Ruang

Aida Nabila
Chapter #5

Terima Kasih

Aku mendengar suara ombak keras yang sepertinya menghantam sesuatu yang keras pula, mungkin itu sebuah karang. Pandanganku tertuju pada laki-laki yang berada di depanku, ia mengenakan kemeja putih. Dibelakangnya terdapat tirai putih yang bergerak tertiup angin. Aku melihat pada wajah lelaki itu dan aku melihat orang yang tidak asing. Orang yang selama ini sering berada di sekitarku. Tidak seperti biasanya, ia bertatapan dingin. Tidak ada lekukan senyuman dari mulutnya. Suara yang sering membuatku bising setiap hari, hilang saat ini.

Ada rasa tak asing sekaligus takut saat melihatnya. Bukan dia saja yang pernah bertatapan dingin seperti ini.

Tapi aku masih takut dan membenarkan peristiwa ini pasti akan terjadi. Ya, orang yang terlihat baik dan sangat mencintaiku pasti suatu saat akan seperti ini. Lama-lama ia akan muak dan bosan denganku. Mungkin ia juga akan berusaha untuk meninggalkanku. Seharusnya aku tidak berharap ia akan baik padaku kan? Sudah sepantasnya dia berlaku seperti itu. Toh, aku juga sering mengabaikannya. Lalu mengapa rasa sakit ini masih ada?

Tiba-tiba aku mendengar suara tertawa, dan aku terbangun dari mimpiku. Aku memperhatikan seisi kelas yang sedang menatapku. Suara tertawa itu terdengar lebih keras.

“Nah, saya kan sudah bilang kalau sedang kelas tidak boleh ada yang tidur”

Aku melihat ke depan layar proyektor yang menampilkan fotoku yang sedang tertidur di kursi. Aku menutupi bukuku. Gawat, gambarku malah terlihat disana.

“Bapak baru tahu sekarang mata kuliah Statistika yang isinya hitungan atau kurva bisa diganti dengan gambar manusia ya?”

Seisi kelas tak henti-hentinya menertawakanku. Aku hanya terdiam, rasanya kesal dan malu bercampur jadi satu. Tapi aku juga tidak bisa melakukan apa-apa. Fotoku sudah terpajang disana, ditertawakan habis-habisan oleh seisi kelas.

“Sekarang, Mba Kelana Jingga mau presentasi Korelasi Antara Kekayaan dengan Kedermawanan memakai gambarnya ya?”

Aku diam dan tidak menjawab pertanyaan Pak Dito, Dosen Statistika di kelasku. Pak Dito bertanya sekali lagi padaku. 

“Mba Kelana, bisa jelaskan apa yang saya terangkan tadi?”

Aku melihat Pak Dito yang dari tadi tertawa melihatku tertidur, kini ia terlihat kesal denganku yang tidak menjawabnya.

“Ini alasan tidak boleh tertidur di kelas, kalian tidak akan bisa mengerti materi yang saya ajarkan. Untuk apa pergi ke kelas saya jika kalian hanya akan tidur di sini?”

Pak Dito mempertanyakan hal yang sudah jelas pada mahasiswa dalam kelas. Aku tidak marah padanya. Walaupun dia memang menjengkelkan karena mempermalukanku di kelas, dia punya niat baik saat melakukannya. Dia tidak mau melihat mahasiswanya tidak belajar dengan baik. Oke, kali ini, aku akan menjawabnya.

“Korelasinya negatif, tingkat kekayaan seseorang berbanding terbalik dengan tingkat kedermawanannya. Artinya jika seseorang memiliki tingkat kekayaan yang tinggi, maka ia akan cenderung lebih pelit untuk berbagi dengan orang lain”

Pak Dito terlihat terkejut, begitu pula dengan mahasiswa lain. Aku merasa risih dengan tatapan dari banyak orang. 

“Itu intinya yang saya pelajari dari penjelasan bapak. Sekarang, saya ijin keluar dulu pak. Saya mau cuci muka agar tidak mengantuk di kelas”

Aku menyinggungkan sedikit senyum di wajahku, lalu pergi keluar kelas. Suasana kelas sudah tidak nyaman lagi, dan aku memutuskan untuk kabur dari kelas.

