Ruang

Aida Nabila
Chapter #11

Rumah

Tiap pagi, saat pertama kali aku membuka mataku, hal pertama yang kulihat adalah lukisan yang kubuat untukmu. Sebuah jendela usang dengan tanaman yang merambat di sekitarnya. Memang, seperti itulah aku menggambarkan perasaanku. Perasaanku memang pernah mati rasa. Sedih, bahagia, takut, marah atau kecewa, semua rasanya sama saja. Aku tidak pernah benar-benar merasakan perasaan itu. Aku tersenyum melihat lukisan itu. Aku teringat kata-katamu Bena. Kamu bilang kamu tidak bisa mengerti diriku kan? Bagaimana bisa kamu mengerti diriku jika akupun tidak bisa memahami diriku sendiri, memahami perasaanku sendiri.

Aku mengingat kembali ketika kita berpapasan, aku kira, aku akan berani berbicara padamu. Tapi ternyata aku memang tidak bisa seberani kamu untuk mengutarakan perasaanku. Mungkin memang sudah seperti ini jalannya, kamu akan pergi. Setidaknya aku tidak merasakan rasanya saat ditinggalkan kamu kan?

Aku mengambil lukisan itu. Mungkin aku perlu membuangnya. Bukan karena perasaanku telah hilang,hanya saja aku tidak ingin mengingatmu. Orang yang bisa membuatku merasakan kebahagiaan sekaligus rasa sakit yang mendalam.

Aku pergi dan menunggu bis di halte. Semua orang berlalu lalang, waktu terus berjalan, tapi mengapa perasaanku tidak pernah berubah padamu, Bena?

“Mba, mau naik gak?”

Tanya ibu-ibu yang berada di sampingku. Aku tidak menyadari keberadaannya dari tadi, aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri.

“Iya bu”

Jawabku, aku mendahulukannya agar dia bisa naik duluan, lalu aku mengikutinya di belakang. Ibu itu dan aku duduk di jajaran yang sama. Ibu itu melihat ke lukisan yang kubawa.

“Mba, itu lukisannya mba sendiri yang bikin?”

Tanya ibu itu padaku, tangannya memegang lukisan itu dan memandanginya secara seksama. Aku menjawab ‘iya’ dan ibu itu menatapku dan tersenyum padaku.

“Bagus ya lukisannya. Ini dijual gak mba?”

Aku menggelengkan kepalaku dan menjawab, “Mau saya buang bu”

“Kenapa harus dibuang mba? Sayang banget”

Aku hanya tersenyum padanya. Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku tidak rela untuk menjualnya. Tadinya, aku ingin memberikannya pada Bena. Orang yang telah menginspirasiku untuk melukiskan sebuah jendela yang kusebut ‘ruang’. 

“Kalau gitu, kenapa harus jauh-jauh buangnya mba? Sampai naik bis segala”

“Ee, mau sekalian jalan-jalan bu”

Ibu itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Mungkin aku terlihat bodoh dimatanya. Jelas, aku hanya ingin membuangnya jauh-jauh dari daerah sekitarku. Percuma saja jika aku membuangnya di dekat kosku. Mungkin, beberapa hari ke depan aku terus-terusan melihatnya di dalam tempat sampah. Atau lebih parahnya, aku bisa saja mengambilnya kembali dari tempat sampah.

Aku melihat ke luar, sepintas aku melihat supermarket yang pernah aku datangi bersama Bena. Aku mengingat kembali ketika kami bersama waktu itu. Semuanya terasa sangat menyenangkan, tapi sekarang hanya ada rasa sakit. Apa rasa rindu memang semenyakitkan ini ya?

Aku menundukkan kepalaku dan berusaha menguatkan diriku. Ini adalah jalan terbaik, aku tidak bisa kembali lagi padanya. Sadar Kelana, kamu bisa menyakitinya lagi. Mungkin saja dia sudah punya orang lain yang bisa membuatnya bahagia? Cukup sekali saja kamu menyakiti hatinya, Kelana. 

