Roti dan Kopi

Rahmi Djafar
Chapter #12

Dunia Selebar Jendela Kamar

Ketika mulai merasa menyatu dengan dunia baruku, wabah virus Corona menerjang.  Virus yang tidak pernah ada sebelumnya membuat semuanya seperti terbalik dan carut-marut. Penularannya seperti kilat dan mudah hingga orang-orang tidak bisa bertemu jika tidak begitu penting.

Komunikasi dengan bantuan perangat internet, menjadi pilihan. Bahkan untuk bahan makanan saja, harus menyetok untuk sebulan ke depan. Aku yang hanya tinggal sendiri di rumahku, tidak punya pilihan.

Kompleksku yang biasanya banyaka ank-anak bermain di sore hari, penjual sayur bersepeda atau bermotor di pagi hari yang biasanya dikerumuni ibu-ibu komplek, seketika tidak ada ada lagi.

Hari-hari dilalui dengan bekerja dari rumah dengan perangkat internet. Namun, perangkat internet juga seperti bermata dua. Menakuti sekaligus menghubungkanku dengan teman-teman. Berita kematian dan keganasan virus itu terus saja berseliweran dari grup-grup, seolah hendak mengantar kematian perlahan.  

Ingin rasanya aku singkirkan whatsapp dan tidak ingin membaca berita, tapi seketika membuatku akan kehilangan segalanya.

Semakin aku rajin membaca, semakin aku terintimindasi oleh semua itu.

Orang-orang yang dinyatakan mati akibat Corona dimakamkan tanpa kehadiaran anggota keluarga dan hanya dilakukan oleh petugas medis. Mereka berpakaian seperti astronaut.

Kubayangkan bagaimana jika aku bernasib demikian? Mati tanpa bisa dihadiri oleh keluarga dan teman-teman. Pikiran itu terus menumpuk setiap hari.

Aku berusaha mengalihkan semua berita-berita mengerikan itu, dengan membaca novel pemberian Ardian, sekaligus menulis novel hingga subuh. Jam tidurku berubah. Waktu istirahatku terpangkas, agar tidak selalu memikirkan hal-hal yang aku takukan.

Hingga suatu hari, seorang nenek di samping rumahku dilarikan ke rumah sakit dengan gejala demam, batuk, flu, dan sesak napas. Beberapa jam kemudian dia meninggal. Informasi langsung menyebar di grup komplek. Aku yang sehari sebelum kejadian itu berinteraksi dengannya semakin diminta mengisolasi diri. Bahkan diminta untuk tidak keluar meski hanya di teras rumah.

Beberapa tetangga membawakan bahan makanan, buah, vitamin, dan diletakkan di pintu pagar, lalu pergi dan mengirimkan whatsapp menginformasikan. Sungguh perlakuan itu semakin membautku terasing dan semakin merasa dikucilkan, bahkan ketika aku pun tidak tahu apakah virus itu bersarang di tubuhku atau tidak. Anggapan dengan alasan berjaga-jaga diri, menjadi tameng orang-orang.

Aku duduk menghadap jendela kaca di kamar. Kerinduan pada masa-masa di luar rumah, pertemuan dengan teman-teman, dan mengingat wajah keluarga dekatku terasa begitu menyayat hati.

Akhirnya, aku menelepon ibu, bertukar kabar, dan saling mengingatkan untuk berhati-hati dengan virus itu.

Ketika merasa membaca dan menulis novel tidak berhasil mengalihkan pikiranku tentang kematian dalam kesendirian, aku membuat roti lagi. Semua bahan kupesan secara daring.

Begitu aroma roti menguar, air mataku menetes. Aku tidak tahu penyebabnya. Aroma yang selalu aku rindukan, ternyata sekaligus menghadirkan ruang hampa yang tidak tahu harus diisi dengan apa.

Hingga di suatu malam, aku harus dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi demam tinggi. Aku mengira terserang Corona.

Sebentar lagi aku akan mati dalam kesendirian. Batinku. Dua orang junior dari UKM Pers berbaik hati mengantarku ke rumah sakit, di saat sebagian besar orang menjauhiku.

“Kalian ndak takut kalau saya Corona?”

“Ya kalau Corona, palingan kita sama-sama dirawat.”

Jawaban yang membuatku agak tenang.

Begitu tiba di rumah UGD, aku justru memberikan nomor ponsel kakakku pada keduanya.

