibu. Saya tahu, cinta itu akan selalu ada di antara kami. Apa pun kondisinya.” Erna berkata, ketika kami duduk di ruang tengah, sambil menonton teve.
Kurasakan ada getaran dalam hati yang mendesak air mataku untuk keluar. “Kau beruntung. Ndak semua orang seberuntung itu.” Aku menjawab.
Erna tersenyum sejenak, lalu hilang di balik ruang tengah. Tidak lama, dia muncul dengan membawakan kopi.
Hubungan Erna dengan ibunya, ditambah aroma kopi, semakin membuat perasaanku tidak karuan. Seperti ada yang mengacak-acak perasaanku. Terutama, ketika aku mulai menghidu aroma kopi. Aku seperti terbawa ke suatu tempat dan sebuah rasa, tapi entah dimana.
Andai saja aku dan ibuku bisa sama seperti kedekatan Erna dengan ibunya, barangkali aku akan lebih sering pulang kampung dan bertemu ibu, Atau aku akan rajin meneleponnya dan menceritakan banyak hal, termasuk hal-hal sepele sekali pun. Nyatanya, kebersamaan dengan ibu terpotong di saat aku sedang butuh-butuhnya kasih sayang dan perhatiannya.
“Orang tua itu pegangan terbaik kita, apalagi kalau mereka masih hidup.” Erna berkata, sambil menatap ke luar jendela.
Dia seolah bisa membaca kegundahanku.
Malam itu, kami larut dalam percakapan tentang kehangatan keluarga. Kami menonton berita di teve dan menikmati kopi. Erna selalu membanggakan ibunya. Bagi dia, tanpa ibu dia tidak akan bisa seperti saat ini.
Setiap kali dia merasa hidupnya berat, nasehat-nasehat ibu akan hadir menjadi pegangan kokoh yang menegakkan langkahnya lagi.
Meski saat terserang stroke ibunya tidak bisa lagi berbicara, tapi Erna tahu dia akan selalu punya kekuatan saat sedang menghadapi ujian hidup.
“Kalau rindu sama ibumu, datanglah ke sini, kalau belum ada waktu pulkam.”
Kalimat Erna membuatku tersedak terkesiap.
Ibu Erna memang stroke, tapi suara hatinya mampu menembus sesuatu dalam diriku. Aku seringkali ingin menangis, sekaligus teduh ketika berhadapan dengannya.
Ketika Erna sedang menyiapkan makanan untuk ibunya, aku memilih duduk di samping kursi roda. Aku memijat pelan kaki dan tangannya. Ingin rasanya bercerita, tapi kata-kataku tidak sanggup ke luar, justru berganti air mata.
Apakah suatu saat aku bisa sedekat ini dengan ibuku suatu saat? Atau kami bisa bercengkerama layaknya anak dan ibu? pertanyaan itu berkelabat dalam benakku.
Aku bergegas mengemasi air mata, ketika Erna sedang sibuk memperbaiki rambut ibunya.
***
Beberapa hari di rumah Erna, aku kembali ke kontrakan. Ternyata, tidak tinggal di tempat tugas adalah sebuah pelanggaran. Semua itu baru kutahu dari surat peringatan di tanganku. Meski demikian, aku masih diberi kesempatan dengan dipindahkan ke Kabupaten yang lebih jauh dari Makassar. Sinjai.
Aku sempat gentar dan hendak mundur dari koran itu. Bagaimana mungkin aku bekerja di tempat asing dan tidak seorang pun yang aku kenal di sana. Ditambah lagi, aku tidak tahu jalan ke sana.
Aku langsung mendatangi sekretariat UKM pers. Tentu saja, aku tidak bertemu lagi dengan Nindya, Novi, dan Rama. Mereka masing-masing sudah bekerja di luar Makassar.
Ketika aku sedang termenung di halaman sekretariat, ternyata serang teman, Adi, memerhatikanku dari dalam.
“Kalau punya masalah cerita, siapa tahu bisa dibantu.” Suara Adi menyentakku.
Aku langsung menceritakan semua yang membuatku gamang. Bahkan aku berencana mundur sebagai wartawan.
“Masa nyali wartawan dan juga mantan demontran sekecil itu?”
Aku tidak tahu apakah itu sebuah ejekan atau justru penyemangat. Aku menanggapi dengan anggukan, bukan karena mengerti, tapi justru bingung.
“Coba dulu. Masa belum apa-apa sudah mundur.”
