Aku seperti lupa, hidup tidak selamanya berjalan sesuai rencana. Badai-badai akan datang tanpa diketahui arahnya.
Di saat sedang menikmati kemapananku menjadi seorang jurnalis, punya akses ekslusif ke pejabat atau kalangan orang-orang biasa di pedalaman, membawaku pada satu titik rapuh yang baru. Bukan tentang hubungan cinta dengan seseorang, melainkan pekerjaan.
Badai-badai itu datang ketika cicilan rumahku berjalan baru dua tahun.
Kantor tempatku bekerja selama sepuluh tahun, harus memangkas tiga ratus karyawan. Satu diantaranya aku. Ada tujuh biro yang harus ditutup atau dilelang kepemilikan sahamnya.
Ruangan itu terasa mengintimidasi, manakala aku duduk berhadapan dengan kepala personalia, Mas Beno.
Meja depan kami, menggeletak surat pengunduran diri dan pena dengan penutup membuka. Seolah ada yang menunggu sekaligus menahanku. Detak jam dinding dan jantungku terdengar jelas. Tanda tanganku dibutuhkan. Setelah itu, semuanya usai.
Pengunduran diri dengan kata-kata sukarela ini, menguji perasaan. Langkah Pak Bos, pemilik perusahaan membuatku dan dua ratus sembilan puluh sembilan karyawan harus menghadapi situasi yang tak terprediksi.
Satu tahun lalu, desas-desus soal langkah Pak Bos di jalur politik mencuat. Aku bahkan tak pernah menyiapkan diri, apalagi berpikir Pak Bos serius mengambil tindakan. Pak Bos terkenal baik di kalangan kami. Berwajah bulat, rajin senyum, dan menyapa karyawan, kadang tak segan mengisi waktu untuk sekadar cerita lepas, saat mendatangi masing-masing biro Koran Sinus.
Sebagai pengusaha sukses, punya perusahaan di beberapa bidang dan tersebar nyaris di seluruh penjuru tanah air, tak akan habis hingga sepuluh turunan sekalipun. Namun, dia masih juga merasa haus dengan kedudukan sosial.
"Pak Bos masuk partai Terang Bercahaya makanya akan ada pemangkasan karyawan." Kalimat dari bisik-bisik teman-teman yang kudengar, saat pemecatan itu masih menjadi isu.
"Eh bukan. Pak Bos mau buat partai sendiri."
“Iya, tes kekuatan dulu di partai lama, sambil menyiapkan kelengkapan partai barunya.”
“Jadi, lembaga nirlabanya kemarin buat persiapan partai?”
“Ya begitulah, kalau sudah punya banyak uang.”
Percakapan di pantry yang biasanya kami lakukan usai merampungkan pekerjaan.
"Apa hubungannya?" tanyaku dengan alis nyaris bertaut.
"Kau pikir masuk dunia politik hanya bawa nama besar dan badan?" Erna tertawa, seolah ada hal lucu dalam kalimatnya.
Aku mulai berpikir, langkah Ardian yang lebih dulu keluar dan masuk ke media asing yang berbasis di Singapura, sudah tepat. Setidaknya, dia tidak mengalami kebimbangan sepertiku, yang begitu mencintai dan merasa nyaman berada di kantor itu.
Satu tahun setelahnya, kami benar-benar dipanggil satu-satu masuk ke ruang personalia. Sepuluh tahun bekerja sepenuh hati tanpa pelanggaran, terhapus begitu saja, oleh keinginan Pak Bos menikmati dunia barunya.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan langkah Pak Bos. Toh, semua orang berhak menentukan jalan hidupnya. Apalagi pemilik perusahaan raksasa seperti dia. Namun, yang aku sayangkan, pemecatan dilakukan tak sesuai prosedur. Lalu untuk apa ada aturan?
Kuhapus ingatan itu, dan menatap Mas Beno yang bergeming. Aku tak dapat menerka makna tatapan kosongnya ke arah tembok. Waktu terasa berputar lambat dan memusingkan. Dari Mas Beno, kulirik jam dinding, bukan untuk melihat waktu, tapi itu menjadi upaya mencari pegangan.
Dari pintu kaca di sampingku, tampak siluet beberapa orang melintas, ada juga yang duduk di sofa tak jauh dari ruangan ini.
"Saya harus lakukan ini.” Suara Mas Beno memotong kebungkaman. Beberapa saat dia berhenti, menarik napas panjang, “Saya sudah berusaha sebisa mungkin agar kamu dan teman-teman di sini masih bisa diselamatkan."
Serat matahari malu-malu menerobos dari tirai jendela kaca. Namun, siapa pun tahu itu tak mampu menghangatkan perasaan dalam kondisi demikian.
Aku masih bingung merespons dengan kalimat apa. Wajahku memang sudah kutekuk sejak lima belas menit lalu, tepat saat menginjakkan kaki dalam ruangan ini.