“Jika saya mati, hubungi kakakku.”

Keduanya menerima tanpa banyak bertanya. Aku demam tinggi dan tubuhku mengigil. Dokter langsung memasukkan cairan paracetamol hingga beberapa menit kemudian, aku mulai membaik.

Ternyata, hanya demam biasa, ditambah lagi asam lambung yang berlebihan, membuatku harus diopname.

Ruang inapku berada di lantai empat. Hanya bisa satu orang yang menemani. Bayangan kematian dalam kesendirian semakin mengental.

Setiap hari, aku duduk menatap ke luar jendela kaca ruag rawat inapku. Aku sama sekali tidak mengabari keluarga di kampung. Aku hanya ingin mereka tahu, aku baik-baik saja.

Suatu malam, aku bermimpi melihat ibu. Aku menempati sebuah ruangan dan ibu di luar memanggil-manggil. Wajahnya tampak sendu, tapi aku berusaha tidak mendatanginya. Ibu seperti menyampaikan sesuatu padaku, tapi aku tidak bisa mendengarnya. Aku menangis, hingga terbangun, bantalku basah.

Apakah aku merindukan ibu atau sebaliknya? Tapi cepat-cepat kubuang pikiranku.

Begitu ke luar dari rumah sakit, aku menghubungi Ardian. Ternyata, dia belum balik ke Jakarta dan masih bisa bekerja secara daring.

Pembatasan berkumpul juga mulai dilonggarkan dan kami bertemu di Kafe Siluet yang masih sepi.

“Sepertinya saya akan mati.” Sekonyong-kongyong aku mengutarakan perasaanku.

Ardian menatapku beberapa saat, “Memangnya kenapa? Ndak ada yang bisa tahu ajalnya.” Ardian tertawa, sambil terus menatapku.

Aku memang sengaja tidak memberitahukan saat masuk rumah sakit.

“Entahlah, tapi perasaanku seperti itu.”

“Kau sakit apa?”

Pertanyaan itu membuatku berpikir beberapa saat. Apakah mati memang harus sakit dulu? “Saya maag.”

“Sepertinya kau lelah. Sayangi badan dan pikiranmu. Kau butuh istirahat dan liburan.” Ardian menepuk jidatnya. Dia lebih memilih mengalihkan pembicaraan.

Lagi-lagi, Ardian menanyakan novelku, seolah itu adalah utang yang harus segera aku tepati.

***

Setelah hari itu, perasaan sakit dan akan mati semakin kuat. Beberapa kali, aku harus masuk rumah sakit, tapi dokter selalu bilang tidak ada masalah dengan tubuhku. Aku mulai ragu dengan diagnosa dokter, hingga mencari beberapa rumah sakit untuk mengecek keseluruhan fisikku. Hasilnya tetap sama.

Aku akhirnya menceritakan pada seorang teman yang juga dokter.

“Jika tidak bisa mengendalikan pikiran, minta bantuan sama professional juga ndak apa-apa. Toh itu bukan aib.”

Beberapa hari setelah itu, aku mendatangi rumah sakit Herlin, menemui psikiatri.

Kedatanganku lebih cepat satu jam dari waktu dokter Arni, tapi aku menunggu dengan sabar di depan ruangannya, seolah jika aku berlalu sedetik saja, akan kehilangan kesempatan.

Lalu-lalang pasien dan pengantar memenuhi ruang tunggu. Pengeras suara sahut menyahut antara nama pasien dan juga informasi tentang rumah sakit. Suara mesin nomor antrean seolah tidak pernah berhenti berbunyi.

Begitu namaku dipanggil ke ruangan dokter Arni, jantungku berdebar. Bukan oleh bahagia. Aku sedang takut sesuatu, tapi tidak tahu sumbernya.

Begitu duduk di dalam ruangan yang hanya menyisakan kami berdua, aku berusaha menatap wajah perempuan berkacamata itu. Dia tersenyum, tapi tidak mampu menghangatkan perasaanku. Ruangan itu terasa dingin dan seolah ada sesuatu yang siap menghakimiku.

Air mataku tetiba melesat jatuh disusul isakan yang tidak mampu kutahan lagi. Aku seperti anak kecil yang luluh-lantak di hadapan orang dewasa. Padahal, aku belum pernah bertemu dengan dokter Arni.

