Ruang

Aida Nabila
Chapter #7

Surat Ucapan

Kelana dan Bena berlari pagi di taman. Kebetulan hari ini mereka tidak ada kelas, jadi mereka bisa menghabiskan waktu yang lebih lama pagi ini. Mereka telah datang sejak jam 6 pagi, dan mereka telah berlari sekitar 3 putaran. Kelana menghentikan larinya dan ia memutuskan untuk duduk disamping jalur lari. Bena menghentikan larinya, ia pergi membeli minum untuk mereka berdua. 

“Eh, kamu Kelana ya? Benanya kemana?”

Tiba-tiba ada seorang perempuan yang berhenti dan mengajak ngobrol Kelana. Kelana terlihat kebingungan karena sebelumnya ia belum pernah berkenalan dengannya. Tapi, kemungkinan besar itu temannya Bena atau setidaknya dia mengenal Bena, dia menyebut nama Bena kan tadi?

“Dara, kenapa kamu tiba-tiba ngajak ngobrol Kelana sih? Kasihan dia jadi kayak kebingungan gitu”

Kata laki-laki yang bersama dengan perempuan yang bernama Dara tadi.

“Mm, Kelana maaf ya, Dara emang agak SKSD orangnya. Sebelumnya kenalin dulu, aku Bio, dan ini Dara. Kita temennya Bena. Salam kenal ya”

Kata Bio, ia tersenyum ramah pada Kelana. Kelana juga tersenyum pada mereka berdua dan berkata, “iya gak apa-apa santai aja kak. Salam kenal juga ya”

“Ngomong-ngomong Benanya kemana Na?” 

“Bena tadi lagi beli minum, tadi dia pergi ke arah sana”

Kelana menunjuk pada arah warung yang berada di dekat jalan raya. Mereka semua melihat Bena yang masih berada di warung itu.

“Sweet banget sih, si Bena. Gak biasanya dia kayak gitu sama cewek lain”

Kata Dara, Kelana merasa tidak percaya dengan perkataan Dara. Mana mungkin orang yang bisa dekat sama siapa saja jarang melakukan hal seperti ini. Membeli minuman bagi temannya. Melihat raut wajah Kelana yang mudah sekali di tebak, Bio akhirnya berbicara.

“Kamu gak percaya ya Kelana?” 

“Lumayan gak percaya sih. Dia kan orangnya ramah, sepertinya dia emang baik sama temen-temen perempuannya yang lain”

“Dia emang orangnya ramah, tapi cuma sama kamu doang dia mau meluangkan waktunya buat nyari tahu segalanya tentang kamu dan ngawasin kamu dari jauh. Bahkan dia tahu, kalau kamu suka digangguin sama pelanggan waktu kamu kerja kan? Dia tuh mau jagain kamu dan selalu berada di sisi kamu. Cuma kamu aja yang gak ngasih kesempatan buat dia deketin kamu”

Kelana terdiam, mungkin ia terkejut mendengar ucapan Dara. Dia tidak tahu kalau Bena seperhatian itu padanya.

“Dara, ssst. Jaga ucapan kamu Dar. Gak usah terlalu dipikirin ya Kelana. Kita pergi dulu ya. Bye” 

Sebelum mereka pergi, Bena datang dan menyapa Dara dan Bio.

“Dara, Bio, kok kalian ke sini sih?”

“Kita ke sini buat jogging lah, gak lihat gue udah keringetan kayak gini?”

Kata Dara dengan sewotnya. Teman Bena yang satu ini memang kadang suka sewot jika Bena sudah basa-basi seperti ini.

“Kalian ngobrolin apa aja sama Kelana?”

“Gak kok, gak ngomongin apa-apa. Oh iya Bena. Kata Prof. Riza besok kita harus bimbingan lagi”

“Oke, makasih buat infonya Dar”

“Yaudah ayo kita jogging lagi Dar. Inget janji lo Dar, lo mau kurusin badan kan?”

