“Kamu di sini dulu, ya...” ibu meletakkan tubuhku di atas kasur dengan perlahan, “sebentar lagi bapak pulang kerja, jadi ibu mau masak dulu.”
Aku hanya menatap beliau sambil memeluk guling kecil di sebelahku dan ketika ibu sudah beranjak menuju dapur, aku mulai mendekat ke arah sosok yang aku lihat dari pantulan cermin. ‘Apa yang sebenarnya terjadi?’
Pria misterius itu keluar dari cermin dan membuatku sedikit takut, langkahnya terhenti begitu aku memundurkan tubuhku perlahan untuk menjaga jarak darinya. Dia terlihat mengerti dengan apa yang aku pikirkan dan bibirnya bergerak hendak menjawab pertanyaanku. “Seperti yang saya katakan sebelumnya, kamu kembali menjadi anak usia 3 tahun.”
‘Maksudku, kenapa ini bisa terjadi? Seharusnya aku mati setelah terjun ke sungai,’ batinku sambil menatap tangan mungilku, ‘siapa anda?’
“Saya hanya pembawa pesan, tugas saya adalah menyampaikan hal yang harus diketahui oleh jiwa muda putus asa... bahwa bunuh diri bukanlah jawaban dari semua hal.”
‘Aku juga tahu... tapi semua ini begitu berat,’ aku mulai menitikan air mata dan sosok itu duduk di sebelahku dengan perlahan.
“Kamu beruntung, tidak semua orang diberi keistimewaan untuk memilih kehidupan yang benar-benar diinginkan. Sebagai anak usia 3 tahun, kamu masih punya kesempatan agar masa depan seperti yang kamu alami sebelumnya seakan tidak pernah terjadi.”
‘Jadi aku telah benar-benar kembali ke masa lalu?’ pria itu mengangguk perlahan, ‘tapi kenapa aku?’
“Kamu adalah orang yang berusaha hidup di jalan yang lurus, selalu mendahulukan kepentingan orang lain daripada keegoisanmu, menghindari permusuhan dan juga dosa, meskipun semua itu memberikan penyesalan yang terus membekas di ingatan.”
‘Karena aku selalu berusaha menjadi orang yang baik, maka Tuhan memberikan kesempatan kedua padaku?’ pria itu kembali berdiri mendengar apa yang aku pikirkan.
“Dengan syarat kamu harus memilih salah satu jalan yang akan berpengaruh pada masa depanmu!” pria itu mengangkat kedua tangannya dan muncul cahaya dari keduanya.
Aku hanya menatapnya tidak percaya sambil menelan ludah, “Apakah kamu akan memilih untuk mengubah hidupmu? Atau kamu memilih untuk memperbaiki hidupmu?”
Mataku menatap kedua tangan bercahaya tersebut sambil memikirkan pilihan yang harus aku ambil, sebuah pilihan yang akan menentukan masa depanku kelak.
‘Apa perbedaan dari kedua pilihan itu?’ tanyaku penasaran.
“Mengubah kehidupan artinya melakukan hal yang berbeda dari kehidupanmu sebelumnya, meskipun akan ada hal yang tetap sama karena beberapa pemicu dalam perjalananmu nanti.” Jelasnya yang membuatku ragu.
‘Kalau memperbaiki kehidupan?’