Pada akhirnya, kesadaran sebagai manusia menuntunku dalam keputusan. Fisikku tidak lagi bisa berkompromi dengan perjalanan jauh, ditambah pekerjaan dengan waktu istirahat yang sedikit, lalu harus tetap kuliah dan mengerjakan tugas kampus.
Aku meminta pindah tugas ke Makassar. Ternyata, permintaanku ditolak. Alasannya, belum ada yang cocok untuk menggantiku di kabupaten sebelumnya.
“Kalau ndak bisa pindah ke Makassar, saya akan mundur dari sini.” Aku mulai mengeluarkan kalimat nekat itu, tanpa punya persiapan.
Setelah kalimat itu meluncur, aku mulai khawatir. Bagaimana jika tetap ditolak? Berarti aku juga akan kehilangan pekerjaan utama. Sementara, kuliahku dibiayai dari gajiku dari Kantor Sinus.
Kuputar otakku agar bisa tetap kuliah.
Beberapa pekan setelah itu, aku tahu Pak Yanto menyatakan diri akan maju sebagai calon gubernur. Kabar itu menjadi angin segar bagiku. Kugunakan kesempatan untuk bisa menjadi salah satu wartawan khusus kandidat gubernur, khusus Pak Yanto.
Ternyata, permintaanku diterima.
Dua kandidat lainnya juga sudah mendapat wartawan khusus dari kantorku.
Hari-hariku mulai berkutat dengan membagi waktu sebisa mungkin, antara jadwal kuliah, meliput pemilihan gubernur.
Di suatu sore, aku memulai wawancara dengan Pak Yanto. Dia selalu mengunggulkan program pendidikan gratis, bahkan memberiku semangat untuk tetap lanjut kuliah.
“Pendidikan itu hak semua warga negara. Bagi yang tidak mampu, harus dibantu pemerintah. Jadi saya ingin memperjuangkan itu.”” Pak Yanto berkata penuh semangat.
Semua perkataan Pak Yanto aku rekam. Nanti akan aku ketik begitu pertemuan selesai.
Kami duduk berhadapan di teras rumahnya, dengan penjagaan dari polisi dan juga tim suksesnya. Pak Yanto berpakaian santai hari itu dan menikmati kopi dengan gelas tinggi yang biasa digunakannya.
Tidak lama, kopiku juga datang. Sepertinya, Pak Yanto yang memintanya.
“Coba dulu, pasti kau suka. Ini kopi keseimbangan.” Pak Yanto berkata dengan senyum merekah.
Kubiarkan hingga uapnya berkurang dan mulai berbicara santai dengan Pak Yanto. Perlahan, aku menyesap kopi itu. Tetiba aku tertegun beberapa saat. Ada yang berbeda dari rasa kopi itu, seperti ada rasa cengkih, pala, dan kayu manis.
Seperti bisa membaca pikiranku, Pak Yanto langsung menambahkan informasi.
“Ada orang khusus yang meracik kopi itu. Kalau mau tahu, ke dapur saja.” Pak Yanto menunjuk ke bagian dapur.
“Namanya siapa, pak?” aku bertanya antusias, bahkan sampai lupa aku sebenarnya sedang bertugas meliput.
“Pokoknya kau harus berjuang sendiri mencarinya. Saya hanya bisa kasih petunjuk sampai di situ.” Pak Yanto tertawa, seolah merasa teka-teki yang diberikan padaku sebuah hal yang lucu.
Aku tersenyum rikuh. Pak Yanto seperti sedang berusaha membuatku penasaran. Dia seolah tahu ada sesuatu yang selalu aku cari dari tiap rasa kopi yang aku minum.
Pak Yanto mengajakku memasuki labirin kehidupan.
“Hidup itu harus seimbang,” Pak Yanto berhenti sejenak, seperti memberi kesempatan padaku untuk mencerna. “Ya pekerjaan, ya keluarga juga harus diingat, termasuk hobi ngopi jangan ditinggalkan. Orang kerja itu berat, meski punya minat di situ, jadi ya harus diimbangi.”
Aku merasa Pak Yanto sedang menasehatiku, seperti orang yang sebentar lagi memasuki kehidupan baru.
Punya dua anak yang kuliah di luar negeri, membuat Pak Yanto dan istrinya memilih menyibukkan diri. Mereka menenggelamkan diri dalam kesibukan, demi bisa mengalihkan kerinduan pada anaknya.
Aku baru tahu, sosok yang tampak gesit di luar, juga menyimpan kerapuhan dan kerinduan yang mendalam. Apakah ibu juga demikian? Aku bertanya dalam hati.
Sejak hari itu, aku melihat Pak Yanto dari sisi yang berbeda. Seorang ayah yang merindukan anak-anaknya.
Kopi di hadapanku juga masih menguarkan rasa penasaran. Aku berjanji akan mencari sendiri asal kopi itu.
Ketika jam digital di tangan kiriku menunjukkan angka 17.30, Pak Yanto harus mengakhiri percakapan kami. Dia bergegas menyiapkan diri untuk kelanjutan perjuangannya meraih kursi nomor satu di Sulawesi Selatan.
Saat itulah, aku bergegas ke dapur.
Aku mencari orang yang buat kopiku.
Kulihat di dapur, punggung seorang berdaster, badannya agak gemuk, berkerudung. Saat dia menyamping, aku seperti mengenalinya.
Perlahan, aku mendekat. Begitu berada tepat di belakangnya, dia berbalik.
“Astaga..” perempuan itu hampir saja menumpahkan air ke tubuhku.
“Puang Ide?” aku mengonfirmasi.
Perempuan itu tidak menjawab dan langsung memelukku, seperti baru menemukan sesuatu yang dicarinya.
Dia masih penasaran bagaimana aku bisa sampai di dapur itu.
Kuceritakan secara singkat tentang pekerjaanku dan apa yang sudah dikatakan Pak Yanto.
“Oh, kopi itu bukan saya yang buat, tapi dikirim langsung dari tempatnya.”