Aku kembali mengambil cuti lima hari, yang hanya kugunakan dengan berdiam diri di Makassar. Ketika tahu seorang teman baru saja membuka kafe bernama Siluet, aku bergegas ke sana.
Aku tiba lebih pagi, mengambil tempat di dekat jendela kaca berwarna hitam. Di depan sudah ada laptop, kopi, roti cokelat. Aku mulai mencoba menulis novel pelan-pelan, meski masih meraba-raba.
Saking larutnya, aku bahkan tidak menyadari, seseorang seringkali memerhatikanku.
Hampir tiga jam aku mengetik, membuat jari-jariku kebas. Aku menutup laptop dan mencoba lebih santai menikmati menu kesukaanku di depan.
Saat aku membuang tatapan ke dalam kafe, tatapanku beradu dengan seorang lelaki. Rambutnya sebahu dan diikat serta ada sedikit janggut tipis. Kaus hitam yang warnanya hampir pudar, tapi aku seperti mengenali sorot matanya. Namun, beberapa kali menjajaki ingatan, tetap saja tidak berhasil memecah pemilik tatapan itu.
Dia mendekat dan meminta izin duduk di hadapanku, dengan senyum yang tampak bersahabat.
“Kopi dan Roti memang serasi.” Dia berkata begitu duduk di hadapanku dan memindahkan kopinya juga.
“Sepertinya kita pernah ketemu?” aku bertanya hati-hati.
“Iya, kopi yang mempertemukan kita.” Dia tersenyum lagi.
Suara baritonnya tidak asing, tapi aku masih sulit menangkap ingatan.
“Dapat salam dari Puang Ide.”
Begitu ucapannya itu berakhir, ingatanku langsung cerah. Nyaris aku memukul bahunya. Antara rikuh dan bahagia, sekaligus malu ketika merasa ingatanku lebih pendek dibanding dia.
Seperti menyadari permasalahanku itu, dia mengalihkan pembicaraan. “Sebagai penggemar kopi, pasti sudah tahu jenis dan perbedaanya?”
Pertanyaan itu terdengar seperti orang yang akan mengikuti ujian sekolah. Aku menggeleng.
Dia langsung menyebutkan Arabika dan Robusta. Meski tahu namanya, tapi aku tidak bisa membedakan keduanya.
“Arabika rasanya ada nuansa buah-buahan, bunga, dan asam ringan. Kalau Robusta seperti cokelat, tanah, dan kayu.” Setiawan menerangkan dengan senyum tak putus-putus.
Ketika ditanya alasan menyukai kopi, aku hanya tersenyum dan menggeleng lagi.
Aku seperti disihir dan tidak punya kekuatan untuk bersikap biasa-biasa saja.
“Pasti kau tahu, hanya ndak menyadarinya.” Andi Setiawan mencoba merendah.
Aku mengangkat kedua bahu dan memang jarang bicara. Ada sedikit rasa gugup ketika berhadapan dengan orang yang baru kenal.
Dari pertemuan itu, kami bertukar nomor whatsapp dan percakapan juga berlanjut di aplikasi itu.
Kami makin sering membuat janji untuk bertemu. Aku mendengarnya bercerita tentang perjalanannya mencari kopi-kopi terbaik di Indonesia. Dia sangat mencintai kopi dan berkeinginan membuat sebuah kedai kopi.
Aku akhirnya menceritakan bahwa tidak bisa terlalu banyak minum kopi. Kondisi lambungku tidak memungkinkan karena sakit maag.
Kehadiran Andi Setiawan membuat hidupku terasa makin berwarna. Bahkan, aku langsung meminta ditugaskan sementara di Makassar dengan alasan ada urusan penting yang harus aku selesaikan.
Begitu dapat izin, setiap malam usai dari kantor, aku dan Andi Setiawan bertemu di kafe yang beda-beda. Sambil bercerita tentang pekerjaan, kegemaran, termasuk tentang permasalahan hidup.
Kami saling mengisi dan saling mencari, meski hanya melalui whatsapp atau telepon. Andi Setiawan seolah hadir mengisi ruang-ruang kosong, yang selama ini terbengkalai.
“Saya akan ke Puang Ide lagi. Mau lihat-lihat kopinya.”
“Boleh ikut?”
“Tentu saja. Nanti kalau sudah ada jadwal, saya kabari.”
Sejak saat itu, aku terus menunggu waktu yang dijanjikan. Aku masih merasa banyak pertanyaan yang belum aku utarakan pada sosok paruh baya itu.
Hingga suatu hari, Andi Setiawan mengabari, dia akan ke rumah Puang Ide. Sayangnya, aku sedang banyak pekerjaan dan harus segera dirampungkan.