Aku memegang erat lukisan itu. Dengan bodohnya, hatiku menginginkan agar aku tidak membuang lukisan ini, seperti hatiku tidak ingin melepaskan Bena sepenuhnya. Tapi aku tidak bisa membiarkan diriku terus mengingatnya jika setiap hari aku melihat lukisan ini.

Aku melihat ke luar jendela, dan aku tiba-tiba berbicara “Pak, kiri pak”

Aku turun disini, di Panti Asuhan Kasih Bunda. Apa sebenarnya yang ada di pikiranku?, kenapa aku malah turun disini sih?, kenapa aku malah turun di tempat yang mengingatkanku akan keberadaannya?

Saat aku ingin menyebrang jalan, di belakangku sudah ada Bu Lis, ibu penjaga panti asuhan, yang sedang membawa banyak belanjaan.

“Eh, ada Mba Kelana, mau mampir ke panti ya? Ayo masuk”

Ajak Bu Lis padaku, mau tak mau aku mengikutinya dari belakang. 

“Udah lama mbak gak kesini. Anak-anak pada kangen loh sama mba”

Aku kembali mengingat pertama kali aku pergi ke tempat ini. Anak-anak dan ibu sangat hangat menyambutku, padahal aku ini termasuk orang asing yang baru pertama kali bertemu mereka.

“Mbak kesini sendirian aja?, kemana Mas Benanya?”

Aku menghela napas, kembali mendengar namanya saja membuat dadaku terasa sesak. 

“Saya emang datang sendiri bu, oh iya bu, mau saya bawakan tasa belanjaannya?”

Ibu itu tersenyum lalu memberikan tas belanjaannya, lalu ia membawa lukisanku. Setelah kami masuk panti, anak-anak langsung menyerbuku, mereka memelukku erat, sama seperti waktu aku dan Bena selesai mendongeng.

“Jangan lama meluk Mba Kelananya, kasihan Mbak Kelananya gak bisa napas”

Kata Bu Lis, semua anak terlihat kecewa lalu perlahan mundur ke belakang. Tingkah mereka yang polos ini membuatku merasa bahagia.

“Kalau meluknya seorang-seorang, mbak gak akan sesak kok”

Semua anak bersorak, lalu aku memberi mereka perintah agar bisa mengantre. Semua anak mengantre untuk memelukku. Namun aku tidak melihat Lala, apa dia masih di kamarnya?

“Anak-anak, pergi main dulu ya. Bu Lis mau masak dulu”

Salah satu anak menghampiriku lalu menarik tanganku untuk pergi bermain bersama. Aku duduk sejajar dengan tingginya, lalu berbicara padanya. 

“Main sama temen-temen dulu ya, mba mau bantuin Bu Lis masak buat kalian”

Akupun menyunggingkan senyuman dan mengelus rambutnya. Anak perempuan itupun menganggukkan kepalanya dan kembali riang berlari menuju kamar untuk bermain bersama teman-temannya. Aku pergi ke dapur dan membantu Bu Lis yang sedang memotong wortel.

“Ibu, mau bikin sop ayam sama perkedel. Sekarang ibu mau bikin adonan perkedelnya, mba yang potong sayurannya ya”

Aku menganggukkan kepala, lalu memotong sayuran yang berada dalam wadah besar. Memang jumlah anak-anak panti sangat banyak. Wajar saja bila Bu Lis memasak sebanyak ini, kasihan Bu Lis harus memasak sebanyak ini setiap harinya. 

“Mas Bena selalu cerita tentang mba sebelum mba datang kesini”

Bu Lis memulai bercerita padaku ketika sedang mengaduk kentang yang sudah di rebus sebelumnya. Sekarang aku mengerti alasan Bu Lis dan anak-anak tahu namaku sebelum aku memperkenalkan diri.

“Mba Kelana sudah bisa dipeluk sama anak-anak ya sekarang?”

Lihat selengkapnya