Roti dan Kopi

Rahmi Djafar
Chapter #13

Kopi Asin dan Pahit

Tidak terasa hampir enam bulan berada di kampung halaman. Aku mulai bosan dan ingin punya kesibukan di luar rumah, bertemu teman-teman, menikmati keramaian dan juga di alam bebas.

Di suatu malam, usai makan, aku membuka whatsapp dan membuatku gugup.

“Mira, Ardian masuk ICU? Soalnya istrinya yang balas pesan saya dari ponsel Ardian.”

Beberapa saat, aku mematung. Berusaha menyinkronkan isi pesan di whatsapp dan kenyataan saat ini dan aku baru menyadari.

Beberapa pekan ini, aku memang tidak komunikasi dengan Ardian. Padahal, selama ini kami rajin komunikasi, bahkan untuk hal-hal sepele sekalipun. Mungkin karena aku terlalu menikmati kehidupan yang melahirkanku untuk terus-terus menjadi orang baru.

Ingatan kembali membawaku pada pertemuan terakhir kami malam itu, adalah makan-makan untuk perpisahan. Ardian juga tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi batal, entah apa pertimbangannya.

Gegas, aku telepon ke Ardian, lalu istrinya, dan juga Rana. Tapi tidak ada jawaban hingga beberapa menit. Aku mencoba mengirimkan pesan Whatapp ke Rana.

“Iya, tapi jangan khawatir dan kuatkan hati Kak Mira.”

Kalimat Rana yang demikian justru membuatku makin tidak tenang. Bagaimana bisa aku disuruh tidak khawatir bersamaan dengan kuatkan hati? Ada yang tidak beres dan mendesak. Firasatku mengatakan ada yang tidak beres.

Malam itu juga, aku langsung memesan tiket pesawat. Keesokan harinya, aku menuju Makassar.

Ruang tunggu Bandara Sultan Babullah menyambut. Orang-orang yang menunggu penerbangan atau yang baru saja turun dari pesawat, tidak mampu mengusik rasa suram yang mengerubungiku.

Perjalanan itu terasa menakutiku dengan caranya. Ruang tunggu bandara terasa dingin, dan jantungku berdebar, meski bagian diriku yang lain berusaha menenangkan.

 

Banyak teman yang menanyakan kondisi Ardian melalui whatsapp, tapi tidak kubalas.

Aku menarik napas dalam, mengembuskan perlahan hingga beberapa kali. Menyaksikan lalu-lalang orang-orang, dan armada pesawat yang bergantian. Kuhamburkan harapan-harapan agar tidak ada hal buruk yang terjadi pada Ardian. Kutahan sekuat tenaga air mata yang hendak mengucur.

Satu jam lebih, aku tiba di Makassar. Sore baru siap-siap datang. Aku langsung menuju rumah, membersihkan sejenak dan merebahkan diri.

Tidak lama, Rana meneleponku dan memintaku segera ke ICU.

“Siapa tahu Kak Mira yang ditunggu.”

Mataku yang hampir terpejam oleh lelah, seketika melebar. Kalimat itu sangat tidak mengenakan. Aku bergegas menuju alamat rumah sakit yang diberikan Rana.

Begitu tiba, aku disambut keluarga Ardian dan istrinya dengan mata sembab, tapi sebelum masuk ke kamar perawatan, tanganku disemprot antiseptik dan pakai masker.

Tetiba, Rana menghentikan langkahku, saat kakiku berayun ke ruang Ardian.

“Kak Mira lihat ini dulu, biar ndak kaget nanti.” Rana memperlihatkan sebuah video.

Napasku langsung terasa berat, ketika melihat video itu. Tubuh dan wajah Ardian seperti hanya tinggal tulang. Selang-selang kecil terpasang di kedua tangannya dan ventilator tampak seperti berupaya menyamarkan separuh wajah Ardian.

Beberapa kali, aku berusaha mengatur napas, seolah sedang berada di ujung lorong yang menakutkan. Udara di sekitar sarat duka.

