Ruang

Aida Nabila
Chapter #10

Jarak

Sekembalinya ke kos, aku membuka kembali ponselku. Kelana mengirim videonya dan aku tidak percaya dengan keputusannya. Dia mau aku menjauh darinya, bagaimana bisa aku menjauh darinya? Aku mengirim pesan padanya.

Kelana, aku yakin kalau kamu adalah perempuan yang ditakdirkan oleh Tuhan untukku sejak pertama kali bertemu. Kelana, perasaanku ini murni, tidak bisa dipaksa untuk berhenti.

Aku mengambil sebatang rokok dan menghisapnya. Aku mengingat saat pertama kali kita bertemu, mata kami saling menatap satu sama lain, dan aku merasakan perasaan yang berbeda. Rasa suka padanya, tidak seperti saat aku bertemu dengan perempuan lain. Perasaanku padanya lebih dari itu. Aku merasa telah mengenalnya lama, aku yakin bahwa dia memang tercipta hanya untukku.

Mataku perih rasanya, ada rasa sesak di dadaku. Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya bahwa aku mencintainya. Aku membuang batang rokok itu dan pergi ke dalam kamar. Aku mengganti pakaianku dengan kaos dan celana jogging. 

Untungnya, malam ini lapangan sepi, aku bisa lari sepuasnya. Aku mulai lari dengan kencang, tiba-tiba aku teringat saat-saat bersama Kelana, saat pertama kali kita bertemu. Saat pertama kali aku tak bisa melepaskan pandanganku darinya. Saat pertama kali mengobrol dengannya, saat pertama kali kami pergi ke panti. Dan sekarang ia tidak mau kami bersama lagi. Apa kenangan itu tak berarti baginya?

Aku berlari lebih cepat dan berteriak sekencang-kencangnya. 

“Kelana! Kelana!”

Napasku tersengal-sengal, aku menghentikan lariku, dan memegang kedua lututku.

Kelana, aku cinta kamu, aku benar-benar mencintaimu.

Aku menundukkan kepalaku, dan aku merasakan air mataku yang mengalir di pipiku.

Bagaimana caranya agar kamu percaya bahwa aku tulus padamu Na?

Aku menyeka air mataku dengan cepat dan berlari kembali. Rasanya letih berlari tidak ada artinya sama sekali. Sesak di dadaku ini masih terasa. 

Tuhan, jika memang dia tak ingin kita bersama. Aku harap Kau tetap menjaganya. 

***

Waktu terus berlalu, dan aku harus tetap berjalan, melakukan kegiatan seperti biasa tanpa jeda untuk memikirkan perasaan. Perasaan yang kukira akan meledak ini, kutahan sendirian. Percuma jika aku ceritakan, tidak akan ada yang mengerti.

Aku bercermin, menalikan tali sepatu dan pergi ke kampus. Semua harus berjalan seperti biasa. Aku duduk di sudut pojok kelas dan memasang earphoneku. Aku melipat tanganku di depan dada dan memejamkan mataku. 

“Na, Kelana”

Ada seseorang yang mengguncang tubuhku, aku membuka sebelah mataku dan melihat Naya yang telah duduk di sebelahku.

Kok Naya duduk disini si?

Yang kutahu Naya adalah mahasiswi rajin dan pintar, dia selalu duduk di jajaran paling depan. Tumben dia duduk di jajaran paling belakang, selama kami sekelas, dia tidak pernah mau diajak duduk di belakang.

“Na, maaf ya dulu aku malah marah-marah dan ngambek gak jelas sama kamu”

Aku mengangkat alisku, memangnya ada apa dengan Naya? Apa yang terjadi dengan dia dan pacarnya, Raihan.

“Aku udah putus sama Raihan. Aku sadar kalau sebenarnya aku dan Raihan ada di hubungan yang toxic. Dia sering pukulin aku dan aku gak bahagia pacaran sama dia. Dia gak pernah mau dengerin penjelasan aku kalau kita lagi berantem”

Ada raut sedih dari wajah Naya. Aku menepuk pundaknya, agar dia lebih merasa tenang.

“Kamu melakukan hal yang terbaik Nay, kamu gak bisa terus berhubungan sama orang yang egois, yang mau menang sendiri. Dia sekarang udah gak ganggu kamu kan?”

