°°Menghindari masalah bukan jalan yang baik lebih bagus hadapi jangan jadi pecundang°
Sudah tiga hari aku menghindar dari Alfa dan Rein, sebenarnya lelah sih bermain petak umpet tanpa di minta seperti ini tetapi, aku merasa canggung jika bertemu dengan mereka.
Perkataan Rein selalu saja tergiang dikepalaku, membuat hati ini merasa bersalah dengan Raffi tetapi, ada yang aneh selama satu minggu sebelum Rein marah akibat ucapanku yang kasar kepada Raffi.
Rein sepertinya mencoba untuk menjauh dari diriku dan berusaha untuk tidak berbicara denganku tapi, apa salah diriku’gumam ku dalam hati.
Aku tidak merasa membuatnya kesal belakangan ini, malahan dia sendiri yang selalu membuatku kesal olehnya, pasalnya Rein senang sekali mengacak rambutku di saat hujan.
Sudah tahu cuacanya kurang mendukung untuk rambutku terlihat rapi, tapi mengapa ia malah membuat rambutku selalu saja berantakan saat bertemu dengannya.
Terkadang aku juga kesal dengan rambutku yang susah sekali untuk diatur ketika hujan turun.
Semua orang mungkin menyukai hujan namun, itu berbanding terbalik dengan ku. Entah mengapa aku sangat membenci ketika waktu hujan turun selain membuat rambutku berantakan, aku akan jatuh sakit, maklum aku memiliki alergi dengan dingin sejak kecil.
Terkadang alergi yang aku miliki membuatku kesal, gara-gara alergi cuaca dingin membuatku dijauhi oleh teman sekelas.
Pernah alergi dingin menyerang rasanya sakit, gatal dan tidak dipungkiri lagi pasti deman.
Sempat terlintas dalam pikiranku bahwa aku memang penyakitan makanya, ibu terlalu extra menjagaku hingga terlihat sangat overprotektif.
hari pertama selesai dari MOS SMA Harapan Bangsa, kami maju di depan kelas dan memperkenalkan diri masing-masing.
Ketika aku masuk ke kelas yang sudah diberitahu oleh pembina kami, Rini memanggilku dan mengajakku duduk bersamanya.
Sebenarnya aku dulu duduk dengan Karin tetapi, karena Karin ingin duduk bersama Lina yang notabenya adalah teman sejak SMP, aku tidak bisa apa-apa selain mengiyakan saja.
Aku duduk bersama dengan Rini, ia sangat baik kepadaku. Membuatku merasa nyaman, ternyata ia berasal dari SMP Muhamadiyah.
Aku bisa melihatnya dari caranya berbicara denganku, tutur bahasanya halus namun, terkadang jika Rini berbicara ia tidak memikirkan ucapannya sehingga Rini tidak sadar bahwa ucapannya menyakiti orang lain atau tidak.
Ketika kami disuruh membuka bekal, aku membawa nasi goreng dengan kacang polong buatan ibuku serta telur mata sapi setengah matang terlihat sangat lezat menurutku.
Saat istirahat kami makan secara berkelompok, karena bangku berada paling depan aku dan Rini membalikan bangku kami kebelakang dan tepat dibelakang ku ada Cristina yang duduk bersama Devana.
Kami membuka kotak bekal masing-masing, aku melihat isi kotak bekal Devana, ia membawa udang dan Cristina membawa nasi kuning sedangkan, Rini membeli makanan di kantin katanya ibunya tidak sempat untuk memasak.
Dulu, saat perkenalan Devana mengatakan bahwa ia tinggal daerah penghasil udang terbesar di Depok, ia bahkan bosan menyantap udang setiap hari.
Aku menyantap bekal yang di bawa kan ibu dari rumah dengan lahap, dan air putih dari rumah dilarang untuk minum es juga jajan sembarangan oleh ibuku.
Devana membawa banyak sekali udang, dan dia menawari kami udang yang dia bawa aku ingin menolak, tapi sungkan karena tidak baik menolak pemberian orang lain.
Aku meminta sedikit saja bekal yang ia bawa dan memakannya untuk menghargai, sebenarnya aku ragu memakannya karena aku tahu dari kecil alergi dengan seafood, tidak ada salahnya kan jika aku hanya mengecek apakah aku masih alergi seafood atau tidak.
Setelah mencobanya tidak berselang lama, mungkin hanya tiga menit setelah aku memakannya muncul ruam-ruam merah yang gatal pada kulitku.
Sudah kuduga aku ternyata alergi tersebut masih ada aku berpikir sudah hilang, aku menyesal telah memakannya.
Besoknya aku tidak turun karena demam hingga satu minggu kemudian, setelah itu aku jera ketika ditawari lagi memakan udang atau segala macam makannya yang berasal dari laut, kecuali ikan walaupun begitu aku masih bersyukur bisa hidup didunia ini, seperti kata Rein dua tahun lalu masih tersimpan dengan rapi dalam ingatanku.
Rein bisa bijak dan konyol disaat yang bersamaan.
Aku jadi merindukan suara tawa Rein, menurutku suara tawa Rein sangat unik namun, apakah mereka merindukanku sama seperti aku merindukan mereka saat ini.
Kata-kata Rein waktu itu benar-benar membuat mataku bengkak karena kebanyakan menangis, bersyukur ibuku tidak bertanya macam-macam, ia berpikir bahwa aku menangis karena menonton Anime atau membaca novel.
