Ketika mulai merasa menyatu dengan dunia baruku, wabah virus Corona menerjang. Virus yang tidak pernah ada sebelumnya membuat semuanya seperti terbalik dan carut-marut. Penularannya seperti kilat dan mudah hingga orang-orang tidak bisa bertemu jika tidak begitu penting.
Komunikasi dengan bantuan perangat internet, menjadi pilihan. Bahkan untuk bahan makanan saja, harus menyetok untuk sebulan ke depan. Aku yang hanya tinggal sendiri di rumahku, tidak punya pilihan.
Jalan di kompleksku yang biasanya banyak anak-anak bermain di sore hari, penjual sayur bersepeda atau bermotor di pagi, seketika tidak ada.
Hari-hari dilalui dengan bekerja dari rumah dengan perangkat internet. Namun, semua itu seperti bermata dua. Menakuti sekaligus menghubungkanku dengan teman-teman. Berita kematian dan keganasan virus itu terus saja berseliweran dari grup-grup, seolah hendak mengantar kematian perlahan.
Ingin rasanya aku singkirkan whatsapp dan tidak ingin membaca berita, tapi seketika membuatku akan kehilangan segalanya.
Semakin aku rajin membaca, semakin terintimindasi oleh semua itu.
Orang-orang yang dinyatakan mati akibat Corona dimakamkan tanpa kehadiaran anggota keluarga dan hanya dilakukan oleh petugas medis. Mereka berpakaian seperti astronaut.
Kubayangkan bagaimana jika aku bernasib demikian? Mati tanpa bisa dihadiri oleh keluarga dan teman-teman. Pikiran itu terus menumpuk setiap hari.
Aku berusaha mengalihkan semua berita-berita mengerikan itu, dengan membaca novel pemberian Ardian, sekaligus menulis novel hingga subuh. Jam tidurku berubah. Waktu istirahatku terpangkas, agar tidak selalu memikirkan hal-hal yang aku takukan.
Hingga suatu hari, seorang nenek di samping rumahku dilarikan ke rumah sakit dengan gejala demam, batuk, flu, dan sesak napas. Beberapa jam kemudian dia meninggal. Informasi langsung menyebar di grup kompleks.
Aku yang sehari sebelum kejadian itu berinteraksi dengannya semakin diminta mengisolasi diri.
Beberapa tetangga membawakan bahan makanan, buah, vitamin, dan diletakkan di pintu pagar, lalu pergi dan menginformasikan lewat whatsapp. Sungguh perlakuan itu semakin membautku terasing dan semakin merasa dikucilkan, bahkan ketika aku pun tidak tahu apakah virus itu bersarang di tubuhku atau tidak. Anggapan dengan alasan berjaga-jaga diri, menjadi tameng orang-orang.
Aku duduk menghadap jendela kaca di kamar. Kerinduan pada masa-masa di luar rumah, pertemuan dengan teman-teman, dan mengingat wajah keluarga dekatku terasa begitu menyayat hati.
Akhirnya, aku menelepon ibu, bertukar kabar, dan saling mengingatkan untuk berhati-hati dengan virus itu.
Ketika merasa membaca dan menulis novel tidak berhasil mengalihkan pikiranku tentang kematian dalam kesendirian, aku membuat roti lagi. Semua bahan kupesan secara daring.
Begitu aroma roti menguar, air mataku menetes. Aku tidak tahu penyebabnya. Aroma yang selalu aku rindukan, ternyata sekaligus menghadirkan ruang hampa yang tidak tahu harus diisi dengan apa.
Hingga di suatu malam, aku harus dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi demam tinggi. Aku mengira terserang Corona.
Sebentar lagi aku akan mati dalam kesendirian. Batinku. Dua orang junior dari UKM Pers berbaik hati mengantarku ke rumah sakit, di saat sebagian besar orang menjauhiku.
“Kalian ndak takut kalau saya Corona?”
“Ya kalau Corona, palingan kita sama-sama dirawat. Mati juga sama-sama,” kami tertawa Entah menertawakan keadaan, atau memang lucu. Namun, aku agak tenang.
Begitu tiba di rumah UGD, aku justru memberikan nomor ponsel kakakku pada keduanya.
“Jika saya mati, hubungi kakakku.”
Keduanya menerima tanpa banyak bertanya. Aku demam tinggi dan tubuhku mengigil. Dokter langsung memasukkan cairan paracetamol hingga beberapa menit kemudian, aku mulai membaik.
Ternyata, hanya demam biasa, ditambah lagi asam lambung berlebihan, membuatku harus diopname.
Ruang inapku berada di lantai empat. Hanya bisa satu orang yang menemani. Bayangan kematian dalam kesendirian semakin mengental.
Setiap hari, aku duduk menatap ke luar jendela kaca ruag rawat inapku. Aku sama sekali tidak mengabari keluarga di kampung. Aku hanya ingin mereka tahu, aku baik-baik saja.