Kata Bio sambil menarik tangan Dara agar mereka menjauh dari Kelana dan Bena. Memberikan waktu bagi mereka berdua. Setelah mereka sudah kembali berlari, Bena memberikan sebotol air putih pada Kelana. 

“Nih, minum dulu. Biar gak dehidrasi”

Kelana tersenyum melihat botol itu, ia jadi ingat bahwa Bena pernah memberikan botol yang serupa saat mereka lolos dari pemuda di pos ronda malam itu. 

“Makasih ya Bena”

Kelana meneguk air putih yang di minumnya. Kelana memberikannya pada Bena. Ia meminum dari botol yang sama dengan Kelana. Setelah air habis, ia membuangnya ke tempat sampah. Bena menyadari kalau Kelana dari tadi menatapnya.

“Ada apa Na? Suka ya sama aku?”

Tanpa mengindahkan Bena yang menggodanya, Kelana langsung mengucapkan sesuatu langsung ke intinya.

“Kamu tahu apa aja tentang aku Bena?”

“Maksud kamu?”

Bena berhenti dan seperti memikirkan sesuatu.

“Dara yang ngasih tahu ya? Dia bilang juga kalau aku ngawasin kamu di tempat kerja?”

Kelana menganggukan kepalanya. 

“Aiih Dara, harusnya dia ngomong dulu sama gue, ijin sama gue. Na, maaf ya kalau aku lancang dan ganggu kamu. Niat aku baik kok, cuma pengen jaga kamu doang”

“Aku gak enak sama kamu Bena. Kamu seperduli itu sama aku, tapi aku gak pernah ngelakuin apapun buat kamu”

“Gak apa-apa Na. Kamu udah ngijinin aku buat jadi temen aja aku udah seneng Na”

Kata Bena sambil tersenyum pada Kelana. Bagi orang yang belum mengenal mereka pun akan tahu bahwa Bena tersenyum dengan tulus pada Kelana.  

“Oh iya, ngomong-ngomong kamu lagi bimbingan skripsi kan? Enak ya, tinggal satu langkah lagi sampai kamu lulus kuliah”

“Ya, aku juga bersyukur sih, walaupun emang ini perlu waktu dan tenaga buat ngerjainnya. Setidaknya aku udah punya gambaran buat isi skripsinya”

“Kamu udah tahu lanjut S2 atau mau kerja?”

“Aku mau kerja Na, kebetulan tempat magang kemarin bilang, aku jadi salah satu rekomendasi karyawan baru di perusahaan mereka”

“Sayangnya aku gak kayak kamu Bena. Aku pergi ke sini karena ingin melupakan masa lalu.”

“Melupakan rasa benci dan cinta yang membuatku tertahan untuk melangkah. Ku kira dengan pergi jauh, semua kenangan itu akan hilang. Tapi rasanya tidak, dia tetap ada, di pikiranku.”

“Siapa masa lalumu itu Kelana, Nata?”

Bena memberanikan diri untuk bertanya, padahal ia tahu, tanpa Kelana menjawabpun semuanya sudah jelas di depan mata.

“Ini bukan hanya tentang Nata, Bena. Memang Nata adalah bagian paling menyenangkan dalam hidupku, tapi aku memang sudah melepaskannya.”

Kelana tersenyum simpul pada Bena. Entah kenapa Bena merasakan bahagia dan sedih sekaligus. Ia tahu bahwa ada secercah harapan baginya untuk menjadi kekasih Kelana. Tapi ia sedih juga karena Kelana sangat menderita. Sayangnya, ia tidak tahu cara mengobatinya. 

“Oh iya, ngomong-ngomong kamu emang gak punya gitu impian yang belum kamu wujudkan?”

“Mm, rasanya gak ada deh”

“Coba pikirin lagi Na. Impian waktu kecil kamu, atau suatu impian yang kedengarannya mustahil diwujudkan?”

