“Na, maaf ya, bulan ini mba gak bisa transfer uang ke kamu. Pengeluaran Diska lagi banyak soalnya. Kemarin Diska baru masuk TK. Mba harus bayar uang daftarnya, beli seragam, tas, sama peralatan sekolahnya.” Jawab Kanaya.
Di seberang telepon, Kelana hanya bergeming. Baginya, ini bukan salah kakak perempuannya. Dia sudah mau membayar uang kuliahnya saja sudah untung bagi Kelana. Ayah ibunya sudah tidak lagi bekerja, sehingga beban kakaknya bertambah untuk membiayai keluarga kecilnya, ditambah dengan dirinya. Sejujurnya ia tidak enak merepotkan kakak perempuannya ini. Tapi mau bagaimana lagi, ia tidak bisa membiayai kuliahnya sendiri.
“Gak apa-apa mba, bulan ini aku bisa pakai uang part timeku aja. Cukup kok”
“Beneran gak apa-apa nih dek? Tapi kalau nanti di tengah bulan kamu ada kebutuhan mendesak, hubungi mba ya. Nanti mba usahain buat bantu kamu”
Teleponku bergetar, aku melihat layar ponselku dan ternyata Bena meneleponku.
“Itu kamu ada yang nelepon ya? Mba matiin aja ya teleponnya”
Kanaya menutup teleponnya. Lalu Kelana mengangkat telepon dari Bena.
“Udah siap Na?”
“Aku udah siap kok. Kamu emang lagi di mana?”
“Aku udah di deket taman nih”
“Oke, aku kesana sekarang”
Kelana bergegas menuju taman. Saat ia mencari-cari Bena, ia tiba-tiba dikejutkan oleh Bena yang tiba-tiba menepuk pundaknya dan memanggil ‘Na’ dengan keras. Kelana terkejut, tak lama kemudian ia memicingkan matanya. Orang lain yang baru pertama kali melihatnya pasti mengira kalau dia adalah orang yang galak dan tidak bisa diajak bicara. Tapi Bena sudah cukup sering melihat Kelana yang memang sering sekali seperti ini. Mungkin, bila Kelana mau membuka hatinya, pasti ia akan lebih memahaminya.
“Ayo ikut aku”
Bena menggandeng Kelana. Mereka berjalan menuju halte bus. Busnya cukup sepi, mungkin sekitar 3 atau 4 orang di dalam bus. Kelana dan Bena bisa bebas memilih duduk dimana saja. Bena memberikan tempat yang dekat dengan jendela untuk Kelana. Mereka duduk sejajar, Kelana dekat jendela dan Bena disebelahnya. Kelana memperhatikan jalanan dari dalam jendela bus.
“Kamu suka gak duduk disitu?”
Kelana mengangguk pelan, lalu menjawab “ya”
“Gampang ya bikin kamu seneng, tinggal ajak kamu lihat pemandangan aja, udah bisa bikin kamu senyum-senyum kayak sekarang”
“Ya emang kalau seneng itu harus dengan cara yang kayak gimana? Kalau susah caranya ya sampai kapan aku bisa bahagia?”
Bena menganggukan kepalanya. Bena melihat ke arah luar dan melihat ada supermarket, ia menghentikan bis.
“Bang, kiri bang”
Bis berhenti di dekat supermarket. Bena mengulurkan tangannya di depan Kelana.
“Ayo turun”
“Kita turun disini Bena?”
Kelana melihat ke arah luar yang sudah jelas hanya ada supermarket yang menjadi pusat perhatian di sebelah sana. Ia cukup bingung Bena akan mengajaknya main ke supermarket. Bukan taman atau tempat lain.
“Iyaa, ayo”
Kelana dan Bena turun dari bis dan berjalan sedikit menuju supermarket. Bena melepaskan tangan Kelana dan berjalan di depan Kelana. Mereka naik tangga, dan Bena berjalan ke rak-rak yang berisi makanan dan minuman. Sedangkan Kelana, pandanganya tertuju pada boneka-boneka yang ada di sebelah rak makanan.
Kelana melihat boneka-boneka itu dan memegang Boneka Elmo yang berwarna merah.