Adi berjanji akan mengantarku, karena masih banyak keluarganya yang tinggal di Sinjai.
Meski sudah dijanji, aku tetap masih butuh pegangan. Aku menelepon Erna dan menceritakan kegundahanku. “Kalau kau mundur sebelum berusaha, berarti kalah.” Erna menasehati.
Diam-diam, aku merindukan suasana di rumah Erna. Aku ingin sering ke rumahnya untuk bertemu ibunya. Aku seperti merasa ada kehangatan setiap kali melihat ibu Erna.
“Berarti saya akan sulit ketemu bundamu lagi?” aku bertanya gamang.
“Ndak sulitlah. Kau bisa datang kapan saja.”
Erna memang tidak tahu kondisi hubunganku dengan ibuku, tapi aku juga bingung cara menceritakannya. Aku menemukan sosok ibu baru dalam diri ibunya.
“Tenang, saya tahu, kau suka kopi. Jadi nanti saya akan siapkan banyak kopi di rumahku.” Erna terdengar berusaha mencairkan suasana.
Seminggu setelah pembicaraan itu, Adi benar-benar menepati janjinya. Kami berboncengan motor ke Sinjai sekitar lima jam, melintasi perbukitan dengan jurang hampir di sepanjang jalan. Sungguh, aku sama sekali tidak pernah melintasi jalan yang penuh tikungan seperti ulang yang sedang meliuk-liuk.
Mataku awas memerhatikan jalanan, agar kelak bisa sering kembali ke Makassar.
Begitu tiba, Adi langsung memperkenalkanku pada keluarganya dan meminta mereka membantuku jika ada keperluan. Temanku itu baru kembali ke Makassa setelah memastikan aku sudah menemukan kontrakan.
Tempat asing itu harus aku taklukkan dalam tiga bulan. Setidaknya, itulah janji atasanku, Pak Musa.
Hari-hari aku lalui dengan perasaan berat. Aku mendatangi satu kantor ke kantor lainnya. Mencari teman baru dan juga memperkenalkan diri pada narasumber. Bertanya sana-sini tentang alamat-alamat.
Awal-awal, aku seringkali meminta ke atasan untuk segera memindahkanku dan berjanji akan tetap tinggal di wilayah kerja, sepanjang berdekatan dengan Makassar. Namun, aku selalu dijanji hingga beberapa bulan kemudian, aku sudah mulai merasa banyak teman baru dan kehidupan di kota kecil yang ramah. Namun, bukan berarti dengan isu-isu berita yang ada.
Sebuah warung kopi di samping kantor pengadilan negeri, menjadi awal perjalananku menyesap rasa pahit yang pas di lidah.
Bersama laptop kecil yang abru kubeli, aku duduk sendiri dan mulai mengetik berita. Ketika kopi itu datang, kuhidu perlahan. Ternyata di kedai kopi itu juga menyediakan roti. Aku segera memesan. Meski tidak menguarkan aroma seperti saat dipanggang, tapi dia berhasil ingatanku melintasi masa kanak-kanak. Tentang ibu, tentang masa kecil di desa terpencil, dan perpisahan dengan keluarga hingga aku tiba di perjalanan sejauh ini. Perjalanan yang tidak pernah aku duga dan rencanakan, andai bukan karena ibu. Mengingat itu, ada rasa marah yang bertumbuh.
Kusesap kopi yang masih mengepulkan uap lemah.
Kedai kopi memang selalu ada cerita-cerita tersaji. Kata orang, jika ingin tahu banyak hal, bisa didapat dari tempat itu. Kopi selalu menjadi alasan orang bertemu dan berbagi cerita beragam. Aku membuktikan semua itu. Bahkan ada yang jadi bahan berita dan aku menikmati semua itu.
Secara tidak sengaja aku bertemu dengan beberapa teman wartawan. Sainal dan Akbar yang sudah lama bertugas di Sinjai. Sainal selalu bercerita tentang lingkungan dan Akbar lebih banyak berbicara soal kebijakan pemerintah.
Pagi itu, aku memang sengaja datang lebih awal ke warkop dan memesan Americano. Aku dan duduk di dekat pintu masuk. Aku benar-benar datang hanya untuk mencium aroma kopi, sambil mendengar beragam cerita. Tidak lama Sainal datang dan bergabung.
“Tahu soal orang yang mendaki di Bawakaraeng dan tewas?” Sainal mengonfirmasi.