"Jika nggak melakukannya, saya juga bisa kehilangan pekerjaan ini. Apalagi saya punya istri dan dua anak." Kalimat Mas Beno itu tampak bersimpati, sekaligus meminta dimaklumi.
Kopi di hadapanku tidak lagi beruap, tapi masih setia menunggu. Siapa pun tahu, dalam kondisi demikian, adakah minuman atau makanan favorit tidak akan terasa enak.
Kutarik napasku dengan cukup keras, mengambil pena di hadapanku dan hendak menandatangani. Namun, tetiba tertahan saat teringat kalimat Erna. Pelan, kujauhkan mata pena dari kertas itu. Mas Beno menatap kertas itu bergantian dengan wajahku, seolah tengah memindai sebuah barcode.
Baru hendak menyampaikan tanggapan, pikiranku segera menahan. Meski demikian, batinku mengatakan, Mas Beno tidak seharusnya berkata demikian. Semua orang di dunia ini punya keluarga. Butuh uang untuk hidup. Jangan mentang-mentang aku belum menikah, lantas dianggap orang yang tidak punya tanggung jawab terhadap ekonomi keluarga.
Tetiba kurasakan mataku menghangat. Aku masih menatap tajam nyaris tanpa kedip ke arah Mas Beno. Ingin rasanya kupukul meja. Namun, lagi-lagi ada diriku yang lain berusaha menahan dari dalam. “Sabar, Mira. Hanya pekerjaan yang berakhir, bukan hidupmu. Kamu masih muda, bisa cari atau buat pekerjaan dengan kemampuanmu.” Suara itu terdengar membisik dan menidurkan kembali amarahku.
"Saya belum bisa tanda tangan sekarang, mas. Butuh waktu berpikir." Aku langsung beranjak, tanpa menunggu tanggapan Mas Beno.
Andai bisa kukatakan, aku juga punya cicilan rumah, juga tetap butuh biaya hidup dan juga membantu keluarga. Namun, kata-kataku seolah terpenjara, saat harus berhadapan dengan situasi ini.
Gontai, kubuka pintu. Deraknya seolah terasa ngilu di hati. Begitu pintu membuka, kulihat bermacam ekspresi dari beberapa teman yang menunggu giliran berhadapan dengan Mas Beno. Meski ada yang sedang berusaha bercanda, tapi tawanya terdengar hambar. Ataukah lagi-lagi hanya perasaanku.
"Sudah tanda tangan?" Erna bertanya dengan senyum mengembang.
Dia memang selalu tersenyum, apa pun kondisinya.
"Belum. Masih kupertimbangkan."
"Kenapa?"
"Mungkin harus dilaporkan ke pihak ketenagakerjaan." Aku berlalu.
"Oh, bagus." Erna berkata di balik punggungku.
Sementara wajahku semenjak masuk ruangan Mas Beno, seolah kehilangan urat senyumnya. Pikiranku dipenuhi dengan kemungkinan ke depan. Bagaimana nasib adik-adikku. Cicilan rumah. Pekerjaan macam apa yang harus kucari. Mau makan apa nanti jika tak langsung dapat pekerjaan. Rambutku yang terikat macam ekor kuda, sudah masai.
Tetiba ada sesal yang menyelusup. Aku harusnya tidak lanjut kuliah, jadi uangnya bisa dipakai untuk menutupi cicilan rumah beberapa tahun. Namun, yang telah terjadi tidak punya jalan untuk kembali.
Aku memilih duduk di pantry. Menunggu barangkali ada yang mau bergabung denganku untuk menempuh jalur hukum. Penanggung jawab Pantry, Pak Iwan seolah dapat membaca kekalutan di wajahku, kembali menyajikan kopi.
“Makasih, Pak Iwan.” Kutatap wajah paruh baya Pak Iwan yang terasa tak punya beban.
“Kalau kantor ini ndak ada lagi, Pak Iwan mau kerja apa?” entah kenapa pertanyaan itu tetiba meluncur dari mulutku.
“Ya, kerja apa saja, dik. Sepanjang kita mau usaha, akan selalu ada rezeki.” Selengkung senyum mengulas di wajah Pak Iwan.
Aku tahu, gaji Pak Iwan tak seberapa. Dia punya tiga orang anak yang masih sekolah, istrinya asisten rumah tangga, tapi tak pernah kudengar Pak Iwan mengeluhkan kehidupannya.
Mendadak ada perpaduan rasa yang bercampur mengingat semua kejadian ini. Andai aku bisa seperti Pak Iwan yang bisa menghadapi hidup dengan cara sederhana, barangkali aku tidak segamang itu.
“Tiap orang punya ujian masing-masing, dik. Jangan pernah bandingkan kehidupan masing-masing. Nanti makin berat hidup kita.” Pak Iwan tetiba mengeluarkan kalimat itu, seolah dapat membaca kekalutan pikiranku.