“Dulu aku cari-cari Boneka Elmo susah banget dapetnya, eh sekarang gak dicari malah nemu disini”
Kelana berbicara sendiri pada dirinya. Ia menyimpan boneka itu ke tempatnya semula, bersama boneka-boneka lain. Ia kemudian melihat boneka beruang kecil berwarna coklat. Ia memegang boneka itu cukup lama.
“Halo, Kakak Cantiik, namamu siapa?”
Bena menutupi wajahnya dengan boneka yang tadi dipegang Kelana. Tangannya memegang tangan boneka dan melambai-lambaikan tangan ke arah Kelana.
“Apaansih Bena”
Ucap Kelana, ia tertawa sejenak melihat tingkah kekanak-kanakan Bena.
“Kakak Cantik, namaku Elmo, bukan Bena”
Bena menurunkan Boneka Elmo yang awalnya berada di depan wajahnya, kemudian berbicara pada Kelana, “Ayo, coba kamu pake boneka itu buat jadi temen Elmo”
Bena menunjuk pada boneka beruang yang dipegang Kelana.
“Aku gak bisa Benaa”
“Gimana kamu tahu kalau belum mencoba?”
Kelana menganggukkan kepalanya, kemudian menutupi wajahnya dengan boneka beruang tersebut. Bena juga menutupi wajahnya dengan Boneka Elmo.
“Halo Beruang! Kenalin namaku Elmo”
Bena mengulurkan tangan Boneka Elmo tepat di depan boneka beruang yang dipegang Kelana.
“Halo, namaku..Teddy Bear”
“Teddy, aku lihat-lihat kamu sepertinya sedang kebingungan, memangnya kamu sedang mencari apa?”
“Aah, aku sedang mencari temanku, dia seorang beruang juga”
“Apa dia mirip denganmu Teddy?”
“Ya, dia mirip denganku, hanya saja dia memakai pita merah”
Bena melepaskan Boneka Elmo yang dari tadi menutupi wajahnya,lalu ia mencari boneka yang disebutkan Kelana dan mengambilnya segera dari rak boneka. Sekarang ia memiliki dua boneka yang ia perankan, untuk membedakan dua tokohnya, ia mengubah suara beruang lain menjadi suara yang lebih berat.
“Aaah, itu dia temanmu!”
Kini Bena tidak menutupi wajahnya lagi dengan boneka, ia memegang Boneka Elmo di tangan kirinya dan boneka beruang dengan pita merah di tangan kanannya. Ia menggerakkan tangan Boneka Elmo, tangannya ia arahkan berada di depan boneka beruang, seolah-olah Boneka Elmo sedang menunjuk pada boneka beruang.
“Ya, itu temanku, namanya , mm, Tino”
“Tino, kemana saja kamu?”
Boneka Teddy bear yang dipegang Kelana memegang tangan boneka beruang Tino.
“Aku disini aja kok, ah, mungkin kamu tidak menemukanku karena tadi aku sedang mengobrol dengan teman-temanku yang lain”
“Saat aku ingin menyapamu, kamu sedang asyik mengobrol dengannya. Jadi aku hanya menunggumu selesai berbicara dengannya”
Tangan boneka Tino mengarah ke Boneka Elmo.
“Aah, iya aku lupa mengenalkanmu pada teman baruku, dia namanya Elmo”
“Halo Elmo”
Saat Bena dan Kelana bermain boneka, tiba-tiba muncul anak kecil yang berdiri tepat diantara mereka. Ia melihat ke samping kiri dan menatap mata Kelana lalu melihat ke samping kanan dan menatap Bena. Ia mengambil boneka lalu berlari memanggil mamanya. Bena tertawa melihat tingkah anak itu begitu pula Kelana yang tersenyum. Bena tersenyum ke arah Kelana sesaat sebelum Kelana menyadari Bena yang menatapnya dalam dengan senyuman yang menghiasi wajahnya.
“Mas, ini susunya”
Seorang pegawai toko datang menghentikan aksi tatap-menatap diantara mereka berdua. Ia membawa sekardus susu kaleng dengan jenis yang sama ketika Kelana membelikan Bena kemarin malam.
“Iya, kita langsung ke kasir aja mas”
Ucap Bena pada pegawai toko itu.
“Kamu mau nyetok susu Na?”
