Ruang

Aida Nabila
Chapter #3

Teman

Di dalam kelas, seperti biasa Kelana hanya tertidur, memanfaatkan waktu sebelum kelas dimulai. Namun Kelana terbangun ketika mendengar suara Naya yang sedang menelepon disebelahnya. Ia menoleh ke arah temannya itu,ia sedang sibuk berbicara dengan pacarnya,Raihan. Naya sering bercerita tentang Raihan pada Kelana. Naya bilang ia sangat suka dengan Raihan yang perhatian padanya. Sampai-sampai saat Naya bilang ia belum makan saja sering dibelikan roti bakar atau martabak. Sayangnya, Raihan cukup posesif. Ia akan marah-marah padanya ketika ketahuan mengobrol dengan lelaki lain. Raihan tidak akan pernah percaya jika Naya menjelaskan bahwa ia dan teman lelakinya sedang kerja kelompok. Raihan akan terus menuduh Naya selingkuh dengan lelaki lain. Seperti sekarang, sepertinya mereka sedang bertengkar lagi. Teriakan Raihan sampai terdengar oleh Kelana yang duduk bersebelahan dengan Naya. 

Naya menyenggol tempat pensil Kelana, ia mengambilnya dari lantai dan memberikannya pada Kelana. Kelana melihat tangan Naya yang lebam. Ia terkejut melihat lebam yang cukup besar itu, disekitar area lebam, kulitnya masih berwarna kemerahan dan samar-samar membentuk sebuah telapak tangan. Selesai Naya menelepon Raihan, Kelana bertanya pada Naya.

“Nay, kenapa tangan kamu lebam?”

“Aah, ini. Bukan apa-apa kok”

Naya menarik lengan kemejanya dan menutupi tangannya yang lebam itu.

“Aku kemarin jatuh, terus tanganku kena batu”

“Nay, jawab yang jujur. Mana mungkin lebammu itu karena tanganmu terkena batu”

 “-sejak kapan batu bisa buat bekas telapak tangan kayak gini Nay?”

Kelana menggenggam tangan Naya yang tertutup oleh lengan kemeja. Sedangkan Naya, matanya mulai memerah dan cukup terdengar suara nafasnya tersengal. Ia sedang berusaha menahan tangisnya.

“Ini semua gara-gara Raihan ya?”

Kelana menarik kedua lengan Naya, menarik lengan kemeja,dan melihat kedua tangan Naya yang sama-sama lebam.

“Mau sampe berapa kali lagi sih kamu disakitin Raihan?”

“-aku kan udah bilang kalau Raihan itu gak sayang sama kamu. Mana ada orang yang sayang bisa nyakitin kayak gini Naay”

Naya menutupi tangannya dengan kemejanya lagi, dia berbicara pada Kelana dengan terbata-bata.

“Na, dia itu sayang sama aku kok. Mungkin dia marah-marah sama aku karena lagi pusing sama tugas maketnya aja. Besok-besok juga dia pasti baik sama aku. Kamu gak perlu sekhawatir itu Na”

“Siapa yang kamu bohongin sih Nay? Udah jelas-jelas dia itu lebih sering nyakitin kamu daripada bahagiain kamu. Please, kamu harus sadar sama situasinya. Hubunganmu tuh udah gak sehat”

“Na, kamu tuh gak tahu apa-apa Na. Tahu apa kamu tentang hubungan yang gak sehat? Kamu aja gak pernah ngerasain jatuh cinta kan?”

Hati Kelana sakit, mulut Kelana seakan-akan terkunci. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Suasana kelas menjadi hening ketika dosen sudah masuk kelas. 

“Selamat pagi semuanya. Mari kita awali kelas pagi ini dengan berdoa”

Kelana hanya terdiam, apa benar yang dikatakan Naya? Yang ia rasakan dulu itu jatuh cinta atau bukan? Yang ia rasakan hanya sakit hati. Baginya cinta itu hanya sebuah omong kosong. Bualan yang suatu saat akan membuat kedua belah pihak saling membenci. Atau lebih buruknya mungkin mereka akan saling meninggalkan. Lalu kenapa harus bersama, padahal suatu saat akan saling meninggalkan?