Aku malas pergi ke perpustakaan, dan aku akhirnya memilih pergi ke kantin. Kebetulan dari pagi aku belum makan dan sepertinya saat jam-jam kelas kantin masih sepi. Aku memutuskan untuk membeli jus mangga dan semangkuk mie ayam. Meja-meja masih kosong dan aku melihat ada Kak Bena yang duduk di tengah-tengah, ia menatap ke luar kantin sambil menghisap rokoknya. Sebentar, apa dia sedang merokok sekarang? Aku baru tahu kalau dia ini perokok.

Ah, itu tidak terlalu penting. Yang terpenting sekarang adalah pergi jauh darinya. Tuhan, aku mohon sehari saja aku ingin hariku damai tanpa melihatnya. 

Kak Bena memanggil namaku tepat saat aku berusaha melangkah jauh darinya. Kak Bena tersenyum dengan lebarnya di depanku. Seolah-olah dia telah menang untuk membuatku terperangkap dengannya. Tuhan, bisakah kau membuatnya berhenti berada di sekitarku?

Ia membawakan mangkuk mie ayam dan satu tangannya ia pakai untuk menggandeng tanganku. Yang selalu membuatku kesal padanya karena ia sering melakukan sesuatu sesukanya. Ia tidak pernah menanyakan apa aku suka atau tidak. Seperti sekarang, ia membawa makananku dan menggandeng tanganku, ia langsung melakukannya padahal aku tidak suka jika orang lain menggandeng tanganku, terlebih dia adalah orang asing yang sama sekali tidak mengenalku. Dan yang selalu membuatku bingung adalah aku tidak pernah bisa mengatakan ‘tidak’ padanya. Seolah-olah aku setuju dengan apa yang dia lakukan padaku dan ini sudah menjadi salahku karena telah membuatnya tidak berhenti untuk mendekatiku.

Aku duduk di sebelahnya dan memakan mie ayamku. Aku tidak menawarkan padanya mie ayamku atau jus manggaku karena jika ia ingin makan atau minum ia bisa pesan sendirikan? Tapi yang terpenting adalah aku berusaha agar dia tidak besar kepala dengan perlakuanku padanya. Jangan-jangan jika aku menawarkan makanan padanya, ia bisa besar kepala karena mengira aku telah menganggapnya sebagai teman, atau lebih parah dia akan menganggap bahwa aku telah membuka hati padanya.

Aku harus bergegas menghabiskan makananku agar bisa menjauh darinya.

“Buru-buru amat makannya”

Hmm, aku malas menjawabnya.

“Aku ganggu kamu ya?Sampai-sampai kamu buru-buru makannya biar bisa pergi dari aku”

Tawa Kak Bena. Seharusnya kalau dia tahu, dia berhenti untuk berada di sekitarku kan?

“Kamu gak mau bagi makanan ke aku Na?”

“Enggak” Jawabku singkat.

“Kakak lebih milih menghisap rokok daripada makan mie ayam kan?”

Kak Bena tersenyum, ia mengambil rokok dari saku jaketnya. Ia menghisap rokoknya dan memandang ke luar jendela. Ia terlihat sedih, seakan-akan sedang mengenang sesuatu.

“Kamu gak risih apa sama asap rokok? Biasanya perempuan seperti kamu akan protes jika ada yang merokok di dekatnya”

Perempuan seperti aku? Perempuan seperti apa maksudnya?

“Gak apa-apa, aku gak perduli, ayahku perokok juga kok”

Setelah itu, tidak ada yang memulai percakapan diantara kami. Aku sibuk makan dan dia sibuk menghisap rokoknya. Kami saling diam dan seharusnya aku merasa lebih tenang jika seperti inikan? Tapi kenapa aku merasa gelisah ya? Apa karena aku merasa bersalah padanya? 

  Selesai dengan makananku, aku mengambil tasku lalu bersiap untuk bangun dari kursiku.

“Na, hati-hati ya”

Kak Bena tidak biasanya berkata seperti itu, aku menjawabnya dengan anggukkan kepala.

Aku pergi ke perpustakaan dan dia tidak mengikutiku lagi. Sesampainya di sana, aku melihat Naya yang sedang mengobrol dengan ibu Diana, sepertinya ia mau meminjam buku yng dari tadi ia pegang. Saat hendak pergi dari perpustakaan, ia melihatku yang baru datang ke sini, ia menahan tawanya.