Suatu malam, aku bermimpi melihat ibu. Aku menempati sebuah ruangan dan ibu di luar memanggil-manggil. Wajahnya sendu, tapi aku berusaha tidak mendatanginya. Ibu seperti menyampaikan sesuatu padaku, tapi aku tidak bisa mendengarnya. Aku menangis, hingga terbangun, bantalku basah.
Apakah aku merindukan ibu atau sebaliknya? Tapi cepat-cepat kubuang pikiranku.
Begitu ke luar dari rumah sakit, aku menghubungi Ardian. Ternyata, dia belum balik ke Jakarta dan masih bisa bekerja secara daring.
Pembatasan berkumpul juga mulai dilonggarkan dan kami bertemu di Kafe Siluet yang masih sepi.
“Sepertinya saya akan mati.” Sekonyong-kongyong aku mengutarakan perasaanku.
Ardian menatapku beberapa saat, “Memangnya kenapa? Ndak ada yang bisa tahu ajalnya.” Ardian tertawa, sambil terus menatapku.
“Kan kau sendiri yang bilang semua orang akan mati?” aku mengembalikan kata-kata Ardian.
Ardian tertawa, tapi aku tidak. Aku merasa kalimat itu memang sudah cocok dengan kondisiku.
“Kau sakit apa?”
Pertanyaan itu membuatku berpikir beberapa saat. Apakah mati memang harus sakit dulu? “Saya maag.”
“Sepertinya kau lelah. Sayangi badan dan pikiranmu. Kau butuh istirahat dan liburan.” Ardian menepuk jidatnya. Dia lebih memilih mengalihkan pembicaraan.
Lagi-lagi, Ardian menanyakan novelku, seolah itu adalah utang yang harus segera aku tepati.
***
Setelah hari itu, perasaan sakit dan akan mati semakin kuat. Beberapa kali, aku harus masuk rumah sakit, tapi dokter selalu bilang tidak ada masalah dengan tubuhku. Aku mulai ragu dengan diagnosa dokter, hingga mencari beberapa rumah sakit untuk mengecek keseluruhan fisikku. Hasilnya tetap sama.
Aku akhirnya menceritakan pada Ardian.
“Jika tidak bisa mengendalikan pikiran, minta bantuan sama professional juga ndak apa-apa. Toh itu bukan aib.”
Beberapa hari setelah itu, aku mendatangi rumah sakit Herlin, menemui psikiatri.
Kedatanganku lebih cepat satu jam dari waktu dokter Arni, tapi aku menunggu dengan sabar di depan ruangannya, seolah jika aku berlalu sedetik saja, akan kehilangan kesempatan.
Lalu-lalang pasien dan pengantar memenuhi ruang tunggu. Pengeras suara sahut menyahut antara nama pasien dan juga informasi tentang rumah sakit.
Begitu namaku dipanggil ke ruangan dokter Arni, jantungku berdetak agak kuat. Bukan oleh bahagia. Aku sedang takut sesuatu, tapi tidak tahu sumbernya.
Begitu duduk di dalam ruangan yang hanya menyisakan kami berdua, aku berusaha menatap wajah perempuan berkacamata itu. Dia tersenyum, tapi tidak mampu menghangatkan perasaanku. Ruangan itu terasa dingin, seolah ada sesuatu yang siap menghakimiku.
Air mataku tetiba melesat jatuh disusul isakan yang tidak mampu kutahan lagi. Aku seperti anak kecil yang luluh-lantak di hadapan orang dewasa. Padahal, aku belum pernah bertemu dengan dokter Arni.
Dokter Arni tampak tenang dan tidak berusaha mendistraksi tangisanku. Beberapa saat, tangisanku mereda dan dokter Arni menyerahkan tisu dari atas mejanya. Aku mengelap mata dan pipi perlahan dengan kebingungan yang menebal. Apa sebenarnya yang membuatku merasa begitu sedih.
Kurasakan ruangan itu makin dingin. Entah oleh perasaanku atau suhu AC di ruangan itu.
Dalam batinku sempat bertanya, kenapa dokter jiwa itu tidak berusaha menghentikan tangisanku? Apalagi, selama ini aku tidak gampang menangis di depan orang. Air mataku hanya bisa keluar ketika aku berada dalam kamar sendiri.
Dokter Arni kembali tersenyum, seolah stok senyumnya begitu banyak. Dia lalu menanyakan aktivitas, hobi, dan hal-hal yang paling aku sukai.
Aku mulai bercerita tentang hal-hal yang aku ingat.
“Menangis itu bukan aib, juga bukan tanda kelemahan.” Dokter Arni tersenyum bersahaja.
Aku mulai nyaman dan tidak lagi merasa sedang di ruang seorang dokter.
“Jadi tinggal sama siapa di sini?”