Meski rajin menyemai harapan, tapi rasa lelah tidak bisa lenyap.
Kematian Ardian telah membawa kesadaran lain dalam diriku. Sahabat dan teman-teman terdekat tidak selamanya ada di samping kita. Bukan karena tidak suka, melainkan masing-masing orang punya kehidupan yang tidak selamanya bisa selalu ada di samping.
Aku benar-benar merasa sendiri, meski punya banyak kesibukan dan di keramaian. Apa yang selama ini aku kejar, tidak pernah aku capai. Kesuksesan yang diinginkan ibu dan keinginan untuk memperlihatkan pada ibu dan keluarga tentang keberhasilan, nyatanya tidak membuatku menemukan semua itu.
Aku memutuskan untuk pulang kampung lagi.
Meski tidak punya teman-teman lagi, aku masih punya keluarga, seperti kata dokter Arni. Aku juga harus mengenyampingkan tentang sikap ibu.
Tiba di Ternate, aku lanjut ke Dusun Balu bersama ibu. Meski bersama, tapi hubungan di antara kami tetap saja kaku. Aku sudah bisa menerima kenyataan itu dan tidak menggubrisnya lagi.
Sesekali kami pergi ke kebun, mengecek pohon pala yang baru ditanam, atau melihat beberapa tanah warisan dari Nenek Umi dan ayah.
Suasana alam sekitar cukup membantu merilekskan pikiranku dari kemacetan, kehilangan sahabat, rasa lelah pada pekerjaan, dan bermacam kekalutan dalam diri, yang entah oleh apa.
Sayangnya, di malah hari, Halmahera yang dulunya masih banyak kunang-kunang, kini terusir. Aku seperti baru menyadari sesuatu yang selama ini kulewati begitu saja.
Sudah banyak perusahaan tambang. Apalagi, ibu kota provinsi sudah dipindahkan ke sana. Banyak perumahan sudah terbangun, dan juga perkantoran. Tidak jauh dari Dusun Balu, bandara internasional juga sedang disiapkan.
Orang-orang barangkali melihat pulau itu perlahan gemerlap dan memiliki denyut kehidupan. Namun, tidak bagiku. Aku merasa semakin banyak kehilangan. Halmahera tampak rapuh sekaligus berjuang untuk bertahan hidup dalam kerokan di perutnya.
Meski di Dusun Balu belum ada perusahaan tambang, tapi dia begitu dekat dengan bandara. Tanah yang telah diperjuangkan Nenek Umi, Ayah, juga ibu sejak aku belum lahir, juga mulai banyak dilirik orang.
Tentu saja, harga tanah akan terus naik dan akankah kami melepaskan tanah-tanah itu demi uang? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul bersamaan dengan kesadaran isi tabungan yang menipis, ditambah cicilan rumah.
Hari itu, aku dan ibu duduk di tepi pantai. Baru kali ini, kami berada dalam situasi yang terasa begitu intim. Meski banyak terdiam, tapi kami seolah bertemu dalam hati. Aku seperti merasa ada yang menenangkan.
"Kalau mau jual, pasti dari dulu mama so (sudah) jual. Itu tanah leluhur." ibu berkata dengan nada tajam.
Aku menangkap ada kesedihan, sekaligus kemaran dari sorot mata ibu.
Ibu lalu menceritakan, ketika aku dan saudaraku masih sekolah, tidak sekalipun dia berniat melepaskan tanahnya demi uang. Ibu lebih memilih menggadaikan SK, menjual roti, meminjam uang ke bendahara dinas, dan menjual kopra dari kebun kelapa peninggalan Nenek Umi yang tidak seberapa.
Rencana jual tanah itu akhirnya aku abaikan, sekaligus pasrah jika cicilan rumahku tidak berhasil aku lunasi dan kehilangan. Aku bahkan sudah berpikir untuk meni
“Rezeki itu ada untuk orang yang berusaha dan berdoa.” Ibu berkata lagi.
Aku tidak menjawab dan hanya mengangguk. Aku seperti berada dalam kepasrahan dan malas lagi berpikir kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.
“Nanti mama bantu soal cicilan rumah.” Kalimat ibu itu terdengar menenangkan, tapi sekaligus membuatku merasa kalah.
Aku yang dulunya punya beberapa pekerjaan sampingan dan utama, kini seperti kehilangan arah.
Apalagi, bekerja sebagai dosen baru juga tidak menjamin keuangan stabil. Gaji yang diterima hanya cukup untuk keperluan harian.
Sekitar satu bulan di Dusun Balu, kami pun ke Tidore. Aku teringat kata-kata Pak Yanto dan Puang Ide. Kopi Dabe yang aku cari tempat produksinya selama ini ada di Tidore.
Siang itu, dengan motor dan modal bertanya, aku melesat ke sebuah desa di dataran tinggi Tidore. Namun, di pertengahan jalan, motorku mogok, padahal jalanan tidak begitu menanjak.
Aku menatap ke sekeliling, tidak ada satu pun orang tampak di jalan, apalagi melintas dengan kendaraan.
Aku duduk di tepi jalan. Beberapa menit kemudian, seorang lelaki berbadan tegap mengendari motor King dari arah Kalaode sepertinya melihatku dan mendekat.
Pemilik postur dan wajah orang itu masih aku kenali. Namun, aku merasa enggan dan malu untuk meminta bantuannya. Begitu motornya berhenti, aku langsung menyebut namanya meski terasa rikuh.
Arman langsung menawarkan bantuan, dengan senyum merekah, seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
Dia memeriksa motorku beberapa saat, lalu membongkar sesuatu di bagian mesin dan tidak lama, motor berhasil menyala.
Saat tahu aku akan mencari Kopi Dabe, Arman justru tertawa, tapi aku terdiam dan bingung. Tanpa menyebut penyebab tawanya, Arman menawarkan bantuan untuk menemani.
Begitu tiba, sebuah kafe berpagar bambu di ketinggian menjadi pilihanku. Kami duduk di sana, menghadap lautan dan Pulau Maitara yang tampak kecil. Di bawah pohon cengkih dan durian, kami duduk bersisian. Lama tidak ada kata-kata yang ke luar dari mulut masing-masing.
Aku berpura-pura sibuk memotret pemandangan. Ketika kopi pesananku datang, aku berbasa-basi dan menanyakan kabar. Dia pun bercerita tentang upayanya meneleponku, tapi tidak pernah tersambung.
Arman bahkan beberapa kali ke rumahku di Ternate, tapi hanya sampai di luar.
Entah kenapa, ada rasa bersalah telah memblokir nomornya, tapi tidak kuberi tahu.