Kelana menatap Bena, lalu berkata, “Jadi ibu”

Bena kagum mendengar ucapan Kelana. Jarang sekali ia mendengar ada perempuan yang bercita-cita jadi ibu. Apalagi ini dari Kelana, perempuan yang terlihat dingin dari luar. Baru sekarang ia merasakan bahwa Kelana memanng punya sisi lembutnya sendiri.

“Kamu mau jadi ibu? Jarang loh ada yang bilang impiannya mau jadi ibu, banyak yang bilang kalau dia ingin jadi wanita karir lah atau ingin travelling. Aku kagum sama cita-cita kamu, mungkin temen-temen seumuran kamu belum ada yang udah punya cita-cita jadi ibu kayak kamu”

Ucap Bena. Matanya bersinar-sinar saat menatap Kelana.

“Aku gak sehebat yang kamu pikir Bena”

“Aku mau jadi ibu karena sebenernya aku pernah dikecewain sama ibuku”

Bena mendekat dan menatap Kelana dengan penuh perhatian.

“Dikecewain kayak gimana Na? Kalau kamu mau cerita, aku siap dengerin kok”

Bena mengusap lembut tangan Kelana. Kini, Kelana menatap balik Bena.

“Cerita yang panjang sebenernya, tapi intinya waktu kecil, aku jarang banget dipeluk sama ibu. Jujur, aku gak tahu rasanya lega dipeluk ibu waktu aku nangis. Aku gak tahu rasanya diusap tangannya ketika jatuh dari sepeda. Yang jelas kadang aku selalu ngerasa ada atau gak ada ibu sama aja. Aku tetep sendiri”

“-dan mungkin ingatan yang paling aku inget tentang ibu itu ketika usiaku masih sekitar 5 tahunan. Ibu ninggalin aku buat pergi kerja, tapi aku malah gak diajak”

Kelana menghela nafasnya.

“Padahal waktu itu aku lagi ketakutan, dan gak mau ngerasain ditinggalin lagi. Tapi kenyataannya ibuku pergi”

Kelana menundukkan kepalanya, tidak ada air mata yang keluar dari matanya.

“Terus ibu kamu gak peluk kamu gitu?”

Kata Bena, Kelana mengangguk pelan, lalu ia melanjutkan ceritanya. 

“Iya, aku sendiri sih yang agak bodoh, dia buru-buru kerja dan aku malah menahan dia buat pergi kerja”

Kelana tersenyum akan ingatan kecilnya yang memang lucu jika dipikir kembali. Semua masalahnya waktu kecil, terasa jadi lebih kecil ketika ia sudah tumbuh besar.

“Tapi setidaknya aku berharap ibu bisa jelasin ke aku, kalau dia mau pergi kerja dan akan kembali main sama aku. Cukup itu aja. Tapi dia gak pernah bilang kayak gitu dan aku pikir, emang selama ini juga aku sering main sendiri, jadi ada atau gak ada ibu ya gak apa-apa. Aku bisa sendiri.”

“Sekarang aku cukup menerima sih perasaanku waktu itu. Ibuku baik kok sama aku. Cuma ya aku Cuma inget hal-hal yang menyedihkan aja. Waktu itu aku mikir kalau dia gak sayang sama aku. Padahal dikatakan atau tidak, sebenarnya dia emang sayang sama aku.”

Bena menyunggingkan senyuman tulusnya, yang bisa membuat orang lain merasa tenang saat melihatnya.

“Aku ingin jadi ibu yang baik buat anak-anakku, aku ingin membuat anak-anakku tenang dengan memeluknya ketika dia nangis, aku ingin mengusap tangannya ketika dia terjatuh dari sepeda. Aku ingin buat kenangan manis untuk anakku”

Bena kagum dengan Kelana, impiannya itu sederhana dan bukan tentang dirinya saja. Dia orang yang tidak egois.

Lihat selengkapnya