***

Kelana berjalan sendirian seusai kelas berakhir. Ia terlihat tidak bersemangat dan hanya melamun saat berjalan. Ia menghembuskan nafas kencang. Memasang earphone, dan pergi ke kantin. 

“Bu, aku beli jus mangga satu gak pakai gula” 

“Iya, ditunggu ya” Jawab ibu kantin

Kelana menganggukkan kepalanya. Tak berapa lama, jus mangganya sudah berada di tangannya. Selesai membayar jusnya, ia mencari tempat duduk yang kosong. Ia pergi ke pojok kantin dan duduk sendirian disana. Ia memperhatikan ke luar jendela yang langsung memperlihatkan pepohonan. Tiba-tiba Bena datang dan menarik sebelah earphone dan memasangkannya ke telinganya. Saat itu pula, Kelana menoleh pada Bena, menarik sebelah earphonenya, dan memasangkannya ke telinganya lagi. Bena menarik lagi earphonenya dan memasangkannya ke telinganya.

“Suara ombak emang bikin hati tenang ya”

Kelana lagi-lagi tidak menghiraukan ucapan Bena.

“Tahu gak Na? Bena itu artinya ombak. Orang tuaku bilang mereka menamaiku seperti itu karena saat pertama kali mereka bertemu di sebuah pantai yang cantik, mereka mendengar suara ombak yang sama kencangnya seperti detak jantung mereka”

“-seakan Semesta menuntun pertemuan mereka”

Kelana menoleh ke arah Bena. Merasa diperhatikan, Bena berbicara dengan lebih antusias lagi.

“Kalau kamu kangen aku, kamu bisa dengerin suara ombak ini. Anggap aja ini suaraku yang manggil-manggil nama kamu”

Bena tersenyum dengan manisnya, sayangnya Kelana hanya mendelikan matanya.

“Ngapain sih kakak disini? Bukannya kakak janji kalau aku udah jawab pertanyaan kakak, kakak gak akan ganggu aku lagi kan?”

Bena tertawa getir, entah sampai kapan menunggu Kelana berbalik menyukainya. Harus sesabar apasih untuk menunggu Kelana agar ia mau jadi pacarnya?

“Na, jawaban kamu itu gak menjawab pertanyaanku Na”

“Kamu malah jawab cari cewek lain”

“Aku butuh jawaban pasti dari kamu Na. Kamu tinggal jawab ya atau gak, itu aja”

Kelana dan Bena saling bertatap-tatapan. Kelana memutuskan kontak matanya dan meneguk jus mangganya. 

“Tahu gak Na?, kamu tuh perempuan paling sempurna di mataku Na. Kamu cantik, kamu pintar, dan aku percaya kamu ini orang yang baik hatinya”

Bena mengingat setiap kali matanya menatap Kelana, ia tidak pernah gagal untuk terlihat cantik di matanya. Bahkan, ketika Kelana sedang melakukan kegiatan di luar kampus yang membuatnya harus terkena lumpur dan berpeluh keringat, menurut Bena Kelana tetap perempuan paling cantik. Ia juga tahu kalau Kelana ini adalah orang yang pintar, karena temannya sering menceritakan kalau Kelana selalu bisa menjawab pertanyaan dengan baik ketika dosen bertanya padanya. Diam-diam, Bena juga pernah melihat Kelana yang membuang sebuah botol plastik yang tercecer dari tempat sampah, dan kadang ia juga melihat Kelana yang tersenyum dan mengelus lembut kucing yang menghampirinya. Sedangkan Kelana, ia malah tersenyum miring mendengar ucapan Bena yang berpikir bahwa ia adalah orang yang baik.

“Halo effect”

“Hah? Apa maksud kamu Na?”

“Ya halo effect, kakak nganggep aku baik karena kakak udah anggap aku pintar dan cantik”

Lihat selengkapnya