“Na, tadi satu kelas langsung bengong semua waktu kamu pergi dari kelas tahu gak! Kocak banget deh pokoknya”

Aku tidak perlu menjawabnya. Dia sudah tahu kalau aku memang tidak akan pura-pura tertawa atau berusaha menjawab pernyataannya. Ia masih tertawa sambil memegang perutnya. Memang dia adalah orang yang mudah tertawa, berbeda sekali denganku. Ia menghembuskan nafas berkali-kali sampai akhirnya ia kembali berbicara.

“Na, tadi kamu kemana? Aku kira kamu ada di perpus”

“Ke kantin”

Jawabku cepat, ia membuka tasnya, menaruh buku yang tadi ia pinjam.

“Sendirian aja dong?”

Tanyanya, ia masih berkutat dengan tasnya, sepertinya ia sedang mencari sesuatu.

“Enggak, sama Kak Bena”

“Oh ya? Waah. Seru dong makannya ada yang nemenin”

Dia orang yang ekspresif. Sekarang saja mata dan mulutnya terbuka lebar, padahal apa yang aku ucapkan tidak menarik dan tidak penting.

“-kayaknya sebentar lagi ada yang mau jadian nih”

Katanya, ia menyenggol lenganku dengan bindernya.

“Enggak akan. Aku gak mau pacaran sama dia Naay”

“Apa sih yang kurang dari Kak Bena, Kelana? Dia baik, perhatian, ganteng lagi. Kamu mau nyari cowok yang kayak gimana sih?”

“Dia baik karena ada maunya aja Nay. Semua perhatiannya itu palsu. Dia belum tentu masih baik sama aku kalau aku jadi pacarnya. Kalau udah bosen, dia pasti berubah jadi orang yang beda.”

“Na, gak bisa apa kamu jangan negatif thinking terus sama cowok? Kemarin kamu bilang hubunganku toxic, sekarang kamu bilang Kak Bena itu gak baik. Besok-besok siapa lagi yang kamu kira jahat Na?”

Aku bergeming, tak ada kata yang ingin aku ucapkan lagi padanya. Percuma aku bicara jika ia tidak mau mendengarkanku. 

“Ini catatan kelas tadi”

Naya memberiku bindernya lalu pergi dari perpustakaan sebelum aku mengucapkan terima kasih padanya. Jujur, aku tidak enak padanya. Tapi mau bagaimana lagi, memang itu kenyataannya. Semua laki-laki hanya baik pada awalnya saja. Mereka hanya ingin memberi kesan baik untuk membuat hati perempuan luluh padanya.

***

Hari ini Kelana mengerjakan tugas kelompok bersama di Ruang Belajar yang terdapat di Fakultasnya. Tugasnya cukup banyak dan menghabiskan waktu yang cukup lama untuk mengerjakannya. Setelah jam 7 malam mereka selesai mengerjakan tugasnya. Malam ini Kelana pergi ke kafe untuk kerja sambilan. Dari tadi dia menunggu cukup lama untuk kedatangan ojek online yang telah ia pesan. Shift kerjanya dimulai pukul setengah delapan malam dan ia belum berangkat ke kafe. Setelah ojek online itu datang, Kelana buru-buru memasang helmnya dan dia meminta pada ojek online untuk berkendara dengan cepat.

Sayangnya, ia telat 5 menit dan Manajernya tidak memberi toleransi pada karyawannya yng telat satu menitpun. 

“Kelana! Ayo cepat masuk”

Pak Faqih, manajer sekaligus pemilik kafe menyuruh Kelana untuk masuk ke ruangannya. Biasanya karyawan-karyawan yang telat akan dimarahi habis-habisan dan yang paling menyeramkan adalah gaji mereka akan dipotong. Kelana menundukkan kepala, ia tahu Pak Faqih pasti akan menghukumnya habis-habisan.

“Kenapa kamu telat datang ke kafe?”

“A..anu pak, saya tadi kerja kelompok dan baru selesai jam 7, saya berusaha meminta ojek online untuk berkendara dengan cepat tapi saya tetap telat pak. Maaf pak”

Kata Kelana dengan jujur.

“Kalau begitu tidak apa”

Kata Pak Faqih, Kelana terkejut dengan Pak Faqih yang tidak memarahinya.

Lihat selengkapnya