“Jadi kau ingin titip pertanyaan?” Andi Setiawan bertanya saat kami melakukan panggilan video call.
Aku hanya tertawa dan berpesan hati-hati di jalan.
“Kau yakin ndak ada pertanyaan?” Andi Setiawan kembali mengulang pertanyaan itu, seolah dia tahu ada sesuatu dalam diriku yang sedang kucari.
Aku menggeleng ragu, meski sebenarnya sangat ingin bertemu lagi dengan Puang Ide dan menikmati suasana kaki pegunungan.
Beberapa hari kami tidak terhubung, karena ponselnya di luar jangkauan. Hingga akhirnya video dan foto-foto dari kebun kopi Puang Ide masuk ke dalam pesan whatsappku. Senyumku merekah.
Andi Setiawan rajin mengirimkan whatsapp tentang kabarnya atau pun menanyakan kabarku. Kadang, dia mengirimkan pesan sekadar bercerita tentang orang tuanya atau melarangku tidak terlalu sering minum kopi. Dia akan selalu mengecek apa yang sedang aku lakukan, atau di mana keberadaannku.
“Saya takut, kau sakit maag lagi.”
Aku merasa baru kali ini, ada seorang lelaki yang begitu perhatian padaku, padahal kami hanya sekadar teman.
Dia menjelma seorang sahabat juga kakak, tapi ada perasaan yang sulit aku terjemahkan.
Ketika aku sakit, dialah yang menjemputku dan membawa ke rumah sakit. Menanyakan makan yang ingin kumakan dan memastikan obat dari dokter telah kuminum.
Suatu ketika Andi Setiawan masuk rumah sakit. Aku merasa khawatir dan langsung mengunjungi dan menjaganya. Ternyata ada orang tuanya ketika aku tiba. Dia langsung memperkenalkan aku dengan mereka.
Saat itulah aku menyadari sesuatu. Hubungan kami selama ini tidak jelas.
“Ini Mira, Pa, Ma. Dia yang selalu ada saat saya butuh.”
“Pacar?”
“Ndak, Ma. Calon istri.” Andi Setiawan berkata tanpa ragu.
Aku kaget dan menatap Andi Setiawan beberapa saat. Aku rasa dia sedang bergurau, tapi aku merasa kalimat itu membuatku bahagia.
Kata-kata seolah pergi meninggalkanku, ketika kulihat Andi Setiawan memancarkan wajah serius dan kedua orang tuanya hanya terdiam. Entah kaget, setuju, atau sedang menimbang-nimbang tentang aku.
Tidak lama, ibu Andi Setiawan seperti seorang wartawan yang mengajukan banyak pertanyaan. Ya sekolah, asal, pekerjaan, usia. Pertanyaan yang sebenarnya membuatku tidak nyaman, tapi harus kujawab. Aku merasa, ibunya sedang memasang kriteria dari pertanyaan itu.
Wajah bulat ibu Andi Setiawan tidak memperlihatkan kesenangan atau ketidaksukaan. Aku hanya menebak, barangkali dia memang sedang banyak pikiran dengan kondisi putranya itu.
Anak dan ibu itu saling berpelukan. Hubungan mereka tampak begitu dekat. Berbeda denganku dan ibu. Rasa-rasanya, aku tidak pernah dipeluk hingga sebesar ini, kecuali saat masih bayi barangkali. Aku kembali iri melihat kedekatan itu.
Pertemuan kami di rumah sakit tidak banyak memberi kesan selain rasa rikuh. Tetiba, ada rasa takut menjalar dalam diriku. Takut yang tidak bisa kuterjemahkan penyebabnya.
Beberapa hari setelah ke luar rumah sakit, Andi Setiawan menghubungiku. Dia akan membuka sebuah kafe kecil di pinggiran Makassar.
Saat malam baru saja turun, Andi Setiawan menjemputku dan kami langsung ke kafenya. Kafe Hitam Putih.
Ada lima meja, dan mini bar yang kecil. Lampu-lampu pijar terpasang seperti tali jemuran yang membentang di beberapa sisi.
Malam itu juga, aku bertekad mengonfirmasi jawabannya pada ibunya ketika di rumah sakit.
Kopi sudah terhidang. Kami duduk berhadapan dan terdiam beberapa saat. Baru ketika mata kami beradu, Andi Setiawan memperjelas semuanya.
“Saya tidak ingin kita pacaran.”
Aku mematung dengan napas tertahan. Ingin rasanya segera berdiri dan meninggalkan teman itu. Namun, aku berusaha mengendalikan diri dan mengatasi situasi cangggung. Aku hanya mengangguk. Entah seperti apa raut mukaku saat mendengar kalimat itu. Yang pasti, sudah ada kejelasan dan aku bisa tahu di posisi mana aku berdiri nantinya.