“Aku sih udah block semua akunnya. Tapi aku rasa dia belum ngerti kalau aku dan dia udah gak ada harapan untuk bersama, kadang aku lihat dia sering menungguku di parkiran, dia tetap mencoba untuk mengobrol denganku.”

Naya menghela nafasnya, aku tahu ini pasti berat untuknya. Dia mencintai Raihan, tapi Raihan tidak bisa membuat Naya merasa aman. Dia berani memukul Naya, dan itu tidak bisa dimaafkan, apalagi hanya karena cemburu yang tidak jelas alasannya.

“Aku merasa lebih tenang sekarang, aku ngerasa lebih bebas melakukan apapun tanpa harus ketakutan. Raihan tidak akan bisa memarahiku lagi”

Naya tersenyum cepat, dan aku memeluknya. Mengusap punggungnya agar dia merasa lebih tenang, dia sudah melakukan keputusan yang terbaik untuk kebaikan dirinya. 

“Makasih ya Na, kamu udah mau ngingetin aku kalau Raihan itu emang gak baik buat aku”

Apa ini? Kenapa aku memeluknya?

Aku melepas pelukanku, Naya terlihat kebingungan dengan sikapku. Bagaimana caranya menjelaskan pada Naya kalau aku ketakutan jika sedang berpelukan?

“Na, kamu kenapa?, apa kamu marah sama aku?”

“E..enggak Nay, kita mau kelas kan. Sebentar lagi pasti Pak Dio datang ke kelas. Gak enak kan kalau kita pelukan lama-lama. Kita kan harus belajar”

“O..oke”

Aku tersenyum kikuk padanya, dan dia membalas senyumanku, lalu memegang tanganku.

“Na, kita ini temenan kan?, kalau ada apa-apa kamu bisa cerita sama aku”

Nay, seandainya aku bisa cerita Nay. Semuanya udah terlalu numpuk. Aku gak tahu harus cerita apa.

“Aku gak apa-apa kok Nay. Aku baik-baik aja”

Tak lama setelah percakapan aku dan Naya, Pak Dio datang mengajar di kelas. Aku tidak bisa memperhatikan materi, aku tetap memikirkan Bena. Tuhan, aku harus bagaimana?

Aku menengok ke sampingku dan melihat Naya yang sedang mengetik di ponselnya. Merasa diperhatikan, Naya buru-buru menutup ponselnya dan meletakan ponsel itu di saku jaketnya.

“Chat sama siapa sih? Sampai harus ditutup segala Nay”

Dalam waktu yang singkat,aku tertawa melihat tingkah Naya, mungkin ia takut chatnya terbaca olehku. Padahal aku sama sekali tidak melihat isi pesannya. Layarnya terlalu gelap, aku tidak bisa melihat apapun di layarnya.

“Rahasia!”

Naya menjulurkan lidahnya dan menyipitkan matanya. Dia menggeser sedikit kursinya menjauh dariku. Apa dia chat dengan pacar barunya atau gebetannya ya? Ah sudahlah, lebih baik aku memperhatikan Pak Dio saja.

“Oh iya Nay, kamu mau kerja di kafe gak?”

Aku meliriknya, aku terheran kenapa dia bisa tahu aku ingin mencari pekerjaan baru.

“Kebetulan teman kakakku owner kafenya. Kafenya lumayan baru sih, jadi dia minta tolong kakaku buat nyari karyawan. Aku inget kalau kamu kerja part time di restoran kan? Aku rasa kamu udah punya pengalaman kerja dan karena kafe ini baru, ownernya bilang butuh mahasiswa yang udah punya pengalaman kerja.”

Aku menganggukkan kepalaku, mungkin ini bisa menjadi tempat kerja yang lebih nyaman buat aku. 

“Kamu coba daftar deh, bilang aja kamu dapat rekomendasi dari Naya. Dia pasti langsung terima kamu”

“Oke, aku mau kerja disana, makasih ya Nay”

Naya mengacungkan jempolnya dan kembali bermain ponselnya. 

“Aku udah kirim alamat kafe sama kontak ownernya. Kamu kabarin aja dia kalau mau datang ke kafenya”

“Makasih ya Nay, kamu udah sering bantu aku”

Aku tersenyum padanya, dan aku kembali memerhatikan Pak Dio.