Dokter Arni tampak tenang dan tidak berusaha mendistraksi tangisanku. Beberapa saat, tangisanku mereda dan dokter Arni menyerahkan tisu dari atas mejanya. Aku mengelap mata dan pipi perlahan dengan kebingungan yang menebal. Apa sebenarnya yang membuatku merasa begitu sedih.

Kurasakan ruangan itu makin dingin. Entah oleh perasaanku atau suhu AC di ruangan itu.

Dalam batinku sempat bertanya, kenapa dokter jiwa itu tidak berusaha menghentikan tangisanku? Apalagi, selama ini aku tidak gampang menangis di depan orang. Air mataku hanya bisa keluar ketika aku berada dalam kamar sendiri.

Dokter Arni kembali tersenyum, seolah stok senyumnya begitu banyak. Dia lalu menanyakan aktivitas, hobi, dan hal-hal yang paling aku sukai.

Aku mulai bercerita tentang hal-hal yang aku ingat.

“Menangis itu bukan aib, juga bukan tanda kelemahan.” Dokter Arni tersenyum bersahaja.

Aku mulai nyaman dan tidak lagi merasa sedang di ruang seorang dokter.

“Jadi tinggal sama siapa di sini?”

“Oh, saya juga dulu pernah tinggal sendiri dan jauh dari keluarga. Ya semua demi tugas.”

Kalimat dokter Arni itu seperti memantik bom dalam diriku. Air mataku kembali tumpah. Bayangan-bayangan tentang keluarga dan kematian dalam kesendirian berkelebat tanpa bisa aku kendalikan.

“Mungkin karena sudah lama ndak pulang kampung.” Dokter Arni berkata dan aku tidak bisa mengelak atau mengiyakan.

Selama belasan tahun di Makassar, aku memang baru dua kali pulang kampung. Bagiku, pulang tidak memberikan kegembiraan dan lebih hanya pertemuan-pertemuan yang terasa kaku dengan anggota keluarga.

“Dalam kasusmu, pulang kampung bisa jadi obat juga.”

Dokter Arni mengunci hasil enmesisnya hari itu disusul menuliskan satu resep obat dan nasehat.

“Obat bukan hanya yang dimakan, tapi pikiran juga bisa jadi obat atau bisa memicu sakit.”

Dokter Arni sekali lagi memberiku senyum terbaiknya, sambil menuliskan resep. Ada ketakutan yang tetiba menjalar dalam diriku. Ada keraguan yang muncul. Juga banyak pertanyaan yang tidak bisa kuejawantahkan.

Aku menerima resep dokter Arni dan menuju apotek dengan perasaan tidak menentu.

Selepas dari rumah sakit, aku tidak langsung pulang. Aku memilih ke Kafe Siluet.

Kubuka kembali strip obat mungil. Ada keraguan yang bertumbuh perlahan. Namun, aku harus segera mengatasi semua itu.

Kadang, kita memang harus berjalan dan memutuskan sendiri. Menerima atau menolak apa yang ada di hadapan kita.

***

Selama hampir sebulan ini, aku mengonsumsi obat antidepresan dan kontrol ke dokter Arni. Aku juga mulai menimbang apakah harus segera pulang kampung atau sebaliknya mengejar kesuksesan seperti yang diharapkan ibu? Bagiku, Makassar bisa mewujudkan semua keinginan ibu itu.

Hari-hariku dilalui dengan bermacam pertimbangan, hingga di satu titik, aku mencoba memantapkan niat untuk pulang kampung. Saran dokter Arni bukanlah sesuatu yang buruk. Namun, ketika aku sudah siap untuk pulang kampung, Ardian mengabari tentang kondisinya.

Ardian meminta untuk bertemu di restoran. Katanya, dia ingin makan enak sekaligus merayakan sudah beberapa minggu tidak ke luar rumah, bersama istri, seorang ipar.

Kupikir, pertemuan itu juga akan menjadi kesempatan menceritakan hasil pemeriksaan dokter Arni. 

“Pokoknya, kau jangan dulu pulkam sebelum kita ketemu. Kalau sudah beli tiket, batalkan nanti saya yang ganti beli baru.” Ardian menahanku sebisanya.  

“Kapan kau balik ke Jakarta?”

“Nanti kalau ada pekerjaan yang mendesak dan tidak bisa lagi dikerjakan dari sini.”