Bena seketika tersenyum melihat Kelana yang terlihat kebingungan. Lalu ia berkata, “Iya kan aku sayang sama tubuhku”
Kelana mengganggukkan kepalanya, tetapi sudah jelas dari raut wajahnya bahwa ia masih kebingungan.
“Kelana, kamu mau pilih boneka yang mana?”
“Boneka Elmo atau boneka beruang?”
Bena mengangkat boneka secara bergantian saat menyebutkannya.
“Atau mau boneka yang kamu pegang?”
“Bena, aku gak perlu beli boneka”
“Udah, ayo cepet pilih sebelum pegawai toko cari kita lagi”
“Yaudah, aku pilih boneka ini”
Kelana mengangkat boneka yang ia pegang, boneka beruang kecil berwarna coklat.
“Oke, ayo kita pergi”
Ajak Bena, ia menggandeng tangan Kelana saat berjalan menuju kasir.
Setelah Bena membayar belanjaannya di kasir, mereka pergi ke halte bus. Bena duduk di kursi halte bus.
“Bena, kita gak nyebrang? Kan bus buat pulang ada di sebelah sana”
Kelana menunjuk ke jalan di sebelahnya.
“Siapa bilang mau pulang? Kita malah baru mau pergi Na”
Kelana kebingungan dengan ucapan Bena.
“Kemana Bena?”
“Tuh, udah ada busnya. Ayo kita berangkat”
Sambil menenteng kardus yang ia bawa, ia mempersilakan Kelana untuk naik bus duluan. Di dalam bus, semua kursi hampir penuh terisi penumpang. Untungnya ada satu kursi yang masih kosong. Bena menatap Kelana lalu mengarahkan pandangannya pada kursi kosong itu. Kelana duduk dan Bena berdiri di dekat kursi yang ditempati Kelana.
“Aku taruh kardusnya disini ya”
Bena menyimpan kardus berisi susu kaleng di bawah kursi yang ditempati Kelana.
“Ingetin aku ya kalau kita mau turun, kardusnya masih ada di bawah”
Kelana mengangkat kedua jempolnya sejajar dengan wajahnya. Ia tersenyum datar pada Bena. Spontan Bena tersenyum melihat Kelana.
“Kamu tuh imut Na”
“Hah? Apaan si Bena”
“Tapi jangan kayak gitu kalau sama cowok lain ya. Kamu kelihatan imutnya kalau sama aku aja. Kalau sama yang lain kamu jadi Kelana yang jutek aja”
Kelana mengangkat satu alisnya, dan berkata “Terserah aku dong mau jutek atau mau imut di depan siapa. Itu hak aku dan bukan urusan kamu”
Bena menarik pipi Kelana dengan pelan. Kelana kebingungan melihat Bena yang menarik pipinya. Kemudian ia melepaskan kedua tangan Bena dari wajahnya.
“Kalau kamu kayak gitu di depan cowok lain, aku tarik pipi kamu nanti”
Bena lalu menjulurkan lidahnya, sedangkan Kelana sedang menatap ke bawah, mencoba mengatur napasnya agar bisa teratur kembali. Kemudian bus berhenti dan ada ibu hamil yang naik ke bus tersebut. Ia nampak kelelahan dan tidak ada yang merelakan kursinya untuk ibu itu.
“Ibu, duduk disini aja”
Kata Kelana pada ibu hamil itu. Kelana menarik lengan baju Bena, sambil berkata.
“Bena bantu ibunya kesini, aku jagain kursinya”
Bena menuntun ibu hamil itu untuk duduk di kursi yang tadi ditempati Kelana. Sedangkan Kelana sekarang berdiri berdekatan dengan Bena.
“Makasih ya mba, kebetulan saya abis jalan jauh dan sekarang pun masih kerasa capeknya”
Keluh ibu hamil tersebut. Kelana tersenyum dengan manisnya pada ibu tersebut. Di lain sisi, Bena ikut terseyum melihat Kelana yang ternyata bisa menunjukkan sisi manisnya pada orang lain. Benar dugaannya, Kelana adalah perempuan sempurna yang pantas ia perjuangkan. Ia memiliki hati yang baik.
“Mba, boleh elus perut saya gak?”
Kelana dan Bena saling menatap heran.
“Sepertinya ini bawaan bayi deh, dia pengen dielus sama mba yang cantik dan baik hati ini”