Mungkin sekarang hidupku akan lebih baik kalau aku kerja disana. Gimana dengan Bena ya? Apa dia baik-baik aja?

***

Sore ini, Kelana datang ke kafe yang direkomendasikan Naya. Kafe itu namanya Dafin’s Arts and Cafe. Kafe itu memiliki dua lantai, lantai pertama adalah lantai kafe seperti biasa dan lantai dua berisi galeri seni. Di atasnya ada rooftop, yang selalu ramai oleh pengunjung ketika malam tiba. Tak heran rooftop akan ramai oleh pengunjung, mereka menikmati makanan dan melihat bintang di langit malam.

Sesuai dengan nama kafenya, kafe itu milik Dafin. Kata Naya, dia adalah teman kakaknya. Kelana telah bertemu dengan Dafin dan memang benar, ia dengan segera menerima Kelana setelah mendengar Naya merekomendasikannya sebagai karyawan disana. Sebelum datang kesini, Kelana bilang pada Pak Faqih, manajer di Restoran tempat Kelana dulu bekerja. Memang awalnya Pak Faqih tidak terima, karena saat Kelana belum masuk kuliah pun Kelana telah bekerja setahun di restoran tersebut. Tapi Kelana telah memantapkan hatinya untuk keluar dari sana. Bukan karena Kelana tidak tahan dengan teman kerjanya saja, atau dia takut pada Manajernya yang mungkin bisa menggodanya sewaktu-waktu. Kini, ia ingin memulai hari yang baru, pekerjaan baru di tempat yang baru. Ia tak mau Bena diam-diam mencari tahu keberadaannya saat bekerja di restoran lama. Ia ingin hidupnya bebas dari bayang-bayang Bena. 

Kelana melihat-lihat kafe yang terlihat ramai dengan karyawan yang cukup banyak juga, mungkin sekitar 5 orang. Kelana heran dengan kafe yang ramai ini, padahal Naya bilang kafe ini masih baru.

“Mas, karyawan disini cukup banyak ya. Padahal kata Naya kafe ini masih baru”

Dafin tertawa sejenak, kemudian ia berkata, “Kafe ini udah berjalan 2 bulanan kok, jadi wajar aja kalau udah ada beberapa karyawan disini. Cuma belum ada karyawan di Galeri Seni, jadi aku mau kamu jagain Galeri Seni. Galeri Seni itu emang jarang didatengin orang, tapi aku mau Galeri Seninya tetep dijaga. Kamu tahulah, gak semua orang bisa dipercaya. Banyak barang-barang yang ukurannya kecil bisa dicuri sama orang yang gak bertanggung jawab”

Kelana menganggukkan kepalanya dan Dafin meneruskan penjelasannya mengenai pekerjaan Kelana. 

“Selain ngejaga kasir buat orang yang mau beli karya seni, kamu juga bertugas buat ngejelasin karyanya. Paling mereka nanya yang dasar-dasar, kayak harga atau bahan pembuatannya dari apa. Kalau ada yang nanya maksud dari lukisan atau apapun pertanyaan yang kira-kira susah, kamu bisa baca bukunya. Buku itu di atas meja kasir”

“Oh ya, kerjanya santai kok, kalau gak ada pelanggan kamu bisa belajar atau ngerjain tugas. Kamu kan masih mahasiswa, jadi pasti kamu butuh waktu buat belajar juga kan, lumayan ada wifi juga disini.”

“Oh ya, ada yang mau kamu tanyain gak?”

Tanya Dafin, Kelana menggelenggkan kepalanya, lalu ia bertanya sesuatu pada Dafin.

“Oh iya mas, aku kan ngelamar kerja sebagai waitress ya, sebelumnya aku juga kerja sebagai waitress. Terus kenapa aku ditempatin sebagai kasir di Galeri Seni ya mas?”

“Karena yang kosong ya kasir di Galeri Seni. Apa kamu gak suka kerja di Galeri Seni?”

“Suka banget kok, Kelana kan suka seni mas, dia juga pinter gambar loh”

Tiba-tiba Naya sudah datang kesini dan menjawab pertanyaan Dafin. Kelana yang heran dengan kedatangan Naya, hanya bisa terdiam melihat Naya yang sekarang sedang tersenyum padanya.