Kami langsung bersepakat bertemu di Kafe dan Restoran Merah. Meski sebenarnya aku kurang suka dengan keramaian, tapi tidak ada lagi tempat yang paling strategis di antara rumah kami.

Aku disambut keramaian saat tiba dan langsung memilih duduk di sudut. Sofa dan kursi berwarna merah, pendar lampu yang ramai, sepertinya menjadi asal muasal nama tempat itu. Namun, suasana itu tidak bisa mengobati perasaanku yang gamang.

Aku membuka laptop dan membaca kembali manuskrip novelku yang nyaris dua tahun belum rampung. Meski terasa memusingkan memang, tapi aku lebih pusing jika mundur.

Tidak lama, Ardian, istri dan yang kelak kutahu bernama Rana, tiba di kafe dan resto.

Tubuh Ardian seolah tanpa daging. Matanya cekung dan rambutnya sudah mencapai bahu. Andai dia tidak menyapa lebih dulu, aku mungkin tidak bisa mengenalinya.

Kekagetanku dengan tampang Ardian menyatu dengan kebingunganku memulai percakapan, apalagi menyapa. Kami hanya berjabat tangan sejenak.

Mereka duduk dan memesan menu, tanpa sadar atau sengaja tidak merasakan kekagetanku.

“Kau sakit apa?” akhirnya pertanyaan berat itu terucap dari mulutku.

Mereka bertiga tidak menjawab dan saling menatap. “Sakit ringan saja. Ndak lama lagi sembuh, asal rajin terapi.” Ardian menjawab dengan senyum yang dipaksa.

Aku terdiam beberapa saat. Makanan yang hendak kumakan terasa hambar mendadak.

“Jangan khawatir.” Ardian kembali menegaskan kalimatnya.

Ardian yang dulu gemar merokok, kini sudah meninggalkan semua itu. Dia lebih banyak minum air mineral yang tampak dari pesanannya.

Ardian lalu bercerita tentang rencananya mengembangkan platform digital dan juga akan membangun bisnis di bidang digital, termasuk menambah investasi sahamnya.

Iseng-iseng, kutanyakan pada Ardian tentang kehidupan di Jakarta. Aku melihat Jakarta sebagai kota yang menjanjikan banyak kehidupan, tapi tidak untuk kutinggali. Dulu, aku sering diminta bertugas ke Jakarta, tapi selalu kutolak. Aku merasa tidak sanggup hidup berpacu dengan kota yang banyak menarik perhatian orang.

Jakarta yang banyak diagung-agungkan banyak orang, tapi tidak bagiku dan Ardian.

"Saya sebenarnya tidak ingin kerja di Jakarta, tapi karena gaji yang ditawarkan tinggi, bisa buat menabung jadi saya terima." Ardian berkata disusul tawa.

Tawa yang tidak tercermin dari wajahnya, tapi aku memilih senyum basa-basi. Aku merasa ada hal berat yang sengaja disimpan Ardian, tapi tidak punya daya untuk mengorek semua itu.

Ketika pesanan kami sudah lengkap, kami larut dengan makanan masing-masing, tapi pikiranku masih bertanya-tanya, penyakit apa yang membuat Ardian sampai harus terapi dan badannya turun drastis.

“Kita saling mendoakan saja. Semoga sama-sama segera pulih.” Ardian berkata sambil mengunyah dan tatapannya mengarah ke pendar lampu di luar sana.

Aku menjawab aman, tapi terasa pilu dalam dada. Perihal sakitku, kutelan kembali. Pertemuan ini harus dirayakan dengan suka cita, demi menutupi sakit.

“Jangan lupa, novel barumu nanti harus ada namaku di ucapan terima kasih.” Ardian tertawa, hingga tubuhnya terguncang.

Lagi-lagi, aku tidak menemukan alasan dalam kalimatnya yang bisa membuat tertawa. Aku teringat, pernah ada yang berkata untuk menutupi sakit dan luka, orang-orang selalu punya cara memakai topeng bernama ketawa dan senyum.

Pertemuan malam itu berakhir dengan ucapan perpisahan sementara dan saling menyemangati untuk sembuh.

Keesokan subuh, jadwal pesawatku. Aku berangkat dengan ketakutan melawan gangguan kecemasan, sekaligus semangat untuk bisa sembuh dan menghadapi semuanya dengan biasa-biasa saja.

***

Lihat selengkapnya