Roti dan Kopi

Rahmi Djafar
Chapter #11

Mencari Arah

Memang tidak mudah melepaskan sesuatu yang telah bertumbuh bersama kita.

Sepuluh tahun membersamai Koran Sinus, akhirnya membawaku pada titik transisi. Meski sebenarnya aku merasa muak berada dalam sistemnya, tapi profesi tetaplah sesuatu yang dijunjung penuh cinta.

Ardian sudah mendapatkan karir barunya di Jakarta. Sementara Erna lebih sibuk dengan urusan tanah sebagai profesi barunya, notaris magang dan kami mulai jarang bertemu. Ratna baru saja menikah tiga bulan lalu. Nindya sudah bekerja sebagai kepala keuangan di sebuah kampus di Kota Parepare. Sementara aku, menghadapi kehilangan pekerjaan.

Aku mulai memilah-milah, teman yang paling pas kudatangi untuk rehat. Aku ingin menepi, tapi pulang kampung tidak menjadi pilihan.

Akhirnya, Nindyalah, orang yang paling tepat aku datangi.

Ternyata saat aku tiba di rumah Nindya, Ayuna dan ketiga anaknya juga sudah ada.

Rumah Nindya terasa seperti tempat kami mencari suaka, dari kemelut yang ada dalam hidup masing-masing.

Hari itu, Nindya mengajak kami ke sebuah kafe di puncak dan menunggu matahari terbenam.

Aku tahu, masih berat bagi Ayuna untuk menikmati alam.

Kami tiba di kafe itu saat matahari baru separuh bergeser ke barat. Belum begitu ramai. Kami memilih tempat di halaman belakang kafe, berbatasan dengan pagar dan jurang. Sebuah pohon besar menaungi tempat duduk kami.

“Saya sekarang mulai jualan online,” Ayuna membuka percakapan. Rautnya tampak cerah dibanding awal pertemuan kami.

“Wah bagus, kau sudah punya kesibukan dan tidak larut dengan masalah yang kau hadapi.” Nindya berkata dengan senyum merekah.

Aku hanya mengangguk, sambil sesekali mengajak bermain anak-anak Ayuna.

“Seorang istri memang harus bekerja juga. Bukan untuk bersaing dengan suami, tapi dia bisa Merdeka dalam hal ekonomi.” Nindya berkata lagi

Aku sudah mulai lega, ketika Ayuna bisa tersenyum. Apa yang aku duga semula, ternyata tidak terjadi.

Pesanan kami tiba, Ayuna meneguk sejenak jus alpukat pesanannya.

“Saya tidak bisa lagi memaafkan dan percaya sama Abi,” Ayuna memandang laut di kejauhan. “perselingkuhan adalah kesalahan fatal. Bertahan hanya menjadi alasan menjaga mental anak-anak.”

“Kau sudah putuskan mengorbankan mentalnya sendiri kan?” Nindya mengonfirmasi.

“Kalau saya sudah bisa cari jalan untuk mengobati mentalku, tapi anak-anak belum bisa.” Ayuna berkata dengan tatapan sendu.

“Anak yang bahagia lahir dari ibu yang bahagia. Jadi, jika kau pilih bertahan demi anak-anak, yang harus kau ciptakan adalah kebahagiaanmu.” Nindya berkata lagi.

Ponselku berdering. Begitu melihat nama Ratna, aku langsung menjawab. Ratna terisak saat mendengar suaraku. Aku terdiam, karena tidak ingin mendesak dan membuatnya jadi tidak nyaman.

Beberapa menit, tangisan Ratna baru mereda dan dia mulai berbicara perlahan. Suami yang awal pertemuan mereka dikenalkan oleh sepupunya itu, ternyata kabur dari rumahnya beberapa minggu ini dan membawa emas, juga tabungannya.

Sebelum memutuskan cerita ke orang lain, Ratna sudah berusaha mencari dan menghubungi suaminya. Sayangnya, lelaki itu justru mengancam dan memarahinya.

“Saya tidak minta untuk kembali, tapi semua hasil kerjaku itu harus dikembalikan. Apalagi, dia pergi dengan mantan pacarnya”

Lagi-lagi, aku hanya bisa menjadi pendengar. Hiburan atau pandangan semacam apa yang dibutuhkan orang-orang seperti Ratna dan Ayuna? aku bahkan tidak tahu. Alih-alih punya bayangan nasehat, aku justru takut berumah tangga.

“Saya juga tidak ingin lapor polisi, karena keluarga kami juga saling kenal.”

“Jadi?”

“Saya sedang mengurus perceraian.”

“Kau yakin ndak ada ada jalan mediasi?”

“Saya yakin dengan keputusan ini.” Ratna berkata tegas.

Aku hanya bisa memberinya doa dengan harapan-harapan baik.

Aku mencoba menangkap seperti apa sebenarnya berumah tangga? Harus semenyakitkan Ayuna dan Ratna? Tapi kehidupan rumah tangga Nindya tidak pernah kudengar keluh-kesahnya.

Panggilan Nindya memotong lamunanku. Agak rikuh, aku kembali ke tempat semula dan mencoba menikmati percakapan.

Tidak lama, langit di barat mulai berwarna oranye dan kami sibuk berfoto-foto. Kali ini, aku berupaya mengalihkan semua pikiran yang berat. Meski sebenarnya, aku merasa terperosok ke dalam situasi yang tidak pernah aku rencanakan.

Kulihat Ayuna tersenyum. Dia seperti sedang berupaya membangun kehidupan barunya. Sementara aku, masuk ke dalam hidup yang menggelisahkan.

Begitu Ayuna berpamitan pulang, aku dan Nindya kembali ke rumahnya.

Begitu tiba di rumah Nindya, kami membuat Roti. Nindya seolah tahu kegemaranku, tapi dia tidak pernah bertanya alasan di balik semua itu.

Saat duduk di taman samping rumah, aku mulai menceritakan tentang persoalan di kantor, cicilan rumah, dan upaya untuk tetap bertahan hidup. Aku seperti membangun labirin.

“Percaya pada kemampuanmu, maka kau akan terus berusaha dan tentu saja ada hasilnya.”

***

 

 

Aku mulai merasa agak baikan, setiap kali berbicara dengan Nindya. Aku juga bersimpati pada Ayuna dan Ratna, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Justru, aku semakin takut dengan dunia bernama rumah tangga itu.

Keesokan harinya, aku kembali ke Makassar dan menjalankan segala kemampuan yang kupunya. Aku mulai membuat lamaran dosen di beberapa kampus swasta, lalu pulang dan mengetik novel serta mengirimkan tulisan pada situs media lepas.

Aku mulai menghitung cicilan rumah. Tabungan untuk itu tersisa lima bulan.

Seperti menemukan jalan buntuk, aku mulai sering menangis di dalam kamar. Kadang, sambil menatap ke segala sisi rumah, seolah hendak mengajaknya berbicara.

Hingga berbulan-bulan setelah waktu yang dijanjikan, aku tidak kunjung mendapat kabar lamaranku dari satu pun kampus. Aku mulai berpikir untuk take over rumah cicilanku.

Lihat selengkapnya