°°Hanya kita yang tahu seperti apa masa abu-abu kita°°
Sekolah masih lenggang, baru beberapa sepeda motor yang terpakir di parkiran. Rupanya aku datang lebih awal dari yang ku perkirakan.
Aku menuntun sepedaku kearah parkiran dan memakirkan disamping pohon rambutan, jika bel pulangan berbunyi maka parkiran akan ramai dengan kakak kelas yang ingin mengambil motor mereka dan aku akan kesulitan mengambil sepedaku.
Aku hanya takut jika sepedaku terjatuh serta rusak seperti kejadian saat masa orientasi siswa waktu itu.
Bersyukur waktu itu ada kakak kelas yang membantuku untuk memperbaiki rantai sepedaku yang terlepas jika tidak, sudah dipastikan aku akan menuntun sepedaku hingga sampai kerumah.
Aku merapikan rok abu-abu miliku yang terlihat kusut, Yap! aku sudah menjadi anak SMA sekarang akan tetapi, aku merasa biasa saja.
Ini adalah minggu keduaku menjadi seorang anak SMA, walau tidak dipungkiri aku sebenarnya menyesal berada di sekolahku yang sekarang namun, penyesalan selalu datang terlambat.
Aku melihat Pak Karim baru saja sampai ke sekolah dan sedang membuka pos penjaga.
Dengan langkah lebar aku menghampiri Pak Karim dan menyalimi tangan beliau, dengan harapan semoga ilmu yang ku dapat di sekolah bermanfaat meskipun beliau hanya seorang satpam sekolah SMA Harapan bangsa.
Bagiku beliau seorang yang harus di hormati seperti guru-guru yang lain. Dari isu yang beredar Pak Karim sudah lebih dari 35 tahun menjaga sekolah ini.
Aku tersenyum sekilas kepada Pak Karim dan berjalan menuju kelasku yang letak dilantai dua, jaraknya pun tidak terlalu jauh dari parkiran hanya tiga puluh meter dari gerbang sekolah.
Kelas masih sepi saat aku masuk, hanya ada Nazwa yang berada didalam kelas.
Ia tengah sibuk merapikan rak buku yang ada didepan kelas. Nazwa tersenyum kepadaku namun, aku tidak mau membalasnya dan langsung berlalu begitu saja dari hadapannya, bukannya aku sombong kepadanya tetapi, aku hanya malas.
Perlu diketahui bahwa didalam kamusku menyapa seseorang itu hanya akan membuang waktu dan tenaga, jadi itu adalah kegiatan yang paling ku hindari sejak masuk ke SMA ini, karena aku sadar jika adakalanya orang bisa bersikap baik dan menjijikan disaat bersamaan.
Aku juga tidak berniat untuk dianggap mencari muka dengan bersikap baik kepada semua orang.
Kejadian minggu lalu membuatku belajar bahwa tidak selamanya orang baik itu akan terlihat baik, mereka terkadang melakukan manipulasi untuk lebih unggul dari orang lain, sikap seperti itu membuatku merasa tidak nyaman untuk bersosialisasi bahkan dengan teman sekelasku.
Ketika bel istirahat berbunyi, aku lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan atau kelas sebelah yang kebetulan berbeda jurusan denganku daripada harus bergabung bersama teman sekelasku.
Teman sekelasku selalu membuatku muak, bahkan aku tidak pernah berbicara dengan mereka kecuali ada tugas atau kerja kelompok. Nazwa menghampiri dan berdiri di hadapanku membuatku risih.
“Ri, kamu sudah selesai PR biologi terapan?,” Tanya Nazwa membuatku yakin jika ia hanya berbasa-basi denganku.
Untuk apa juga ia datang menghampiri dan langsung duduk di sampingku tanpa persetujuan dariku, benar-benar tidak memiliki etika.
“Ya, seperti yang lo liat emang ada buku di meja gue?,”Tanyaku balik dengan ketus kepada Nazwa membuat senyum di wajahnya menghilang, aku hanya tersenyum sinis.
Ia benar-benar menjijikan.
‘Ya Tuhan; orang seperti Nazwa memang pantas di musnahkan, coba saja tidak ada hukum dan undang-undang yang melarang untuk mencelakai seseorang. Mungkin aku akan menendangnya dari lantai dua ini tetapi, karena ada undang-undang tersebut membuatku berpikir dua kali, bisa-bisa masuk penjara anak kan nggak elite.”Pikirku dalam hati.
Aku melirik Nazwa sekilas, sepertinya pertanyaan yang ku lontarkan membuat Nazwa nampak berpikir dengan keras, setahuku ia tidak bodoh untuk mencerna perkataanku.
Miris, ia nampak bodoh dihadapanku sekarang, itu semakin membuatnya terlihat menjijikkan.
“Kayaknya sudah deh!,” Ucap Nazwa dengan tersenyum manis, senyumnya membuatku ingin muntah. Sebenarnya apa sih maunya.