Memangnya perkataanku tiga hari yang lalu membuat Raffi terluka, jika membuat nya sedih mengapa saat aku bertemu dengannya di kantin, wajahnya tidak terlihat marah sama sekali ketika bertemu denganku, namun setiap aku menatap mata Raffi ia menghindar dari tatapanku dan buru-buru mengambil pesanannya lalu segera pergi dari kantin.
Aku menghembuskan nafas dengan gusar, aku mengingat lagi perkataan Rein yang masih jelas dalam ingatanku.
"kamu itu salah Ry! Jangan buat pembelaan mulu deh! Kamu harusnya tahu bahwa kami itu adalah teman masalalu mu, kamu harusnya bisa melupakan kami,”
Aku sedang tidak berusaha untuk mengingat perkataan Rein tiga hari yang lalu tetapi, aku tidak berhenti memikirkannya membuatku ogah-ogahan menyantap siomay saus kacang, dan tomat yang baru saja ku beli dari kantin saat istrahat kedua tadi.
Aku menarik nafas dalam-dalam, mencoba untuk melupakan rasa sedihku. Aku jadi teringat dengan kutipan sebuah novel. “Kita itu hanya perlu melupakan masa lalu dan terus melangkah kedepan. Jika hati kita terus saja berada di masa lalu maka itu itu sama saja dengan membuat drama hati yang berkepanjangan." Kata-kata itu sangat mengena untukku.
Aku melihat semua teman sekelas yang membuat kelompok sendiri, ingin rasanya seperti mereka bisa berbagi cerita tentang apa pun, serta memberikan pendapat dan masukan tetapi bagaimana caranya berbicara dengan mereka.
“Ri, nggak mau gabung sama kami?,”Tanya putri kepadaku, sekilas ku melihat ada Devana dan Karin disampingnya, jadi aku tidak mau bergabung dengan mereka.
Bukan nggak mau cuman malas saja ujung-ujungnya pasti cari masalah.
“Makasih put tawaranya.”Aku menolak ajakan putri dengan halus.
Aku masih trauma saat dilabrak oleh Devana didepan kelas ketika selepas dari kantin, Devana melabrakku mengatakan aku anak orang miskin dan selalu membuatnya malu.
Masalahnya hanya kecil, yaitu aku meminta uang iuran untuk kerja kelompok kami.
Apakah salah meminta secara baik-baik saat kelas sepi namun, Devana mempermalukan dan melabrakku saat istirahat.
“Lo buat gue malu!.”Teriaknya saat aku berjalan menuju kelas, Devana mendorongku dengan kuat hingga tubuhku membentur dinding.
Devana mencengkram kerah bajuku hingga aku sulit bernafas.
“Sejak kapan aku buat kamu malu?,”Elakku tidak terima membuat Devana semakin naik pitam.
“Lo nagih gue kayak punya utang!,”Maki Devana membuatku heran apa masalah uang kerja kelompok itu.
“Kita kerja kelompok bareng, masa aku yang harus bayar semua terus buat laporannya juga!”Omelku kepada Devana membuatnya menunjukku.
“Bukan yang itu, lo nagih gue pas kelas masih ramai.”Ucap Devana membuatku bertanya-tanya apakah kelas saat itu masih ramai, padahal semua murid di kelas pada keluar dan melihat pawai budaya.
“Loh, kelas udah sepi kan cuman kita berdua, lagipula aku minta baik-baik dan nutupin semua kekurangan belanja kita, cuman karena lupa bawa nggak mungkin pulang lagi.
bukannya kamu sendiri yang ngelarang aku pulang buat ambil keperluan.”Belaku sambil melepaskan cengkraman tangan yang membuat nafasku sesak.
“Kamu marah, aku mintai uang iuran. Itu udah sesuai dengan kesepakatan kita kan bayarnya sepuluh ribu. Waktu aku minta sama kamu, Rini dan Christina bilangnya uang saku kalian habis, jadi aku menutupi dengan membeli pupuk sendiri dan bibit”Jelasku membuat Devana bungkam.
“Saat membuat laporan pun, aku sendiri yang mengecek langsung dan membuat laporan tersebut sampai bergadang. Satu karya ilmiah selesai dengan tebal tiga puluh lima halaman dalam semalam, kamu pikir itu gak pakai otak mikirnya. Untung aja, Pak Arkan mau maafin karena telat ngumpul.”Jelasku membuat suasana semakin memanas.
Dani mencoba meleraikan kami berdua akan tetapi, anak murid dari kelas lain pun ikut memberikan sorakan seolah-olah ini adalah sebuah pertandingan.
“Gak gitu, yang ku permasalahkan adalah kamu yang nagih aku di kelas,“Ucap Devana membuatku bingung, kenapa ia mencari pembenaran dirinya sendiri.
Aku yakin ini adalah usul dari Rini untuk melabrakku, karena Devana sebenarnya tidak pernah mempermasalahkan hal itu.
Arini Rhayu utami, teman sebangkuku itu benar-benar keterlaluan, ia menghasut Devana dengan ucapannya.
Sering sekali aku mendengar Rini berbicara tentang hal yang berbau agama dan sikapnya selalu mengikuti sunnah Rasullulah.