Roti dan Kopi

Rahmi Djafar
Chapter #13

Memeluk Rumah

Meski rajin menyemai harapan, tapi rasa lelah tidak bisa lenyap meski perkuliahan sedang libur.

Kematian Ardian telah membawa kesadaran lain dalam diriku. Sahabat dan teman-teman terdekat tidak selamanya ada di samping kita. Bukan karena tidak suka, melainkan masing-masing orang punya kehidupan yang tidak selamanya bisa selalu ada di samping.

 Aku benar-benar merasa sendiri, meski punya banyak kesibukan dan di keramaian. Apa yang selama ini aku kejar, tidak pernah aku capai. Kesuksesan yang diinginkan ibu dan keinginan untuk memperlihatkan pada ibu dan keluarga tentang keberhasilan, nyatanya tidak membuatku menemukan semua itu.

Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk kembali pulang kampung. Setidaknya, meski tidak punya teman-teman lagi, aku masih punya keluarga, seperti kata dokter Arni. Aku juga harus mengenyampingkan tentang sikap ibu.

Aku tinggal sementara di Dusun Balu, bersama ibu.

Sesekali kami pergi ke kebun, mengecek pohon pala yang baru ditanam, atau melihat beberapa tanah warisan dari Nenek Umi dan ayah.

Meski sikap ibu masih tetap sama, tapi aku tidak lagi memedulikan itu. Aku lebih menikmati suasana alam sekitar. Namun, aku merasa rencana rehat dari kesibukan dan menikmati suasana alam, tidak berjalan sesuai rencana.

Halmahera yang dulunya masih banyak kunang-kunang, kini sudah ramai oleh perusahaan tambang. Apalagi, ibu kota provinsi sudah dipindahkan ke sana. Banyak perumahan sudah terbangun, dan juga perkantoran. Tidak jauh dari Dusun Balu, bandara internasional juga sedang disiapkan.

Orang-orang barangkali melihat pulau itu perlahan gemerlap dan memiliki denyut kehidupan. Namun, tidak bagiku. Aku merasa semakin banyak kehilangan. Halmahera tampak rapuh sekaligus berjuang untuk bertahan.

Meski di Dusun Balu belum ada perusahaan tambang, tapi dia begitu dekat dengan bandara. Tanah yang telah diperjuangkan Nenek Umi, Ayah, juga ibu sejak aku belum lahir, juga mulai banyak dilirik orang.

Tentu saja, harga tanah akan terus naik dan akankah kami melepaskan tanah-tanah itu demi uang? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul bersamaan dengan kesadaran isi tabungan yang menipis, ditambah cicilan rumah.

Hari itu, aku dan ibu duduk di tepi pantai. Baru kali ini, kami berada dalam situasi yang terasa begitu intim. Meski banyak terdiam, tapi kami seolah bertemu dalam hati. Aku seperti merasa ada yang menenangkan.

"Kalau mau jual, pasti dari dulu mama so (sudah) jual. Itu tanah leluhur." ibu berkata dengan nada tajam.

Aku menangkap ada kesedihan, sekaligus kemaran dari sorot mata ibu.

Ibu lalu menceritakan, ketika aku dan saudaraku masih sekolah, tidak sekalipun dia berniat melepaskan tanahnya demi uang. Ibu lebih memilih meggadaikan SK, menjual roti, meminjam uang ke bendahara dinas, dan menjual kopra dari kebun kelapa peninggalan Nenek Umi yang tidak seberapa.

Rencana jual tanah itu akhirnya aku abaikan, sekaligus pasrah jika cicilan rumahku tidak berhasil aku lunasi dan kehilangan.

“Rezeki itu ada untuk orang yang berusaha dan berdoa.” Ibu tetiba membuka percakapan. Dia seolah tahu apa yang sedang berkecamuk dalam benakku.

Aku tidak menjawab dan hanya mengangguk. Aku seperti berada dalam kepasrahan dan malas lagi berpikir kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

“Nanti mama bantu soal cicilan rumah.” Kalimat ibu itu terdengar menenangkan, tapi sekaligus membuatku merasa kalah.

Aku yang dulunya punya bebebrapa pekerjaan sampingan dan utama, kini seperti kehilangan arah.

Apalagi, bekerja sebagai dosen baru juga tidak menjamin keuangan stabil. Gaji yang diterima hanya cukup untuk keperluan harian.

Sekitar satu bulan di Dusun Balu, kami pun ke Tidore. Aku teringat kata-kata Pak Yanto dan Puang Ide. Kopi Dabe yang aku cari tempat produksinya selama ini ada di Tidore.

Siang itu, dengan motor dan modal bertanya, aku melesat ke sebuah desa di puncak dataran tinggi Tidore. Sebuah desa di dekat puncak Gunung Tidore, harus aku datangi, berdasarkan petunjuk orang-orang. Namun, di pertengahan jalan, motorku mogok, padahal jalanan tidak begitu menanjak.

Aku menatap ke sekeliling, tidak ada satu pun orang yang tampak di jalan, apalagi melintas dengan kendaraan.

Aku duduk di tepi jalan. Beberapa menit kemudian, seorang lelaki berbadan tegap mengendari motor King dari arah Kalaode sepertinya melihatku dan mendekat.

Pemilik postur dan wajah orang itu masih aku kenali. Namun, aku merasa enggan dan malu untuk meminta bantuannya. Begitu motornya berhenti, aku langsung menyebut namanya meski terasa rikuh.

Arman langsung menawarkan bantuan, dengan senyum merekah, seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

Dia memeriksa motorku beberapa saat, lalu membongkar sesuatu di bagian mesin dan tidak lama, motor berhasil menyala.

Saat tahu aku akan mencari Kopi Dabe, Arman justru tertawa, tapi aku terdiam dan bingung. Tanpa menyebut penyebab tawanya, Arman menawarkan bantuan untuk menemani.

 Begitu tiba, sebuah kafe berpagar bambu di ketinggian menjadi pilihanku. Kami duduk di sana, menghadap lautan dan Pulau Maitara yang tampak kecil. Di bawah pohon cengkih dan durian, kami duduk bersisian, tapi lama tidak ada kata-kata yang ke luar dari mulut masing-masing.

Aku berpura-pura sibuk memotret pemandangan dan ketika kopi pesananku datang, aku berbasa-basi dan menanyakan kabar. Dia pun bercerita tentang upayanya meneleponku, tapi tidak pernah tersambung.

Lihat selengkapnya