Seorang pria berjas hitam legam meletakkan lembaran kertas di atas meja sambil mendesah, wanita berkerudung di sebelahnya menatapku dengan wajah serius. “Sampai kapan masa percobaanmu?”
“Kalau dihitung secara efektif berarti ini bulan ke-tiga, namun saya bergabung di sini sejak enam bulan lalu.” Jawabku berusaha menatap mata pria itu meski merasa gugup.
“Dirumahkan selama tiga bulan akibat pandemi ‘kan? Seharusnya saya perjelas ini lebih awal, kamu tidak cukup berpengalaman dan tidak bisa memenuhi ekspektasi saya meski lulus dengan predikat cumlaude.” Jelas pria berusia 30 tahun itu, dan aku bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini.
“S-saya akan berusaha lebih un—“
“Saya belum selesai bicara!” bentak beliau dan aku hanya bisa menunduk, “saya bosan dengan janji yang tidak ada kepastiannya seperti itu. Kontrak kerja kamu akan saya akhiri, terima kasih dan semoga kamu bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.”
Wanita berkerudung yang bekerja sebagai HRD hanya diam sambil menggiringku keluar dari ruangan direksi, pekerja lain menatapku sekilas saat keluar dari pintu kaca yang tidak kedap suara tersebut, namun mereka membuang muka dengan mudahnya seakan bukan apa-apa. Memang tidak ada yang cukup dekat denganku di kantor ini karena aku masih karyawan baru, namun apakah tidak ada dari mereka yang memiliki rasa simpati?
Ini sudah jam 6 sore, satu jam setelah pulang kantor dan aku masih harus menunggu bus karena tinggal di luar kota, jika saja aku punya kendaraan sendiri pasti akan lebih mudah. Tapi itu sama saja menyalahkan orang tua yang membanting tulang demi bisa membayar uang kuliahku.
Azan isya’ berkumandang dan aku masih berjalan menuju rumah, tempatku beristirahat setelah bekerja seharian. Meskipun tak lagi memiliki atap setelah roboh beberapa hari lalu, namun aku masih bersyukur karena masih ada beberapa bagian yang bisa digunakan untuk berteduh dari teriknya panas.
Gelapnya malam dan pintu yang terkunci seakan menjadi pertanda bahwa tidak ada orang di dalamnya, bapak dan ibuku bekerja sampai malam karena hanya buruh pabrik sedangkan adikku pasti sedang di rumah temannya untuk lari dari pahitnya keadaan keluarga kami.
Aku meletakkan tas dan pergi keluar untuk mencari makan dengan berbekal uang sepuluh ribu, uang yang berusaha aku hemat karena tidak mendapatkan penghasilan selama dirumahkan. Aku merasa kesal pada orang yang seenaknya mengambil keputusan tanpa memikirkan perasaanku, ‘Kalau tahu begini lebih baik aku cari pekerjaan lain setelah dirumahkan, padahal aku sangat berharap pada pekerjaan pertamaku ini.’
Aku merogoh ponsel usang dari saku celana sambil mencoba menelpon orang-orang—yang aku anggap teman—dengan penuh harap.
“Halo! Jaf—”
“Sorry, aku lagi di jalan. Nanti aja kalau aku udah sampai rumah!” dan panggilan itu terhenti, aku berusaha mencoba menelpon temanku yang lain namun tak tersambung.
Hingga akhirnya ada satu yang mengangkat panggilanku, “Halo! Suc—“
“Kenapa kamu telepon pacarku?” suara laki-laki itu membuatku langsung mematikan ponsel tanpa mengatakan apapun.