“Oh ya?, aku bisa lihat gambar kamu gak?” Tanya Mas Dafin pada Kelana.

“E, gambar aku gak terlalu bagus kok. Aku emang suka gambar tapi gambarku biasa aja, gak bagus-bagus amat mas”

“Naya emang suka ngelebih-lebihin aja mas. Gak usah didengerin.”

“Dih, Na, aku tuh jujur kali, gambar kamu tuh bagus. Kamu aja yang gak pede sama gambar kamu”

“Mas, tahu gak, dia ini pernah juara pertama lomba lukis. Masa dia masih gak pede aja sih sama kemampuannya?”

“Nay, lagian itu cuma lomba di sekolahku doang, aku kan pernah cerita, pesertanya tiga orang aja, mereka berdua juga ogah-ogahan ikut lombanya. Mereka juga terpaksa mewakili angkatannya. Wajar lah aku bisa menang dengan mudah.”

“Tapi kan tetep aja, gambar kamu tuh bagus Na. Kamu tuh suka ngeles gitu kalau dipuji sama orang”

Dafin tertawa mendengar perselisihan antara Kelana dan Naya, kemudian ia berkata, “Oke, kapan-kapan kamu harus tunjukin gambar kamu ya. Aku mau gambar kamu dipajang di Galeri Seni. Oke Na?”

“Oke, besok aku bawa notebookku. Biasanya aku gambar disitu sih. Aku buatnya karena gak ada kerjaan aja, jadi, mas gak usah mikir gambarku bagus.”

“Na, gambar iseng doang bagus hasilnya, apalagi kalau niat, pasti bisa jadi unggulan di Galeri Seni ini.”

“Cukup ya Nay. Gak usah ngomong apa-apa lagi. Lagian kenapa kamu tiba-tiba datang kesini sih? Ikut nimbrung obrolan aku sama Mas Dafin lagi?”

“Ya kan kafe ini bebas dikunjungi siapapun, gak ada larangan Naya gak boleh masuk kafe ini kan? Lagian aku mau ngobrol banyak sama Mas Dafin”

Naya melirik Dafin dan tersenyum padanya. Kelana yang melihat Naya bertingkah manis pada Dafin hanya bisa memutar bola matanya, dan melipat kedua tangannya di dada.

“Jadi sekarang kamu mau deketin Mas Dafin gitu?”

“Iih Na, jangan kayak gitu dong. Aku jadi malu nih kalau kamu ngomong terang-terangan kayak gitu”

Naya menutup wajahnya dengan kedua tangannya, padahal sudah jelas bahwa kedua pipinya memerah. Sedangkan Dafin malah berusaha membuka wajah Naya dengan melihatnya dari bagian samping wajah Naya. 

“Good luck ya buat pdktnya Nay!”

Kelana lalu pergi ke lantai dua, ia tersenyum melihat Naya bisa berbahagia dengan Mas Dafin. Kelihatannya Mas Dafin orang yang baik, tidak kasar seperti mantan pacarnya dulu.

Semoga kamu diperlakukan dengan baik sama Mas Dafin ya, Nay.

Di lantai satu Naya dan Dafin duduk di meja dekat jendela sambil mengobrol berdua. Mereka menanyakan kabar masing-masing. Naya dengan kegiatan kuliahnya di kampus dan Dafin dengan kegiatannya mengurus kafe. Naya lalu bercerita tentang Kelana. Ia tahu bahwa ia satu-satunya teman Kelana di kampus. Ya, hanya teman, bukan sahabat. Sejak pertama kali mereka bertemu di kampus, Naya sering sekali bercerita apapun kepada Naya. Bahkan sampai hal remeh seperti keran kamar mandi di fakultas yang macet pun Naya ceritakan pada Kelana. Berbeda denga Kelana, ia jarang bercerita pada Naya. Dia tidak pernah bercerita mengenai hal-hal tentang masalah pribadinya pada Naya. Yang Naya tahu, Kelana adalah orang yang tertutup, dia akan berhenti mengobrol atau mengalihkannya dengan topik lain jika Naya tiba-tiba bertanya mengenai masalah pribadinya.

Lihat selengkapnya