Aku melangkah gontai. Ruang kaca itu memperlihatkan sebuah monitor bertuliskan angka dan bunyi yang terasa menyayat. Mataku terasa hangat, tapi sekuat tenaga, aku menahan agar tidak menjatuhkan air mata.

Istri Ardian duduk di samping sambil membaca Alquran. Menyadari kedatanganku, dia langsung membisikkan ke telinga Ardian, tapi aku dapat mendengarnya.

“Sahabatmu sudah datang. Kenal kan?”

Ardian berusaha membuka mulutnya, tapi tidak ada suara keluar. Akhirnya, hanya anggukan lemah dan kami saling menatap. Kurasakan ruangan itu seperti kekurangan oksigen. Aku harus kuat di hadapan keluarganya yang tampak rapuh.

“Saya sudah datang dan baik-baik saja. Kau juga akan kembali baik, kan?” aku berusaha menyuntikkan kalimat itu. Entah untuk menyemangati Ardian atau diriku.

Beberapa menit di dalam ruangan itu, tubuhku terasa makin lemas. Aku tidak bisa terlalu lama melihat kondisi Ardian dan menahan tangisan. Aku beralasan hendak ke luar sejenak.

Begitu di koridor, kulihat kiri dan kanan. Hanya ada aku. Saat itulah, kutumpahkan tangisan sekaligus membangun harapan, bahwa Ardian bisa pulih lagi.

Tidak lama, aku masuk lagi dan istri Ardian meminta untuk mengantinya sejenak. Wajah perempuan berkerudung itu tampak lelah dengan kantong mata yang kentara.

Aku duduk di samping kanan Ardian, sambil membuka novelku yang baru saja terbit. Sengaja kuselipkan beberapa novel itu dalam ranselku, untuk berjaga-jaga jika ada sahabat yang memintanya.

 “Saya sudah berhasil menerbitkan novel tentang laut. Sudah bisa menyelam dan melawan trauma akutku. Ada namamu di ucapan terima kasih.”

Aku memaksa tersenyum, meski sama sekali tidak mengusir kegelisahanku. Ardian mencoba mengangguk, disusul air mata mengalir. Cepat-cepat, aku mengambil tisu dan mengeringkannya.

Sebenarnya aku ingin menangis, tapi selalu teringat kata-katanya, dia tidak ingin melihatku menangis.

“Kalau sudah sembuh, saya hadiahkan novel ini bersama tanda tanganku dan nomor rekeningku. Lengkap.” Aku coba menghibur. Entah Ardian atau diriku yang lebih membutuhkan hiburan itu.

Aku menarik napas dalam.

Beberapa saat, aku diam dan yang hanya terdengar suara monitor. Aku benar-benar kehabisan cara berpegangan. Air mataku menetes hingga mengenai tangan Ardian. Kulihat tangan yang sedari tadi tidak bergerak, seketika diangkat sejenak, lalu jatuh lagi.

Aku kaget, tapi tidak ada kata-kata yang bisa ke luar dari mulutku.

“Saya juga sudah sembuh.”

Ardian harus tahu semua informasi tentangku. Aku tidak ingin dia mengkhawatirkanku dalam kepayahannya seperti itu.

Tidak lama, istri Adrian datang. Wajahnya seperti baru bangun dengan mata sembab. Kami tidak banyak berbincang.

Sorot mata istri Ardian tidak mampu menutupi kegundahan hatinya. Dia berusaha tersenyum. Barangkali, itu salah satu pegangan di saat semua harapan dan kepasrahan bertemu.

Dia duduk dan mulai melantunkan ayat Alquran. Aku kembali menatap Ardian sebelum ke luar. Kukatakan, aku tidak pergi kemana-mana, hanya ke depan ruangan duduk-duduk sejenak.

Dua hari berada di rumah sakit, membuatku harus pulang istirahat sejenak. Namun, alih-alih istirahat, aku malah memikirkan tentang Ardian.

Lelahku seketika lenyap. Aku bergegas kembali ke rumah sakit. Entah kenapa, ada perasaan tidak nyaman dalam perjalan itu. Sepanjang jalan, air mataku sulit dibendung.

Lihat selengkapnya