“Iye. Saya mau ke sana, tapi ndak tahu jalan.”
“Nanti kita sama-sama dengan Akbar.”
Beberapa hari ini, orang-orang sedang sibuk di Lembanna, kaki Gunung Bawakaraeng. Ada yang bilang, tiga orang korban itu melakukan ritual di dekat puncak, lalu terjadi cuaca buruk.
Aku tidak banyak menanggapi, karena memang tidak punya pengalaman mendaki gunung.
Sainal juga bilang tentang Bawakaraeng yang berarti mulut Tuhan. Sehingga informasi tentang ritual-ritual yang diadakan ketiga korban itu bisa saja benar. Bahkan ada juga yang percaya di tempat sana bisa untuk naik haji.
“Mau namanya naik haji, ritual, atau mendaki gunung saja, yang penting dijaga alamnya.” Sainal berkata.
Saat Sainal hendak melanjutkan kalimatnya, Akbar muncul dengan tergesa-gesa.
“Kemungkinan evakuasi jadinya lewat jalur Tasosso, Sinjai Barat.” Akbar berkata tanpa basa-basi.
Akbar yang lebih berpengalaman mendaki gunung melanjutkan ceritanya. Pos dua Sinjai setara dengan Pos 5 jalur Lembanna, Gowa. Sehingga, kemungkinan besar mengambil jalur Sinjai Barat sangat besar.
Aku memberitahukan ke redaktur tentang kondisi signal yang tidak memadai di sana dan akan hilang kontak selama proses evakuasi.
Aku dan Sainal berboncengan, sementara Akbar memanggil temannya untuk menemani.
Meski tidak punya pengalaman mendaki, aku nekat dan berniat akan naik ke Gunung Bawakaraeng.
Sekitar dua jam, kami pun tiba di sana. Sudah tampak beberapa orang berseragam oranye dengan handy talky sambil berjalan ke sana-ke mari.
“Di sini sangat terkenal dengan Kopi Arabika. Kalau mau nanti kita bisa beli.” Sainal langsung menyampaikan.
Aku mulai merasa senang dengan hal itu. Seketika aroma kopi bertebaran dalam pikiranku. Beberapa jam kami masih menunggu dan Sainal memutuskan untuk membawaku ke sebuah rumah, yang tidak jauh dari situ.
Hanya berjalan kaki beberapa meter, kami pun tiba di sebuah rumah berhalaman luas yang penuh dengan bunga dan pepohonan.
Baru menginjakkan kaki di halamannya, aroma kopi sudah menguar. Aku terserap ke dalamnya dan mengingat kopi dabe. Rempah-rempah itu aku tahu tidak akan kudapatkan di tempat asing itu.
Kami melihat-lihat sejenak biji kopi yang sudah berwarna hitam itu di beberapa karung. Sekitar tiga orang masih memilah-milah biji kopi, katanya akan dikirimkan ke pemesan di Makassar.
Karena kedatangan itu untuk meliput, aku harus menabung keinginan untuk berurusan lebih dalam dengan biji Kopi Arabika itu, tapi aku bergegas membeli biji kopi yang masih utuh.
Aku dan Sainal bergegas kembali, ketika melihat beberapa mobil datang dengan menurunkan orang-orang berseragam oranye makin banyak.
Mereka membentuk lingkaran dan bergegas naik ke jalur di depan kami. Salah satu yang tampaknya sebagai pimpinan tim, memberikan informasi dan mengajak bagi yang sanggup mendaki bisa ikut.
Akbar menyarankan kami untuk menunggu di jalur pendakian, agar saat tim bergerak naik, kami bisa langsung ikut.
Halimun turun membuat pandangan agak terbatas.
Aku mengikuti tim ke tiga, yang berjalan tidak begitu cepat. Bahkan, aku beberapa kali nyarus jatuh, karena jalan licin dan banyak pepohonan juga rerumputan di sepanjang jalan.
Ketika tiba di sebuah sungai, aku mencoba melepaskan sendal dan akhirnya kami tiba di pos 3. Saat itulah, kami berpapasan dengan tim pertama yang terdiri dari tim SAR dan beberapa warga. Mereka menurunkan tiga mayat dengan menggunakan kantorng jenazah.
Cepat-cepat, aku memotret dan wawancara beberapa orang, lalu segera kembali ke ibu kota kabupaten. Dalam dunia jurnalis, tenggat memang menjadi momok yang menakutkan, apalagi berada di daerah tanpa signal.