Aku mencari jalan sendiri, meski langkah terasa berat. Aku langsung teringat tentang Nindya dan kisahnya bersama Rama, lalu kisahku bersama Muhtar yang ternyata bisa aku lewati meski awalnya terasa berat. Bahkan, ketika aku mengingat Muhtar lagi, semua terasa biasa-biasa saja.
Sengaja kuambil cuti lima hari untuk mencari udara segar dan menikmati waktu santai. Aku langsung menghubungi Nindya untuk rencana tinggal di rumahnya selama cuti. Harapanku, aku bisa menemukan tempat menenangkan diri di tempat yang lebih senyap. Namun, aku salah.
Di rumah Nindya, aku berkenalan dengan temannya. Ayuna. Dia sudah di rumah Nindya beberapa hari bersama tiga orang anaknya yang masih kanak-kanak. Mau tidak mau, aku turut masuk dalam persoalan yang dihadapi Ayuna, tapi demi kesopanan aku berkenalan dengannya.
Aku pun mulai merasa canggung menceritakan patah hati yang kualami.
Malam itu, saat anak-anak Ayuna sudah tidur, kami bertiga duduk di taman samping rumah dan menikmati kopi, juga roti yang baru saja dibuat Nindya.
Aku menangkap Ayuna sedang memagut sesuatu yang begitu berat, tapi aku tidak berani menanyakan.
Nindya mulai bercerita tentang masa-masa awal berteman denganku pada Ayuna. Dia berusaha membuat suasana agak mencair.
Sementara Ayuna dan Nindya sudah berteman sejak masih SMP, hingga kuliah di fakultas yang sama. Nindya seperti seorang moderator yang memegang kendali dalam sebuah pertemuan.
Ayuna tetiba menangis. Aku menatap Nindya dengan tatapan berharap penjelasan. Namun, hingga beberapa saat, kami hanya menunggu Ayuna selesai menangis. Itulah satu-satunya kerja sama dan cara bersimpati paling masuk akal yang kami punya.
Beberapa saat kemudian, Ayuna mengangkat mukaya menatap Nindya dan aku bergantian.
“Kalau belum siap cerita, jangan dulu.” Nindya menyarankan.
“Dia bukan hanya selingkuh, tapi sekarang sudah menikah siri dan punya anak.” Ayuna berkata dengan nada bergetar. Tatapannya tampak kosong dengan mata sembab.
Aku tersentak. Tanpa tahu persoalan awal, langsung disuguhkan kata-kata yang serupa bom ke hadapanku.
“Jadi keputusanmu sekarang bagaimana?”
“Aku ingin cerai, tapi kasihan anak-anak.”
“Berarti kau mengorbankan perasaanmu?”
Ayuna tidak menjawab. Barangkali dia juga sedang bingung menempatkan posisi perasaannya. Ternyata, masalahku tidak seberapa dibanding perempuan yang baru aku kenal itu.
Aku sudah bisa meraba, apa yang sedang menimpa Ayuna. Namun, bingung karena belum menikah dan tidak tahu urusan rumah tangga. Ditambah lagi, aku yang baru patah hati dan dalam masa penyembuhan.
“Kau harus ambil keputusan saat mulai tenang. Sekarang kau masih labil dan keputusanmu ndak murni.”
Meski percakapan dengan Nindya tidak bersambung, tapi Ayuna tetap saja bercerita. Dia seolah menyerahkan pada kami untuk menyambungkan sendiri penggalan kisah-kisah itu.
Ayuna pernah sering berteriak di tengah malam, setelah anak-anaknya tidur. Kadang menatap kosong saat duduk sendiri dan ingin melukai diri. Dia tidak tahu lagi harus mencari pegangan pada siapa. Dia takut bercerita pada orang tua dan saudaranya, karena tidak ingin membebani pikiran mereka.
“Saya tahu, surga istri ada pada suami, tapi apakah semenyakitkan begini untuk masuk surga?” Ayuna bertanya setengah menggugat.
“Jadi kau ingin masuk surga dengan semua ini?”
“Sebenarnya bukan dengan cara ini, tapi perasaan anak-anak yang lebih penting.”
Beberapa saat, kami bertiga terdiam. Menyesap kopi masing-masing dan mengunyah roti yang sudah mulai dingin.
Diam-diam, ada ketakutan yang menjalar dalam diriku. Takut menikah. Takut bertemu dengan laki-laki yang salah. Apalagi, Ayuna bilang pernikahannya sudah sepuluh tahun, yang ternyata tidak menjamin suaminya bisa setia pada janji.
Ponsel Ayuna berdering dan sekejap Ayuna berganti nada suara seolah tidak terjadi apa-apa.
Setelah menjelaskan keberadaannya, Ayuna langsung bersiap-siap. Suaminya akan segera menjemput malam itu juga, tanpa perduli anak-anaknya sudah pulas tertidur atau apa yang sedang terjadi dalam rumah tangganya.
Aku merasa kasihan, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Perjalanan panjangku ternyata membawa kisah-kisah yang membuatku semakin was-was.
“Aku harap, pernikahanmu baik-baik saja.” Aku berkata pada Nindya, seolah itu adalah kado yang tertunda.
Nindya tersenyum.
Beberapa menit kemudian, sebuah mobil rush putih berhenti di depan rumah Nindya, disusul suara seorang laki-laki mengucapkan salam dari depan. Aku hanya melihat dari jendela kamar. Seorang lelaki berbadan tegap dengan brewok tipis membingkai wajahnya muncul dari luar pagar.
“Itu Abi. Suami Ayuna.” Nindya berkata sambil berlari ke halaman rumah.
Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul dua belas malam.
Aku memilih tidak ke luar dan membantu Ayuna beberes barang bawaannya. Begitu selesai, aku langsung ke kamar dan berusaha tidur.
Kamar tamu yang kutempati berada di depan, sehingga dapat menangkap percakapan antara Nindya dan Abi.
Kudengar lelaki itu bercerita, kadang tertawa tanpa merasa bersalah pada istrinya. Sementara Ayuna tidak terdengar suaranya. Suara yang sebenarnya tertelan oleh luka dan kecewa. Suaranya hanya diperdengarkan pada orang yang dipercayanya.
Entah kenapa, aku merasa muak dengan suami Ayuna itu. Meski tidak mengenalnya, tapi aku berdoa dalam hati, semoga kelak tidak akan bertemu dengan orang serupa suaminya.
***
Setelah gagal bercerita dengan Nindya, aku kembali mencari jalan untuk bisa berdamai dengan patah hati.
Aku kira hubungan yang singkat dengan Andi Setiawan bisa dengan mudah mengobati rasa sakit, tapi ternyata salah.
Begitu balik ke Makassar, aku memilih mendatangi UKM pers. Bercerita, membagi ilmu jurnalistikku dengan anggota baru, membuatku bisa sedikit lupa tentang masalah yang aku hadapi.